PENEGAKAN KODE ETIK HAKIM YANG HUMANIS SEBAGAI KUNCI PEMULIHAN PERADILAN DAN KEPERCAYAAN PUBLIK

24 February 2025 | Dewantoro
Dewantoro

format_quote
“Pelaksanaan penegakan kode etik dengan memperhatikan aspek-aspek yang humanis diperlukan agar mampu mengurangi tingkat pelanggaran kode etik. Pengawasan yang tidak memanusiakan hakim hanya akan menimbulkan resistensi, bukan efek jera.”

Latar Belakang

Di penghujung 2022, dunia hukum Indonesia dikagetkan dengan peristiwa yang menyerang integritas pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia, pertama, yaitu dugaan kasus suap yang diduga melibatkan dua orang hakim agung dan beberapa oknum pegawai negeri sipil di instansi Mahkamah Agung [1]. Menurut penilaian yang dilakukan suatu organisasi non-pemerintah berskala internasional yang mempunyai kepedulian memerangi korupsi di tingkat global, yang bernama Transparency International, Indonesia mengalami penurunan poin dan peringkat indeks persepsi korupsi, yaitu pada 2021 dari peringkat 96 dari 180 negara yang disurvei dengan poin 38/100 menjadi pada 2022 berada pada peringkat 110 dari 180 negara yang disurvei dengan poin 34/100. Menurut lembaga tersebut, kondisi ini menunjukkan respon-respon terhadap praktik-praktik korupsi di Indonesia masih rendah dan bahkan memburuk karena kurangnya dukungan faktual dari pihak yang berkepentingan. [2].

Dukungan faktual untuk memerangi peristiwa korupsi di dunia peradilan tidak kurang walau tidak boleh dibilang banyak. Masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, organisasi masyarakat, pemerintah, swasta, lembaga pengawas eksternal, dan lembaga pengawas internal Mahkamah Agung yang merasa sebagai pihak yang berkepentingan dalam menjaga dan mengawasi praktik peradilan sudah melakukan tindakan-tindakan dalam pemberantasan praktik korupsi di pengadilan.

Komisi Yudisial (KY) dalam program kerjanya berusaha menemukan dan menelusuri pelanggaran kode etik profesi hakim melakukan analisis mendalam terhadap putusan pengadilan. Hal ini selalu diungkapkan KY melalui tulisan di jurnal, berita di situs lembaga, maupun di setiap seminar dan pelatihan di mana KY diundang untuk menjadi pembicara atau menjadi penyelenggara acara [3]. KY berusaha mempengaruhi opini publik bahwa salah satu pintu pelanggaran kode etik hakim berpintu masuk melalui putusan pengadilan. Di sisi lain, lembaga swadaya masyarakat hendak melihat kinerja dan kepribadian hakim yang mengadili suatu perkara yang menarik perhatian masyarakat dari nilai kekayaan hakim tersebut yang dimuat dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang dapat diakses secara bebas oleh publik di situs Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) [4].

Bahkan, pihak yang kalah dalam berperkara dengan lantang mengancam akan melaporkan para hakim yang mengadili perkara tersebut ke KY dan Badan Pengawasan Mahkamah Agung. Ancaman tersebut disampaikan melalui konferensi pers, berita di media massa, maupun melalui Media Sosial (MEDSOS). Keributan di kantor pengadilan pun terjadi dengan dalih massa merasa tidak puas akan putusan yang telah diputus oleh pengadilan terhadap kasus-kasus di mana mereka terlibat sebagai pihak yang berperkara [5].

Intervensi-intervensi di atas yang tidak menunjukkan sifat-sifat humanis apakah lalu bisa serta merta menegakkan dan meningkatkan penaatan hakim terhadap kode etik dan profesi hukumnya? Ini lah yang akan penulis uraikan dan elaborasikan di bagian berikutnya untuk memperoleh jawaban apakah pemeriksaan pelanggaran kode etik yang humanis akan dapat menegakkan penaatan hakim terhadap pelanggaran kode etik profesi hakim.

Penegakan Kode Etik dan Profesi yang Humanis

Kode etik adalah norma dan asas yang diterima oleh suatu kelompok tertentu sebagai landasan tingkah laku [6]. Kode etik merupakan kumpulan etika yang diklasifikasikan yang harus dilakukan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang bersifat moralitas, seperti boleh kah berbuat hal demikian? atau pantaskah berperilaku begitu? Kode etik diciptakan untuk menegakkan etika perilaku yang mendasari suatu profesi. Kode etik hakim dan pedoman perilaku hakim disusun dan dibuat untuk demi tegaknya martabat dan integritas negara; untuk memperoleh kepercayaan dari masyarakat dan pencari keadilan; guna menjaga dan menegakkan keluhuran profesi hakim; dan untuk menunjukkan bahwa profesi hakim itu merupakan profesi yang mulia (officium nobile) [7].

Humanis merupakan kata sifat dari humanisme atau disebut juga sifat-sifat yang berhubungan dengan nilai-nilai kemanusiaan pada manusia [8]. Humanis secara sederhana dapat dikatakan sebagai “kemanusiaan.” Hakim secara sederhana juga termasuk manusia, yang menurut Chad M. Oldfather dibebani oleh publik dengan sikap imparsial, berintegritas, beradab, dan professional [9]. Hakim dan aparat peradilan yang dalam proses penegakkan kode etik tidak menerapkan sisi humanisme penegakkan etika akan mengakibatkan timbulnya resistensi dari hakim dan aparat peradilan tersebut. Artinya penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) seyogyanya menghormati nilai-nilai kemanusiaan agar berdaya guna dan berhasil guna.

