Latar Belakang
Hakim memiliki kewajiban hukum yang berdasarkan aturan etika dan hukum acara yang berlaku, dalam kapasitasnya sebagai pihak di tengah perkara dan dalam perilakunya baik saat di dalam Pengadilan maupun saat menjalankan kehidupan sehari-harinya. Jika mereka tidak menjalankan kewajiban ini dengan cermat baik di dalam maupun di luar pengadilan, mereka akan dapat merugikan keadilan dan “mencemari” kepercayaan publik terhadap penyelenggaraan peradilan.[1] Peran etika hakim sering kali dimainkan dalam situasi yang rumit, dimana tugas dan kewajiban harus diseimbangkan dan standar moral yang lebih luas harus ditegakkan.
Isu mengenai integritas seorang hakim telah menjadi program prioritas nasional Komisi Yudisial sebagai bentuk dukungan pada arah kebijakan pembangunan bidang hukum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2020-2024.[2] Hal ini menyiratkan bahwa integritas harus dipelihara oleh seorang hakim yang merupakan aktor utama dalam penegakan hukum dan keadilan. Sosok hakim yang demikian idealnya memberikan kewajiban bagi hakim untuk mengambil keputusan sesuai dengan prinsip moral yang berlaku. Pengambilan keputusan yang beretika seakan sudah menjadi kewajiban dalam setiap cara hidup hakim itu sendiri, sehingga kesan masyarakat yang berujung pada kepercayaan publik tetap dapat terjaga.
Tuntutan agar hakim menjalankan profesinya dengan penuh integritas, dalam arti penuh kejujuran dan keteguhan prinsip, kiranya menjadi hal klise. Oleh sebab itu, Penulis mencoba menguraikan bagaimana kiranya hakim dapat memelihara dan membangun integritasnya melalui pendekatan cabang keilmuan sehubungan dengan kondisi etis bagi hakim untuk melakukan suatu pengambilan keputusan. Selain itu, tulisan ini juga dimaksudkan untuk mengikuti Program Arunika Badilum (Artikel Hukum Hakim Nusantara Badan Peradilan Umum) seri ke-1.
Pemahaman Integritas dalam The Bangalore Principles of Judicial Conduct
Pembukaan Kode Etik dan Perilaku Hakim Indonesia secara eksplisit menyatakan bahwa pembuatannya telah melalui kajian mendalam dari The Bangalore Principles of Yudicial Conduct.[3] Bangalore Principles tersebut dimaksudkan untuk mengingatkan betapa pentingnya suatu badan peradilan yang kompeten, independen, dan tidak memihak, untuk memenuhi peran penegakan konstitusionalisme dan supremasi hukum.[4] Bangalore Principles berisi 6 (enam) nilai/ prinsip penting yang menjadi kode etik peradilan yakni: independence (independensi), impartiality (ketidakberpihakan), integrity (integritas), propriety (kepatutan), equality (kesetaraan), dan competence and diligence (kompetensi dan ketekunan).
Integritas merupakan landasan dari semua prinsip lainnya karena tanpanya, mustahil untuk bertindak secara independen, tidak memihak, atau profesional.[5] Budaya integritas para hakim itu menyadari posisi pentingnya sebagai pembawa pesan transformasi keadilan sosial, dimana hukum bukan hanya dianggap sekedar deretan pasal-pasal, ayat-ayat, atau tumpukan formal ketentuan, melainkan tugas mulia mengembalikan hakikat hukum yang mengalami defisit kemanusiaan.[6] Dengan kata lain, hakim yang tidak memiliki integritas akan rentan untuk bertindak dengan keberpihakan, parsial, dan bertentangan dengan prinsip-prinsip lainnya.
Seorang hakim harus memastikan bahwa perilakunya tidak tercela sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat serta tindakannya harus meneguhkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap integritas peradilan.[7] Penulis mengambil ungkapan bijak dari Bernandus Maria Taverne (1874-1944), seorang Hakim Agung hukum pidana berkebangsaan Belanda, yang pernah menyatakan “Beri saya hakim yang baik, sehingga bahkan dengan undang-undang yang buruk sekalipun saya bisa membawa keadilan”.[8] Hukum yang buruk dalam pengertian ini masih dapat diperbaiki sedangkan sifat dan perilaku dari seorang hakim, terutama akhlak, merupakan hal mendasar dari diri hakim dalam menegakkan hukum.
