Latar belakang
Wilayah suatu negara merupakan ruang untuk berinteraksi sosial dari warga negara sehingga juga merupakan ruang untuk menerapkan hukumnya sebagai wujud pengejawantahan kedaulatan penuh suatu negara di wilayah tersebut. Wilayah laut merupakan bagian dari wilayah suatu negara disamping wilayah daratan dan wilayah udara. Negara memiliki kedautan atau hak penuh atas wilayah lautnya dalam menjaga keamanan dan juga menerapkan hukum di wilayah tersebut. Indonesia sebagai negara kepulauan telah menegaskan cakupan wilayah lautnya melalui Undang-Undang nomor 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia [1](selanjutnya disebut Undang-Undang Perairan Indonesia). Urgensi terhadap batasan tersebut merupakan legalitas negara untuk menjamin warganya menjalankan aktifitasnya dan juga sebagai pengejawantahan kedaulatan penuh dalam aspek penegakan hukum di wilayah tersebut terkhusus di wilayah perairan Indonesia.
Lebih lanjut lahirnya Undang-Undang Nomor 1 tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana[2] (disebut pula KUHP Baru) tentunya memberi arah baru khususnya berkaitan dengan Hukum Pidana. Ketentuan yang secara khusus mengatur tentang wilayah negara tertuang dalam penjelasan Pasal 4 huruf a KUHP Baru yang menggambarkan keseluruhan cakupan ataupun batasan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kemudian uraian di penjelasan tersebut selain uraian mengenai wilayah darat dan udara termasuk juga wilayah laut yang tentunya memberi gambaran batas wilayah kedaulatan. Pemaknaan terhadap aturan tersebut memberi ruang dimana negara dapat menerapkan hukum terkhusus hukum pidana di wilayah tersebut sehingga itulah yang menjadi batas wilayah sesungguhnya Indonesia menerapkan hukumnya. Disamping itu berdasarkan penjelasan pasal tersebut, memiliki urgensi berkaitan dengan akibat atas kejahatan yang dilakukan di dalam batas wilayah negara tersebut atau di wilayah negara lain termasuk berkaitan dengan penyelamatan terhadap kekayaan alam di wilayah Indonesia. Uraian penjelasan Pasal 4 huruf a tersebut menimbulkan permasalahan yang juga menyebut landas kontinen, zona tambahan sebagai bagian wilayah negara Indonesia khususnya wilayah laut.
Berdasarkan hal tersebut perlunya batasan yang tegas mengenai wilayah negara khususnya wilayah laut yang tidak menimbulkan banyak penafsiran atau batasan yang tidak sejalan dengan aturan lain. Uraian tersebut apabila dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 17 tahun 1985 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut 1982(selan jutnya disebut Konvensi Hukum Laut)[3] yang ditindaklanjuti dengan Undang-Undang Perairan Indonesia yang menegaskan cakupan Perairan Indonesia terbatas pada laut teritorial, perairan perairan kepulauan maupun perairan pedalaman tanpa mencantumkan landas kontinen, zona tambahan dan zona ekonomi eksklusif sehingga berdasarkan uraian tersebut timbul suatu permasalahan yakni : (1) Bagaimana memahami konsep hukum laut wilayah di dalam Undang-Undang Perairan Indonesia? (2) Bagaimana memahami konsep laut wilayah pada KUHP baru?
Konsep Hukum Laut Wilayah di dalam Undang-Undang Republik Indonesia nomor 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia
Ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Perairan Indonesia menegaskan bahwa wilayah Perairan Indonesia mencakup laut teritorial, Perairan Pedalaman serta Perairan Kepulauan. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki garis pantai yang panjang dan luas serta berhak sepenuhnya terhadap wilayah perairannya sehingga dapat menerapkan hukumnya di wilayah tersebut termasuk atas sumber-sumber kekayaan alam di wilayah tersebut[4]. Cakupan tersebut juga telah diuraikan di dalam Penjelasan Pasal 4 huruf a KUHP Baru adanya penyebutan rezim-rezim hukum lainnya selain menyebut Wilayah Perairan Indonesia.
Selanjutnya menurut Pasal 55, 56 dan 57 dalam Konvensi Hukum Laut yang menjadi acuan Undang-Undang Perairan Indonesia memberi definisi bahwa zona ekonomi eksklusif sebagai wilayah di luar laut teritorial dengan batas yang tidak melebihi 200 (dua ratus) mil laut dari garis pangkal dengan ketentuan negara pantai hanya memiliki hak berdaulat bukannlah kedaulatan penuh. Demikian pula terhadap zona tambahan, negara hanyalah memiliki yurisdiksi khusus.[5] Selanjutnya terhadap landas kontinen tepatnya pada Pasal 76 konvensi pada pokoknya menjelaskan bahwa landas kontinen terletak di luar laut teritorial dimana negara hanya memiliki hak berdaulat dan bukannlah kedaulatan penuh [6] sebagaimana yang terdapat pada laut teritorial. Sehingga berdasarkan hal tersebut Penulis memandang bahwa Pasal 3 Undang-Undang Perairan Indonesia secara tegas membatasi cakupan wilayah perairan yakni hanya meliputi laut teritorial, perairan kepulauan maupun perairan pedalaman tanpa mencantumkan rezim hukum lain berupa landas kontinen, zona ekonomi eksklusif serta zona tambahan karena ketiganya tidak termasuk wilayah Indonesia secara hukum. Lebih lanjut di Perairan Indonesia tersebut berkaitan erat dengan Yurisdiksi yang menunjukkan kompetensi dalam menerapkan hukum terhadap masyarakat di wilayah tersebut dan mengatur sumber daya alam yang dimiliki menjadi simbol kedaulatan.
