Latar Belakang,
Reformasi hukum pidana nasional melalui pengesahan KUHP Nasional pada tahun 2022 dan pengundangannya sebagai undang-undang Nomor 1 Tahun 2023 merupakan tonggak penting dalam sistem peradilan pidana Indonesia. Salah satu isu mendasar dalam hukum pidana adalah relasi antara perbuatan pidana (strafbaar feit) dan pertanggungjawaban pidana (schuld), yang tercermin dalam dua konsep besar yaitu monoistis dan dualistis. Buku I KUHP Nasional, sebagai fondasi umum sistem pemidanaan baik di dalam maupun di luar KUHP Nasional, memunculkan pertanyaan penting: apakah Indonesia kini secara tegas menganut salah satu dari kedua konsep tersebut, atau justru menggabungkan keduanya? Kajian ini menelusuri eksistensi dan implikasi kedua konsep tersebut dalam Buku I KUHP Nasional, yang relevan dengan tugas hakim dan aparat penegak hukum lainnya, mengingat pendekatan teori yang dianut akan memengaruhi cara pembuktian dalam praktik peradilan.
Selama ini, diakibatkan KUHP WvS (Wetboek van Strafrecht) tidak secara eksplisit menganut konsep monoistis atau dualistis, menimbulkan kerancuan konsepsi dan menciptakan keadaan dimana hakim cenderung menggunakan pendekatan yang berbeda-beda sesuai keyakinannya masing-masing.
Untuk dapat memahami lebih dalam mengenai eksistensi konsep monoistis Dan Dualistis Pada Buku I KUHP Nasional, penulis menganggap perlu membatasi pembahasan pada rumusan masalah yaitu: Pertama, Apakah KUHP Nasional menganut konsep monoistis ataukah Dualistis? Dan mana Kedua, Bagaimana implikasi konsep tersebut bagi Hakim dalam memutus perkara ?. Penelitian ini pada pokoknya bertujuan untuk menganalisis konsep hubungan perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana yang dianut oleh KUHP Nasional, sehingga didapatkan panduan yang jelas bagi hakim dalam melaksanakan tugasnya kelak saat KUHP Nasional telah berlaku, sehingga terjadi keseragaman pandangan dan analisis hakim dalam putusannya.
Kerangka Teoritis Tentang Monoistis dan Dualistis,
Teori monoistis dalam hukum pidana berpandangan bahwa perbuatan pidana (strafbaar feit) dan pertanggungjawaban pidana (schuld) merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Dalam konstruksi ini, setiap perbuatan yang memenuhi unsur melawan hukum secara otomatis dianggap mengandung unsur kesalahan, sehingga pelakunya dapat dijatuhi pidana tanpa perlu analisis terpisah terhadap kapasitas moral atau psikologisnya untuk mempertanggungjawabkan apa yang dilakukannya. Artinya, begitu terbukti adanya actus reus, maka unsur mens rea dianggap telah melekat secara inheren. Pandangan ini banyak dianut oleh para pemikir hukum pidana klasik, seperti Ernst von Mezger dan van Hamel. Mezger secara khusus menekankan bahwa kesalahan tidak perlu dipisahkan dari delik, karena ia merupakan aspek internal dari struktur tindak pidana itu sendiri.Dalam sistem monoistis, pendekatan terhadap peristiwa pidana lebih bersifat formal dan objektif, menitikberatkan pada pemenuhan unsur-unsur tindak pidana sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang. Dengan demikian, sistem ini cenderung menekankan kepastian hukum, serta mempermudah proses pembuktian karena tidak memerlukan analisis terhadap diri pelaku. Pendekatan ini dikritik karena mengabaikan kondisi subjektif pelaku, termasuk kapasitas tanggung jawabnya. Bagi hakim berpandangan monoistis, tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana adalah satu kesatuan, sehingga pembuktian kesalahan (mens rea) menjadi syarat mutlak. Jika kesalahan tidak terbukti, perbuatan tidak dianggap tindak pidana, dan terdakwa diputus bebas (vrijspraak) karena tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Sebaliknya, teori dualistis memisahkan secara konseptual antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana. Artinya, tidak semua perbuatan yang memenuhi unsur delik otomatis dapat dijatuhi pidana, karena harus terlebih dahulu diperiksa apakah pelakunya dapat dipertanggungjawabkan, teori ini dipelopori oleh tokoh seperti von Liszt dan Beling. Konsep ini berpandangan, unsur melawan hukum (actus reus) dan kesalahan (mens rea) dipandang sebagai dua unsur terpisah yang harus dibuktikan masing-masing. Sebuah perbuatan tetap dapat dikategorikan sebagai tindak pidana meskipun pelakunya tidak dapat dipidana. Dalam praktik, hakim dapat memutus lepas (onslag) jika terdapat alasan pemaaf atau pembenar, meskipun unsur delik terpenuhi. Hal ini memberi hakim dalam sistem dualistis keleluasaan menilai secara terpisah antara perbuatan dan pelaku.