Hakim dalam penegakan hukum harus memperhatikan aspek sumber daya manusianya sebagai aparat penegak hukum. Sebab, meskipun peraturan perundang-undangan sudah lengkap, sarana dan prasarana sudah tersedia, namun hal tersebut akan menjadi kendala yang krusial apabila hakim tidak konsisten, tidak memiliki integritas dan moralitas, tidak profesional, serta tidak jujur dalam menegakkan hukum dan keadilan.[9]
Penguatan Integritas Hakim melalui Model Pengambilan Keputusan Etis
Setiap hakim dalam menjalankan profesinya dihadapkan pada suatu pengambilan keputusan etis dalam memberikan putusan atas suatu perkara yang ditanganinya. Hakim yang juga sebagai seorang manusia biasa dituntut senantiasa berintegritas dalam memberikan putusan terlepas dari suasana batin yang dipengaruhi baik dari internal diri hakim itu sendiri atau lingkungan sekitarnya, sehingga hal tersebut tentunya membuat hakim wajib dalam kehidupan sehari-harinya bertindak sebagai agen moral. Oleh karena itu, kita perlu mengidentifikasi faktor-faktor yang mendukung pemeliharaan atau pun peningkatan integritas seorang hakim dalam menjalankan pekerjaan dengan sekian tuntutan etika profesi di dalamnya.
Integritas hakim dipengaruhi juga pada setiap pengambilan keputusan etis dalam kehidupan sehari-harinya. James Rest menunjukkan bahwa keputusan etis yang penting didasarkan pada empat komponen yaitu: moral awareness, menggambarkan kemampuan untuk mengidentifikasi apakah konsekuensi dari suatu tindakan akan relevan secara moral dan dengan demikian mempengaruhi orang lain; moral judgement, dimana setiap individu mengevaluasi informasi yang dikumpulkan terkait isu moral dan menilai kebenaran dan keadilan dari sebuah solusi; moral intention, yang menunjukkan preferensi setiap individu tentang apa yang mereka lakukan; dan moral behavior, dimana setiap individu harus memiliki ketekunan, kekuatan ego dan keterampilan implementasi yang cukup untuk dapat menindaklanjuti niatnya.[10]
Selain itu Markkula Center for Applied Ethics juga menawarkan satu model yang disarankan untuk menilai sifat etis dari sebuah keputusan melalui 6 (enam) pendekatan yaitu: the right lens, yang meyakini bahwa manusia bermartabat berdasarkan sifat manusiawinya untuk mampu secara bebas memilih hal-hal yang dilakukan dalam hidup mereka; the justice lens, dimana keadilan adalah gagasan bahwa setiap orang harus diberikan haknya, dan apa yang menjadi hak orang sering ditafsirkan sebagai perlakuan yang adil atau setara; the utilitarian lens, yang menekankan pada hasil atau konsekuensi dari tindakan kita, dimana tindakan etis adalah tindakan yang menghasilkan keseimbangan terbesar antara kebaikan dan kerugian bagi sebanyak mungkin pemangku kepentingan, sehingga memerlukan penentuan yang akurat tentang kemungkinan hasil tertentu dan dampaknya; the common good lens, yang menunjukkan bahwa hubungan masyarakat yang saling terkait merupakan dasar penalaran etis, dimana perlunya perhatian bersama terhadap kepentingan masyarakat luas; the virtue lens, yang menyiratkan bahwa watak dan kebiasaan seseorang memungkinkannya untuk berperilaku sesuai potensi karakter dalam dirinya dalam konteks nilai kebenaran dan keindahan; dan the care ethics lens, yang berakar pada kebutuhan mendengarkan dan menanggapi dalam keadaan tertentu, daripada sekadar mengikuti aturan atau hanya menghitung manfaatnya.[11]
Kedua model tersebut mengacu pada suatu konsekuensialisme dalam deontologi nilai-nilai pribadi dan profesional yang terintegrasi dalam diri hakim. Hal demikian dapat direfleksikan pada suatu pertanyaan “Apakah keputusan ini merugikan seseorang atau suatu kelompok, atau tidak menguntungkan sama sekali semua orang?” Berkaitan dengan etika dalam profesi hakim, sudah selayaknya setiap hakim mengambil keputusan sesuai dengan prinsip-prinsip moral yang berlaku untuk independensi, imparsialitas, dan menghindari penyimpangan. Dengan demikian, diperlukan suatu pengambilan keputusan etis yang didasarkan pada aturan dan prinsip etika dengan tujuan yang tentunya untuk memproduksi keadilan bagi para pencari keadilan.
