PENERAPAN PASAL 53 AYAT (2) KUHP NASIONAL TERHADAP PENARIKAN DELIK ADUAN YANG MELEWATI BATAS WAKTU

13 August 2025 | Indra Tua Hasangapon Harahap
Indra Tua Hasangapon Harahap

format_quote

Latar Belakang

Hukum pidana Indonesia mengalami perubahan dari masa ke masa, seperti dalam perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Wetboek van Strafrecht (Wvs) menjadi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP Nasional yang mulai diberlakukan tahun 2026. Salah satu latarbelakang lahirnya KUHP Nasional dikarenakan perkembangan masyarakat yang semakin cepat tentunya memberikan berbagai dampak negatif, maka dalam bidang hukum pidana perlu disikapi secara lebih komprehensif dan kompleks.[1] KUHP Nasional lebih mengedepankan keadilan dan pemulihan keadaan yang sangat kental hubungannya dengan nilai-nilai masyarakat Indonesia serta KUHP Nasional sendiri memiliki pedoman pemidanaan yang mengedepankan keadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 53. Hukum pidana membagi dua jenis delik jika dikaitkan dengan proses penanganan perkara yakni delik aduan dan biasa. Delik aduan memerlukan adanya pengaduan dari korban agar dapat dituntut. Sebaliknya, delik biasa dapat dituntut tanpa adanya pengaduan.[2] KUHP Nasional dan KUHP lama masih memiliki persamaan pengaturan mengenai batas waktu penarikan delik aduan tersebut yang diatur secara eksplisit sehingga menimbulkan kepastian hukum dalam pelaksanaannya.

Pengaduan dalam KUHP Nasional diatur dalam Pasal 28 sampai dengan Pasal 30. Delik aduan dapat ditarik kembali apabila pengadu tersebut menginginkan untuk menarik aduannya, akan tetapi diberikan batas waktu dan konsekuensi apabila pengaduan ditarik maka tidak dapat diajukan lagi sebagaimana dalam Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2) KUHP Nasional dengan batas waktu hanya 3 (tiga) bulan. Namun timbul permasalahan yang sering menjadi perdebatan antara penganut faham postivisme karena Kepastian hukum identik dengan pemahaman positivisme hukum[3] dan progresif yang terlahir karena bagian dari proses pencarian keadilan dan kebenaran[4] apabila penarikan aduan oleh pengadu melewati batas waktu yang ditentukan terutama apabila telah diperiksa dipersidangan. Pengadu merasa telah berdamai sehingga pengadu tidak lagi ingin menuntut meskipun telah melewati batas waktu. Permasalahan akan muncul apakah penarikan aduan tersebut dapat dikabulkan atau pemeriksaan tetap dilanjutkan karena telah melewati batas waktu. Hal ini juga bertentangan dengan pengaturan KUHP Nasional saat ini yang lebih mengedepankan nilai-nilai keadilan substansial yang tidak melihat permasalahan hanya pada teks namun juga pada konteks sebagaimana pedoman pemindanaan Pasal 53 ayat (2).

Pertentangan terkait penarikanan pengaduan yang telah melewati batas waktu khususnya yang sudah diperiksa dipersidangan dengan pedoman pemidanaan sebagaimana dalam Pasal 53 ayat (2) KUHP Nasional, memerlukan pendalaman dan penelitian lebih lanjut, sehingga penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jawaban beberapa permasalahan yaitu: Pertama, bagaimana penerapan Pasal 53 ayat (2) KUHP Nasional terhadap pencabutan delik aduan yang melewati batas waktu khususnya dalam persidangan? Kedua, bagaimana pengaturan ideal penarikan pengaduan yang telah melewati batas waktu dalam persidangan?

Penerapan Pasal 53 Ayat (2) KUHP Nasional Terhadap Pencabutan Delik Aduan Yang Melewati Batas Waktu Khususnya Dalam Persidangan

Dalam KUHP Nasional terdapat beberapa contoh delik aduan yakni perzinahan, penggelapan dalam keluarga, dan kohabitasi (hidup bersama sebagai suami istri diluar ikatan perkawinan) sedangkan diluar KUHP juga terdapat beberapa contoh seperti pencemaran nama baik dan pelecehan seksual nonfisik. Terhadap delik aduan tersebut dapat dilakukan penarikan aduan apabila pengadu merasa tidak perlu lagi menuntut dan telah berdamai akan tetapi diatur terkait dengan pembatasan jangka waktu penarikan aduan sebagaimana dalam Pasal 30 ayat (1) KUHP Nasional yang juga menjadi rujukan beberapa delik aduan di luar KUHP.