Konsep Wilayah Laut di dalam KUHP Baru
Penjelasan Pasal 4 huruf a KUHP Baru pada pokoknya memberikan cakupan wilayah Indonesia. Selanjutnya Penulis dengan menggunakan metode penafsiran gramatikal yakni menguraikan maupun menginterpretasi suatu aturan dengan menggunakan bahasa yang umum, [7] Sehingga dengan demikian Penulis pun memandang bahwa penjelasan Pasal 4 huruf a tersebut rezim-rezim hukum yang lain yakni zona ekonomi eksklusif, landas kontinen dan zona tambahan, juga termasuk wilayah Indonesia.
Berdasarkan uraian sebelumnya serta mengacu pada Konvensi Hukum Laut dan Undang-Undang Perairan Indonesia, diuraikan bahwa landas kontinen, zona ekonomi eksklusif dan zona tambahan merupakan rezim-rezim laut yang tidak termasuk dalam wilayah negara. Penulis mengusulkan bahwa hal tersebut sepatutnya mendapat perhatian lebih dalam hal penegasan redaksi mengenai status wilayah suatu negara khususnya rezim-rezim laut yang berada di luar batas Perairan Indonesia dalam KUHP baru oleh karena hak dimiliki pada zona tambahan hanyalah yurisdiksi khusus sedangkan zona ekonomi eksklusif serta landas konstinen hanyalah hak berdaulat. Kemudian sebagai bahan perbandingan, wilayah laut Indonesia berada di bawah kedaulatan yang dimiliki di wilayah perairan Indonesia mencakup kewenangan penuh dalam penegakan hukum, khususnya hukum pidana di wilayah tersebut.
Penulis kembali menyarankan bahwa definisi “Wilayah Negara Kesatuan Indonesia” dalam KUHP baru dalam konteks wilayah perairan hanyalah mencakup laut teritorial, perairan kepulauan dan perairan pedalaman sedangkan redaksi lain yang memiliki keterkaitan dengan rezim-rezim hukum lainnya yang tidak termasuk wilayah negara diatur dalam Pasal yang berbeda mengingat negara juga memiliki hak meskipun dalam lingkup yang terbatas.
Penulis dengan menggunakan metode penafsiran sistematis yakni terbentuknya suatu peraturan Per-Undang-Undangan dihubungkan dengan adanya proses harmonisasi dengan peraturan lainnya.[8] Penjelasan Pasal 4 huruf a tersebut sepatutnya selain memberikan penegasan redaksi rezim-rezim wilayah laut juga harus memerhatikan aturan dalam konvensi hukum laut dan Undang-Undang Perairan Indonesia yang tidak memasukkan rezim-rezim hukum yang tidak termasuk dalam cakupan atau bagian dari wilayah laut Indonesia sehingga tidak menimbulkan permasalahan hukum dikemudian hari sehingga adanya proses harmonisasi dari keseluruhan Peraturan yang berlaku di Indonesia.
Penutup
Penjelasan Pasal 4 huruf a KUHP Baru menunjukkan adanya Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang mencakup zona ekonomi eksklusif, zona tambahan dan landas kontinen yang sebenarnya merupakan rezim hukum lain berdasarkan konvensi hukum laut dan Undang-Undang Perairan Indonesia. Sepatutnya Penjelasan Pasal 4 huruf a tersebut memiliki redaksi yang tegas yang dapat menjadi pembeda yang mana yang merupakan wilayah laut negara Republik Indonesia dan mana yang bukan oleh karena hal tersebut berkaitan erat dengan kedaulatan suatu negara. Urgensinya hal tersebut juga berkaitan atau terletak pada keberlakuan hukum pidana atas tindak kejahatan yang terjadi di suatu negara yang bisa berdampak di wilayahnya sendiri dan ataupun terhadap wilayah negara lain. Kemudian penjelasan Pasal 4 huruf a tersebut sepatutnya memerhatikan isi peraturan lainnya yakni konvensi hukum laut dan Undang-Undang Perairan Indonesia sehingga tercipta harmonisasi dari seluruh peraturan Per-Undang-Undangan dan tidak menimbulkan permasalahan dikemudian hari.
Referensi
[1] Setneg, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia. 1996.
[2] Setneg, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Setneg, 2023.
[3] Setneg, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 tahun 1985 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut. Setneg, 1985.
[4] B. Mauna, Hukum Internasional, Pengertian, Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global, Pertama. Bandung: Alumni, 2003.
[5] H. Prijanto, Hukum Laut Internasional, Edisi Pert. Malang: Bayumedia Publishing, 2007.
[6] I. W. Parthiana, Pengantar Hukum Internasional, Edisi Pert. Bandung: Mandar Maju, 1990.
[7] S. Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Kedua. Yogyakarta: Liberty, 2009.
[8] S. Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Kelima. Yogyakarta: Liberty, 2008.