Penutup
Bangalore Principles adalah seperangkat prinsip panduan yang sangat baik bagi seorang hakim dalam bertindak, dimana integritas merupakan prinsip yang sangat penting bagi pelaksanaan tugas peradilan dengan baik. Integritas merupakan landasan dari semua prinsip lainnya karena tanpanya, mustahil untuk bertindak secara independen, tidak memihak, atau profesional. Budaya integritas para hakim itu menyadari posisi pentingnya sebagai pembawa pesan transformasi keadilan sosial. Hakim yang tidak memiliki integritas akan rentan untuk bertindak dengan keberpihakan, parsial, dan bertentangan dengan prinsip-prinsip lainnya
Penguatan integritas seorang hakim untuk mengambil keputusan yang etis tentang etika dan hukum serta mengintegrasikan kehidupan profesional mereka dengan kehidupan sosial mereka diuraikan dalam nilai-nilai pribadi dan ide-ide untuk penilaian kebenaran/ kesalahan perilaku. Model Empat Komponen Rest menawarkan langkah-langkah yang berbeda dan orientasi moral yang tinggi, sementara Enam Pendekatan Markkula Center berusaha memastikan sejauh mana konsekuensialisme baru dapat mendekati deontologi dalam membangun kerangka kerja yang terintegrasi dengan nilai-nilai pribadi dan profesional dan seberapa sulit perluasannya.
[1] |
C. Swanepoel, "Judicial Probity and Ethical Standards: The Judicial Conduct Tribunal’s Decision on Judge President John Hlope," Journal for Juridical Science, vol. 46, no. 2, pp. 120-136, 2021. |
[2] |
KY, Adnan and Festy, "Jadi Program Prioritas Nasional, KY Survei Integritas Hakim," Komisi Yudisial Republik Indonesia, 30 Agustus 2023. [Online]. Available: https://komisiyudisial.go.id/frontend/news_detail/15434/jadi-program-prioritas-nasional-ky-survei-integritas-hakim. [Accessed 4 Desember 2024]. |
[3] |
Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial RI Nomor: 047/KMA/SKB/IV/2009 & 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, 2009. |
[4] |
K. G. S., "Prinsip Pengawasan Independensi Hakim," Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, vol. 14, no. 3, pp. 436-447, 2009. |
[5] |
M. J. Chibita, "Judicial Ethics: Theory and Practice," in Legal Ethics and Professionalism: A Handbook for Uganda, D. B. Dennison and P. Tibihikirra-Kalyegira, Eds., Geneve, Globethics.net International Secretariat, 2014, pp. 289-313. |
[6] |
H. P. Wiratraman, "Budaya Integritas, Peradilan dan Penegakan Keadilan Sosial," in Penegakan dan Penguatan Integritas Peradilan, F. R. Hidayati, Ed., Jakarta, Sekretariat Jenderal Komisi Yudisial Republik Indonesia, 2023, pp. 51-62. |
[7] |
United Nations Office on Drugs and Crime, The Bangalore Principles of Judicial Conduct, Vienna: United Nations, 2018. |
[8] |
W. P. Djatmiko, Budaya Hukum dalam Masyarakat Pluralistik, Yogyakarta: Thafa Media, 2022. |
[9] |
J. Thomas and V. Liman, "Analysis of Opportunities for Implementing the Amicus Curiae Concept as a Form of Public Participation in the Judicial System in Indonesia," Jurnal Hukum dan Peradilan, vol. 13, no. 1, pp. 1-32, 2024. |
[10] |
A.-K. Emser, S. Heintzen, C. Beeser, B. Stoberock and N. Marquardt, "Higher, Faster, Further: Occupational Ethical Decision-Making under Time Pressure in Type A versus Type B Personalities," Psychology, vol. 12, no. 10, pp. 1678-1710, 2021. |
[11] |
M. Velasquez, D. Moberg, M. J. Meyer, T. Shanks, M. R. McLean, D. DeCosse, C. André, K. O. Hanson, I. Raicu and J. Kwan, "A Framework for Ethical Decision Making," Markkula Center for Applied Ethics, 8 11 2021. [Online]. Available: https://www.scu.edu/ethics/ethics-resources/a-framework-for-ethical-decision-making/. [Accessed 30 November 2024]. |