Dalam praktiknya, penarikan aduan tersebut saat sampai dipersidangan telah melewati batas waktu yang ditentukan oleh karena waktu proses perkara dalam tahapan penyidikan hingga pelimpahan membutuhkan waktu yang cukup panjang. Tentunya apabila penarikan aduan dalam persidangan yang melebihi batas waktu seyogyanya hal tersebut tidak dapat dilakukan, tetapi dengan pergeseran paradigma pemidanaan dalam KUHP Nasional tentunya hakim harus mempedomani ketentuan yang telah diatur sehingga tercapainya tujuan hukum yang disampaikan Gustav Radbruch dalam tiga nilai dasar hukum yang meliputi keadilan (filosofis), kepastian hukum (yuridis), dan kemanfaatan bagi masyarakat (sosiologis).[5] KUHP Nasional memberikan pedoman apabila ada pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan maka hakim harus mengutamakan keadilan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 53 ayat (2) KUHP Nasional. Hal ini sejalan dengan pandangan penganut hukum alam yang berpendapat hukum bukanlah hanya titah-titah yang berdaulat, namun hukum harus bermoral dan moral tertinggi adalah ”keadilan”.[6]

Pedoman mengutamakan keadilan dalam Pasal 53 ayat (2) KUHP Nasional dapat mengesampingkan jangka waktu sebagaimana dalam Pasal 30 ayat (1), sehingga hakim dalam persidangan meskipun telah melewati batas waktu dapat mengabulkan penarikan aduan atas nama keadilan oleh karena pengadu tidak lagi menuntut pelaku. Dalam praktik, setidaknya ada 2 (dua) putusan yang dapat menjadi pedoman dalam penarikan aduan dipersidangan yakni putusan kasasi No.1600 K/Pid/2009 dan putusan tingkat pertama Nomor: 132/Pid.B/2021/PN Mtr yang mana putusan tersebut mengabulkan penarikan aduan dengan menyatakan penuntutan penuntut umum tidak dapat diterima. Dalam putusan tingkat kasasi tersebut Majelis Hakim memiliki pertimbangan yang penulis ringkas sebagai berikut:[7]

Bahwa meskipun pencabutan pengaduan lewat 3 bulan, yang menurut Pasal 75 KUHP telah lewat waktu, namun dengan pencabutan itu keseimbangan yang terganggu dengan adanya tindak pidana tersebut telah pulih dan pencabutan merupakan tindakan untuk memaafkan yang dengan demikian pihak yang dirugikan merasa tidak perlu lagi perkara ini diteruskan. Perdamaian antara pelapor dengan terlapor mengandung nilai yang tinggi yang harus diakui, karena bagaimanapun juga bila perkara ini dihentikan manfaatnya lebih besar dari pada bila dilanjutkan. Bahwa ajaran keadilan restoratif mengajarkan bahwa konflik yang disebut kejahatan harus dilihat bukan semata-mata sebagai pelanggaran terhadap negara tetapi juga bahkan mungkin terputusnya hubungan antara dua atau lebih induvidu dan Hakim harus mampu memfasilitasi penyelesaian konflik yang memuaskan untuk para pihak”.

Dalam putusan tingkat pertama Nomor: 132/Pid.B/2021/PN Mtr, penulis meringkas pertimbangan sebagai berikut:[8]

Bahwa melihat konsistensi saksi korban selama persidangan tetap teguh menyatakan mencabut pengaduan dan berdamai yang berarti tidak adanya lagi permasalahan, meskipun pengaduan dicabut melebihi waktu 3 (tiga) bulan, dengan lebih mengedepankan prinsip moral beradab serta keadilan restoratif sehingga lebih bermanfaat untuk menghentikan proses penuntutan pidana atas diri terdakwa”.

Dalam pertimbangan tersebut nyatalah hakim dalam menerapkan pedoman pemidanaan pada Pasal 53 ayat (2) KUHP Nasional seharusnya dapat dikabulkan dan tidak menghalangi pengadu menarik aduannya meskipun telah melewati batas waktu dengan menyatakan penuntutan penuntut umum tidak dapat diterima. Hal lain juga yang patut dipertimbangkan dalam penerapan pasal tersebut karena pemulihan keseimbangan antara pengadu dan pelaku lebih bermanfaaat sebagaimana tujuan keadilan restoratif.