Tinjauan Terhadap Buku I KUHP Nasional,
Buku I KUHP Nasional merupakan pedoman umum bagi penerapan Buku II dan undang-undang di luar KUHP Nasional, sehingga ketentuannya secara mutatis mutandis mengubah paradigma hukum pidana, termasuk konsep monoistis dan dualistis. Pasal 36 ayat (1) KUHP menyatakan bahwa "Setiap Orang hanya dapat dimintai pertanggungjawaban atas Tindak Pidana yang dilakukan dengan sengaja atau karena kealpaan", yang mencerminkan pandangan dualistis karena membedakan antara tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana. Penjelasan pasal ini menegaskan prinsip “tiada pidana tanpa kesalahan”, dengan bentuk kesalahan berupa kesengajaan dan kealpaan, yang menunjukkan pembedaan antara actus reus dan mens rea.
Salah satu implikasi Pasal 36 KUHP Nasional ini hakim harus selalu menganggap kesalahan merupakan bagian dari delik suatu pidana walaupun tidak tertuliskan dan wajib dibuktikan (elemental delic), hal ini sejalan juga dengan ajaran AVAS “afwezigheid van alle schuld” yaitu ajaran dimana seseorang tidak dapat dipidana (dijatuhi sanksi pidana) bilamana tidak ada kesalahan pada orang tersebut. Sebagai contoh delik pembunuhan yang sebelumnya diatur dalam Pasal 338 KUHP WvS masih menggunakan frasa “dengan sengaja” yang mana berubah dalam KUHP Nasional pada Pasal 458 yang mana frasa “dengan sengaja” dihilangkan konsisten dengan Pasal 36 KUHP Nasional, namun bukan berarti dalam pembuktiannya tidak perlu dibuktikan karena diabsorpsi sebagai elemental delic, malahan menjadi sangat penting membuktikan kesengajaan berdasarkan Pasal 36 KUHP Nasional, karena berimplikasi tidak dapat dijatuhkannya pidana.
Implikasi Konsep Dualistis Bagi Hakim Dalam Memutus Perkara,
Dianutnya konsep dualistis dalam KUHP Nasional, khususnya Pasal 36 ayat (1), berdampak signifikan terhadap peran hakim dalam memutus perkara pidana. Hakim wajib melakukan pembuktian bertingkat: pertama, membuktikan adanya actus reus, (perbuatan pidana), kemudian membuktikan mens rea (kesalahan pelaku). Dalam hakim tidak cukup hanya menilai terpenuhinya unsur tindak pidana, tetapi juga harus memastikan terdakwa dapat dipertanggungjawabkan secara pidana, yakni memiliki unsur kesengajaan atau kealpaan. Pembuktian dimulai dengan menguji ada tidaknya tindak pidana melalui pencocokan fakta di persidangan dengan unsur objektif delik. Unsur "setiap orang" cukup dibuktikan secara formal, yaitu apakah subjek dalam dakwaan adalah orang atau badan hukum yang tepat. Menguji kemampuan bertanggung jawab dalam unsur ini mencerminkan pendekatan monistis, yang seharusnya tidak lagi digunakan jika konsisten dengan pendekatan dualistis KUHP Nasional.
Sedangkan pembuktian mengenai kemampuan bertanggungjawab nantinya harus dibuat secara terpisah setelah delik objektif selesai dibuktikan, pembuktian kemampuan bertanggungjawab ini berisi pertimbangan seputar jenis kesalahan (dolus atau culpa), serta kemampuan bertanggungjawab seputar ada tidaknya alasan pemaaf (perlu menjadi catatan bahwa alasan pembenar sesuai doktrin merupakan penghapus sifat melawan hukum yang merupakan bagian dari actus reus).