Berdasarkan hasil observasi penulis, sikap-sikap humanisme dalam penegakan KEPPH adalah pemeriksaan dugaan pelanggaran kode etik tidak dilakukan secara semena-mena, menghormati terlapor dan pihak terkait, serta menghargai pendapat terlapor atau pihak terkait. Resistensi hakim atas pemeriksaan penegakan kode etik yang tidak humanis dapat ditunjukkan dengan sikap ketidakjujuran pihak terlapor dan setelah selesai menjalani masa sanksi disiplin, terlapor akan mengulangi pelanggaran kode etik itu lagi. Rasa dendam akan “kesewenang-wenangan” pihak pemeriksa terhadap terlapor merupakan penanda bukan efek jera yang ditimbulkan oleh penegakan kode etik yang tidak humanis, melainkan “kekebalan” oknum hakim pelanggar kode etik terhadap kode etik dan pedoman perilaku.

Masyarakat sebagai watchdog pengawasan publik atas pengadilan wajib menerapkan aspek humanis dalam melakukan kritik sosial terhadap pengadilan. Hentikanlah penghinaan terhadap dunia peradilan, membuka data pribadi hakim ke ruang publik juga harus dihentikan, apapun alasannya. Pengawasan publik perlu dengan menunjukkan kinerja hakim yang tidak sesuai dengan harapan dan pelanggaran atas kode etik apa yang sekiranya telah dilakukan oknum hakim tersebut, disertai dengan bukti yang cukup dan legal.

Pemulihan Peradilan dan Mengembalikan Kepercayaan Publik

Apabila pihak pengawas eksternal dan internal Mahkamah Agung dapat menerapkan penegakan kode etik secara humanis atau “memanusiakan manusia”, maka niscaya terlapor atau pihak yang terkena sanksi disiplin akan benar-benar sadar lahir dan batin akan kesalahannya dalam pelanggaran disiplin KEPPH, serta akan menimbulkan efek tobat pada diri oknum tersebut, sehingga kelak mereka akan berubah seratus delapan puluh derajat menjadi orang yang baik yang akan mengingat serta menjiwai kode etik, dan melaksanakan profesi seturut dengan etika yang bagus dan sebaik-baiknya.

Setelah para pelanggar kode etik selesai menjalankan sanksi disiplin, perlu dilakukan rehabilitasi menyeluruh atas diri mereka, sehingga mereka tidak merasa sebagai “orang yang terkutuk” akan tetapi orang yang sudah mendapat belas kasihan dan penebusan oleh Mahkamah Agung, sehingga mereka akan berjanji tidak akan mengulangi pelanggaran kode etik itu lagi. Penilaian-penilaian yang berkenaan dengan integritas hakim, seperti survei integritas hakim oleh KY juga perlu menyasar dan meneliti hakim-hakim yang sudah selesai menjalankan sanksi disiplin, terutama yang proses pemeriksaannya dilakukan dengan memperhatikan nilai-nilai humanisme. Apabila indeks survei integritas hakim bernilai baik dan terdapat penurunan jumlah pelanggar KEPPH merupakan penanda peradilan pulih dan kepercayaan publik terhadap pengadilan telah kembali.

Penutup

Penegakkan kode etik profesi hakim selama ini tidak menimbulkan efek jera pada oknum-oknum hakim. Baik lembaga pengawas eksternal, internal, maupun publik masih mempraktikkan pengawasan yang tidak humanis. Pelaksanaan penegakkan kode etik dengan memperhatikan aspek-aspek yang humanis diperlukan agar mampu mengurangi tingkat pelanggaran kode etik. Survei integritas oleh lembaga-lembaga negara yang kompeten akan membuktikan apakah penegakkan kode etik yang memperhatikan aspek humanis akan memulihkan peradilan dan kepercayaan publik akan lembaga pengadilan di Indonesia.

Referensi

[1]

Tempo, Majalah, "Harga Keadilan Hakim Agung," Majalah Tempo, pp. 72-79, 17-23 Oktober 2022.

[2]

Transparency International Indonesia, "Corruption Perception Index 2022," [Online]. Available: https://ti.or.id/corruption-perceptions-index-2022. [Accessed 2 Maret 2023].

[3]

D. Taufik F, Kewenangan Komisi Yudisial Dalam Menjaga Martabat Hakim, Jakarta: Damara Press, 2023.

[4]

Q. F. N. O. d. I. A. Shofi Siti Sholihah, "Etika Pemerintahan dalam Optimalisasi Regulasi Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara," Jurnal Wacana Kerja, vol. 26, no. 2, p. 160, 2023.

[5]

S. Nurhidaya and S. Nurhidaya, "Pengaturan dan Ruang Lingkup Contempt of Court di Indonesia," Jurnal Ius Constituendum, vol. 6, no. 2, p. 81, 2021.

[6]

S. W. Mustofa, Kode Etik Hakim, Jakarta: Kencana Prenada Media, 2013.

[7]

Ansyahrul, Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, Jakarta: Makalah, tanpa tahun.

[8]

A. Copson, What is humanism?, John Wiley & Sons, Ltd., 2015.

[9]

C. M. Oldfather, "Judge as Humans: Interdisiplinary Research and the Problems of Institutional Design," Hofstra Law Review, vol. 36, no. 125, pp. 125-126, 2007.