Pengaturan Ideal Penarikan Pengaduan Yang Telah Melewati Batas Waktu Dalam Persidangan

Seperti yang telah tergambar dalam penjelasan permasalahan pertama, Hakim dalam mengambil keputusan terkait penarikan pengaduan yang telah melewati batas waktu telah tepat apabila menerapkan Pasal 53 ayat (2) KUHP Nasional, akan tetapi meskipun melewati batas waktu yang ditentukan pengaduan tidak serta merta dengan sebebas-bebasnya bagi pengadu untuk melakukan penarikan aduan. Secara ideal tentunya penarikan aduan tersebut terkhusus yang telah masuk dalam persidangan diberikan batasan dalam pelaksanaannya.

Penarikan aduan dipersidangan sebaiknya harus dibatasi selama sebelum putusan dibacakan atau sekurang-kurangnya sebelum tuntutan diajukan oleh penuntut umum sebagaimana dalam Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2024 tentang mengadili perkara pidana berdasarkan keadilan restoratif. Hal ini juga perlu diformulasikan dalam suatu pedoman tersendiri baik dalam SEMA rumusan rapat kamar atau diformulasikan dalam pembaharuan buku II Mahkamah Agung sehingga hakim memiliki kesamaan sikap tanpa disparitas.

Penutup

Penerapan Pasal 53 ayat (2) KUHP Nasional terhadap penarikan aduan yang melewati batas waktu, khususnya yang telah diperiksa dipersidangan dapat dilaksanakan dikarenakan benturan antara kepastian hukum yang membatasi jangka waktu penarikan aduan dalam Pasal 30 ayat (1) dengan telah pulihnya keadaan antara pengadu dan pelaku yang telah berdamai sebagaimana tujuan keadilan restoratif maka hakim harus mengutamakan keadilan itu daripada kepastian hukum. Berkaitan dengan hal tersebut idealnya Mahkamah Agung memformulasikan pedoman lebih terperinci dalam suatu surat edaran ataupun pembaharuan buku II sebagaimana kewenangan Mahkamah Agung dalam fungsi mengatur yang diamanatkan dalam Pasal 79 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang mengamanatkan Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaraan penyelenggaraan peradilan apabila terdapat kekosongan hukum untuk menyamakan pendapat hakim dalam menyikapi permasalahan tersebut.

Referensi

[1] N. Mubarok, “Sejarah Perkembangan Hukum Pidana di Indonesia: Menyongsong Kehadiran KUHP 2023 dengan Memahami dari Aspek Kesejarahan,” Al-Qanun J. Pemikir. dan Pembaharuan Huk. Islam, vol. 27, no. 1, pp. 15–31, 2024.

[2] F. Samar et al., “Makalah hukum pidana penyelesaian kasus delik aduan absolut dan relatif,” vol. 8, no. 6, pp. 307–322, 2024.

[3] Hasaziduhu Moho, “Penegakan Hukum di Indonesia Menurut Aspek Kepastian Hukum, Keadilan, dan Hasaziduhu Moho. ‘Penegakan Hukum Di Indonesia Menurut Aspek Kepastian Hukum, Keadilan, Dan Kemanfaatan.’ Jurnal Warta 13, no. 1 (2019): 138–49.Kemanfaatan,” J. War., vol. 13, no. 1, pp. 138–149, 2019.

[4] I. Safaruddin Harahap, “Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Kejahatan Seksual dalam Perspektif Hukum Progresif,” J. Media Huk., vol. 23, no. 1, pp. 37–47, 2016, doi: 10.18196/jmh.2015.0066.37-47.

[5] D. R. Afdhali and T. Syahuri, “Idealitas Penegakkan Hukum Ditinjau Dari Perspektif Teori Tujuan Hukum,” Coll. Stud. J., vol. 6, no. 2, pp. 555–561, 2023, doi: 10.56301/csj.v6i2.1078.

[6] S. Hadi, “Kekuatan Mengikat Hukum Dalam Perspektif Mazhab Hukum Alam Dan Mazhab Positivisme Hukum,” J. Ilm. Huk. Leg., vol. 25, no. 1, p. 86, 2018, doi: 10.22219/jihl.v25i1.5992.

[7] D. Putusan, M. Agung, R. Indonesia, D. Keadilan, B. Ketuhanan, and Y. Maha, “Putusan No.1600 K/Pid/2009,” 2009.

[8] D. Putusan, M. Agung, and R. Indonesia, “Putusan Nomor 132/Pid.B/2021/PN Mtr,” 2021.