Pemidanaan yang Adil bagi Pelaku Tindak Pidana dengan Disabilitas Mental

12 August 2025 | Dismas Lukito Ornasto
Dismas Lukito Ornasto

format_quote

Latar Belakang

Indonesia telah memasuki era penegakan hukum pidana modern melalui pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Nasional). Salah satu norma baru yang diatur adalah pemberian sanksi pidana yang dilaksanakan secara khusus terhadap pelaku tindak pidana dengan disabilitas. Ketentuan tersebut diatur Pasal 38 KUHP Nasional yang menyatakan sebagai berikut: Setiap Orang yang pada waktu melakukan Tindak Pidana menyandang Disabilitas mental dan/atau Disabilitas intelektual dapat dikurangi pidananya dan/atau dikenai tindakan. Selanjutnya dalam Pasal 39 KUHP Nasional juga diatur mengenai pelaku tindak pidana dengan disabilitas yang dijelaskan sebagai berikut: Setiap Orang yang pada waktu melakukan Tindak Pidana menyandang Disabilitas mental yang dalam keadaan kekambuhan akut dan disertai gambaran psikotik dan/atau Disabilitas intelektual derajat sedang atau berat tidak dapat dijatuhi pidana, tetapi dapat dikenai tindakan. Ketentuan ini merupakan ketentuan baru, sebab ketentuan dalam KUHP lama yaitu Pasal 44 KUHP hanya mengatur tidak dipidananya seseorang jika jiwanya cacat/terganggu karena penyakit. Sementara dalam KUHP Nasional, pemberian sanksi pidana mengacu pada kondisi khusus yaitu pelaku tindak pidana yang sebagai penyandang disabilitas.

Terdapat perbedaan mendasar antara Pasal 38 KUHP Nasional dengan Pasal 39 KUHP Nasional. Dalam Pasal 38 KUHP Nasional, kondisi pelaku tindak pidana dianggap kurang mampu bertanggungjawab sedangkan pada Pasal 39 KUHP Nasional, kondisi pelaku tindak pidana dianggap tidak mampu bertanggungjawab. Lebih lanjut dalam Pasal 38 KUHP Nasional tersebut, akibat kurang mampu bertanggungjawab maka terdapat 3 (tiga) pilihan bagi orang yang melakukan tindak pidana yaitu: (1) dijatuhi pidana namun pidananya dikurangi; (2) dikenai tindakan; atau (3) dijatuhi pidana dengan pengurangan pidana dan dikenai tindakan. Berbeda dengan keadaan tidak mampu bertanggungjawab sebagaimana dalam Pasal 39 KUHP Nasional, maka pilihan terhadap pelaku penyandang disabilitas tersebut hanya berupa pemberian tindakan.

Mekanisme pengurangan pidana dan pemberian tindakan ini merupakan sesuatu hal yang tidak diatur sebelumnya. Rasio pengurangan pidana tidak dijelaskan dalam undang-undang, sementara pemberian tindakan-tindakan tertentu disebutkan secara singkat dalam Pasal 103 ayat (2) KUHP Nasional yang menyebutkan tindakan ini berupa rehabilitasi, penyerahan kepada seseorang, perawatan di lembaga, penyerahan kepada pemerintah, dan/atau perawatan di rumah sakit jiwa. Oleh karena tidak diaturnya mekanisme tersebut, Hakim seperti diberikan kewenangan dan keleluasaan untuk memberikan pemidanaan dan/atau tindakan. Hal tersebut tentunya perlu menjadi perhatian, sebab saat ini paradigma hukum pidana telah berubah. Sebelumnya hukum pidana bertujuan untuk melindungi kepentingan individu dari kesewenang-wenangan, namun saat ini hukum pidana telah bertujuan untuk melindungi masyarakat dari kejahatan [2]. Sejalan dengan hal tersebut, berkembangnya ilmu pengetahuan yang menjadi dasar hukum pidana modern mengakibatkan pemberian sanksi pidana berupa pemidanaan atau tindakan harus didasarkan pada hal-hal yang dapat dipertanggungjawabkan. Termasuk di dalamnya pemidanaan dan/atau pemberian tindakan bagi pelaku tindak pidana dengan disabilitas.