Selanjutnya salah satu implikasi lanjutan dari konsistensi penerapan dualistis adalah hakim perlu cermat dalam memutuskan putusan bebas dan lepas, yang saat ini dianut dalam KUHAP diatur pada Pasal 191 yang mengatur “Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas” dan “Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindakan pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum”. Jika sampai dengan berlakunya KUHP Nasional ketentuan ini belum direvisi maka hakim perlu memperhatikan bahwa jika perbuatan pidananya terbukti (unsur objektif terpenuhi), tetapi unsur kesalahan tidak terbukti misalnya karena pelaku tidak waras, atau tidak ada niat jahat maka, maka putusan yang dijatuhkan adalah Lepas, karena frasa yang digunakan dalam Pasal 191 KUHAP adalah “suatu tindakan pidana/ actus reus” sehingga perbuatannya tetap dianggap sebagai perbuatan pidana namun tidak bisa dikenakan pidana kepada pelaku.
Penutup
Dianutnya konsep dualistis dalam Buku I KUHP Nasional, khususnya melalui Pasal 36, membawa implikasi mendalam terhadap paradigma hukum pidana dan peran hakim dalam proses peradilan. Pemisahan antara unsur tindak pidana (actus reus) dan kesalahan (mens rea) mewajibkan hakim untuk menerapkan proses pembuktian bertingkat: pertama menilai keberadaan perbuatan pidana, kemudian membuktikan pertanggungjawaban pelaku secara pidana. Hal ini memperkuat prinsip tiada pidana tanpa kesalahan (Geen straf zonder schuld). Hakim tidak dapat lagi mencampuradukkan unsur kesalahan dalam pembuktian actus reus, sebagaimana lazim dalam pendekatan monistis. Implikasi lebih lanjut adalah kehati-hatian dalam menafsirkan unsur "setiap orang" dan urgensi revisi KUHAP agar selaras dengan konsep dualistis KUHP Nasional.
Referensi
[1] S. Candra, “Pembaharuan Hukum Pidana; Konsep Pertanggungjawaban Pidana Dalam Hukum Pidana Nasional Yang Akan Datang,” JURNAL CITA HUKUM, vol. 1, no. 1, 2013, doi: 10.15408/jch.v1i1.2979.
[2] F. Faisal dan M. Rustamaji, “Pembaruan Pilar Hukum Pidana Dalam RUU KUHP,” Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal), vol. 10, no. 2, 2021, doi: 10.24843/jmhu.2021.v10.i02.p08.
[3] R. Anwar, “PEMAKNAAN ALIRAN DUALISTIS PERSPEKSTIF HUKUM PIDANA DALAM KUHP NASIONAL,” ASY SYAR’IYYAH: JURNAL ILMU SYARI’AH DAN PERBANKAN ISLAM, vol. 8, no. 1, 2023, doi: 10.32923/asy.v8i1.3534.
[4] M. N. A. Atpasila dan S. Aisyah, “Perbandingan Delik Pidana Menurut Aliran Monistis, Dualistis Dan Mazhab Fikih,” Shautuna: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Perbandingan Mazhab dan Hukum, 2021, doi: 10.24252/shautuna.v2i2.20571.
[5] Z. K. Kadir, “Dari Dualisme ke Monisme: Transformasi Konsep Mens Rea dalam Kodifikasi KUHP di Negara-Negara Poskolonial,” Jurnal Litigasi Amsir, vol. SPECIAL ISSUE, no. SPECIAL ISSUE, hlm. 142–155, 2024.
[6] Simamora, Bona Adrian, dan Rudi Pardede, “PELAKSANAAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA PERBANKAN DALAM WILAYAH HUKUM POLDA RIAU,” Collegium Studiosum Journal , vol. 7, no. 2, hlm. 576–587, 2024.
[7] L. Hakim, “Volume 13 Nomor 1, Juni 2019,” Jurnal Krtha Bhayangkara, vol. 13, 2019.
[8] W. Indaryanto, “BESTANDEEL PERCOBAAN DAN PERMUFAKATAN JAHAT PADA UNDANG-UNDANG TENTANG NARKOTIKA DALAM SURAT DAKWAAN (PERSPEKTIF TUJUAN HUKUM),” JLR - Jurnal Legal Reasoning, vol. 4, no. 2, 2022, doi: 10.35814/jlr.v4i2.3603.
[9] Y. F. dan A. Wasiska, “Tindak Pidana Dan Unsur-Unsurnya Versus Deelneming Delicten/Tindak Pidana Penyertaan Versus Pertanggungjawaban Tindak Pidana,” Jurnal Ilmiah Manazir, vol. 1, no. 1, 2023.