Penulisan ini secara khusus akan memfokuskan mengenai penyandang disabilitas mental yang telah didefinisikan dalam Penjelasan Pasal 38 KUHP Nasional, yaitu pelaku yang terganggu fungsi pikir, emosi, dan perilakunya, antara lain: (a.) psikososial, antara lain, skizofrenia, bipolar, depresi, anxiety, dan gangguan kepribadian; dan (b.) disabilitas perkembangan yang berpengaruh pada kemampuan interaksi sosial, antara lain, autis dan hiperaktif. Pembahasan akan terfokus mengenai pedoman pemidanaan yang tepat bagi pelaku tindak pidana dengan disabilitas mental untuk mencapai keadilan bagi masyarakat. Dengan adanya penulisan ini diharapkan akan mewujudkan pemidanaan yang adil bagi penyandang disabilitas mental.

Pedoman Pemidanaan Bagi Disabilitas Mental

Pedoman pemidanaan telah diatur secara baku dalam KUHP Nasional, tepatnya pada Pasal 54 yang memuat 11 (sebelas) pertimbangan dari huruf a sampai dengan huruf k. Dari pertimbangan-pertimbangan tersebut, terdapat beberapa tolak ukur dalam pemidanaan yang erat kaitannya dengan pelaku yang memiliki disabilitas mental. Salah satu tolak ukur tersebut adalah bahwa hakim harus mengetahui sikap batin pelaku. Hal tersebut berbeda dengan pola pikir penjatuhan pidana pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan tentang Hukum Pidana (KUHP Kolonial). Pada KUHP Kolonial tersebut, subjektivitas pelaku tidak menjadi hal yang utama. Apabila seseorang telah terbukti melakukan suatu perbuatan maka orang tersebut dapat dipidana, tanpa melihat sikap batinnya seperti apa, termasuk pula terhadap pelaku yang ternyata merupakan disabilitas dengan spektrum tertentu. Pengecualian terhadap pemidanaan seseorang sebatas alasan pemaaf dan pembenar. Apabila ditemukan alasan pemaaf dan/atau pembenar pada diri Terdakwa, maka barulah seseorang tersebut tidak dipidana. Pengaturan yang berbeda ditemukan dalam KUHP Nasional yang sejalan dengan perkembangan jaman. KUHP Nasional hadir dengan penjatuhan pidana yang wajib sesuai dengan pedoman pemidanaan. Didukung dengan ilmu pengetahuan modern, saat ini sikap batin dan pola pikir seseorang dapat dinilai dengan indikator-indikator tertentu yang memudahkan hakim dalam menjatuhkan putusan yang objektif. Sikap batin mempengaruhi kemampuan batiniah, seperti kemampuan memahami, membedakan yang benar dan salah, serta mengendalikan kehendak saat melakukan perbuatan pidana. Sikap batin seseorang tersebut juga mempengaruhi niat jahat atau mens rea. Menurut Sudarto, mens rea adalah keadaan psikis dari pelaku tindak pidana; keadaan psikis pelaku pada saat melakukan tindakan pidana ini adalah keadaan psikis yang dapat membuat seseorang dikenakan sanksi pidana [3]. Dalam penilaian keadaan psikis yang dapat membuat seseorang dikenai sanksi pidana tersebut, Hakim tidak bisa hanya menilai berdasarkan observasi Hakim, melainkan harus melalui penilaian yang objektif dari ahli. Penilaian tertulis tersebut semata-mata agar putusan hakim dapat dipertanggungjawabkan, karena saat ini telah ada pergeseran pemahaman pemidanaan yang berdasarkan ilmu pengetahuan. Apabila ahli tidak ada, maka Hakim dapat meminta Penuntut Umum untuk menghadirkan ahli, semata-mata agar tercapainya keadilan bagi pelaku dan juga masyarakat. Ahli tersebut juga harus memiliki kompetensi yang dapat dipertanggungjawabkan. Diperlukan kehati-hatian bagi hakim untuk melaksanakan pemeriksaan ini. Atas permintaan Hakim, sebaiknya Ahli memberikan rekomendasi mengenai pemberian sanksi (pengurangan pidana atau pemberian tindakan tertentu) yang tepat. Rekomendasi dan saran pemidanaan tersebut dibuat tertulis dan dijelaskan dengan dasar keilmuan Ahli tersebut, dengan memuat saran mengenai jumlah pengurangan pidana dan/atau pemberian tindakan yang tepat bagi penyandang disabilitas mental. Rekomendasi tersebut tidak mengikat karena keterangan ahli mempunyai nilai pembuktian yang bebas, namun memberikan petunjuk dan arahan bagi hakim dalam memutus [4].

Keadilan Bagi Disabilitas Mental Pelaku Tindak Pidana

Kata adil berdimensi sangat luas. Aristoteles mengajarkan dua macam keadilan yaitu keadilan distributif (distributief) dan keadilan komutatif (commutatief). Keadilan distributif menuntut bahwa setiap orang mendapat apa yang menjadi hak atau jatahnya yang mana penilaiannya menjadi subjektif, sedangkan keadilan komutatif memberi kepada setiap orang sama banyaknya yang mana menjadi objektif [5]. Keadilan subjektif dan objektif tersebut menjadi pelengkap apabila diaplikasikan dalam pemberian sanksi pidana pada penyandang disabilitas mental. Pemberian sanksi pidana yang sepadan dan sesuai bagi penyandang disabilitas mental memberikan kepastian hukum, yaitu bahwa setiap orang dikenai sanksi pidana apabila melakukan perbuatan pidana (sifat objektif). Sedangkan sifat subjektifnya dapat dinilai dari pemberian sanksi pidana khusus, seperti misalnya pemberian tindakan tertentu bagi pelaku. Apabila seorang penyandang disabilitas mental dipidana penjara, tidak serta merta pelaku dapat menginsafi perbuatannya, yang mana tujuan pemidanaan justru tidak tercapai. Pemidanaan dilakukan secara personal, sesuai yang dibutuhkan oleh penyandang disabilitas mental. Sebagai contoh lebih tepat apabila pemberian sanksi berupa tindakan untuk perawatan di rumah sakit jiwa (Pasal 103 ayat (2) huruf d KUHP Nasional). Pemberian sanksi tersebut dapat memberikan keadilan tidak hanya pelaku tindak pidananya, tetapi juga masyarakat secara umum.

Pemberian sanksi yang sesuai dengan yang dibutuhkan pelaku tindak pidana penyandang disabilitas mental tersebut tidak dapat dilakukan dengan hanya penentuan pidana oleh hakim. Diperlukan peran besar dari seorang ahli untuk memberikan rekomendasi pemberian tindakan atau pengurangan pidana bagi pelaku. Rekomendasi tersebut tidak mengikat karena tetap menjadi kewenangan hakim untuk menentukan, namun setidaknya hakim memiliki petunjuk untuk memberikan sanksi terhadap pelaku.

Kesimpulan

Pemidanaan bagi pelaku tindak pidana dengan disabilitas mental memiliki pengaturan-pengaturan tertentu. Agar suatu putusan dapat memberikan keadilan yang setara bagi para pihaknya, maka pemberian sanksi pidana harus dilaksanakan dengan tepat. Pemberian sanksi pidana (baik berupa pidana maupun tindakan) yang berdasarkan rekomendasi atau saran dari ahli meskipun tidak mengikat bagi hakim namun tetap dapat menjadi pemberian sanksi pidana yang dapat dipertanggungjawabkan. Hal tersebut karena salah satu alat bukti dalam KUHAP adalah keterangan ahli, maka hakim dapat memilih pemidanaan tersebut. Dengan demikian putusan hakim yang dapat dipertanggungjawabkan dan memberikan keadilan bagi masyarakat tentu memenuhi putusan hakim yang berdimensi yuridis, sosiologis, dan filsafatis. Selain itu juga mengandung kemanfaatan, keadilan dan kepastian hukum bagi masyarakat. Berpedoman pada hal-hal tersebut, maka dalam memberikan pengurangan pidana dan/atau pilihan dalam pemberian tindakan selayaknya putusan hakim mempertimbangkan pendapat dari ahli (keterangan ahli). Dalam memeriksa perkara dengan pelaku yang memiliki disabilitas mental, keterangan ahli merupakan hal yang esensial dalam pemeriksaan karena kondisi yang berbeda tiap-tiap penyandang disabilitas mental. Selain itu hakim tidak memiliki kompetensi dalam memahami kondisi mental (mental state) dari pelaku.

Referensi

[1] E.O.S. Hiariej dan T. Santoso, Anotasi KUHP Nasional. Depok: PT RajaGrafindo Persada, 2025.

[2] E.O.S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana. Depok: PT RajaGrafindo Persada, 2024.

[3] Sudarto, Hukum Pidana I Edisi Revisi. Semarang: Yayasan Hukum Sudarto FH Undip, 2009.

[4] A.K. Nasution, Masalah Hukum Pembuktian. Jakarta: Pusdiklat Kejaksaan Agung RI, 1976.

[5] S.O. Pratasis, “Implementasi Teori Keadilan Komutatif Terhadap Pelaku Pemerkosaan Menurut Pasal 285 KUHP” Vol. 2 No. 5 (2014): Lex Et Societatis, https://doi.org/10.35796/les.v2i5.4891