Latar Belakang
Keberagaman merupakan karakter khas yang menjadikan bangsa Indonesia kuat, namun dapat menjadi suatu kerentanan apabila tidak dikelola dengan baik. Semboyan “Bhinneka Tunggal Ika" menjadi simbol perekat di tengah keberagaman tersebut. Meskipun Indonesia dikenal dengan toleransi beragamanya, beberapa tahun belakangan ini muncul tren intoleransi dan peristiwa kekerasan beragama di beberapa wilayah Indonesia. Wakil Direktur Direktorat Sosial Budaya Baintelkam Polri merilis data pada tanggal 18 November 2023, yang mencatat ada 65 kasus yang terjadi selama tahun 2019 sampai dengan 2023.[1] Beberapa kasus tersebut berkaitan dengan pengerusakan tempat ibadah, unjuk rasa penolakan pembangunan tempat ibadah, tuduhan perbuatan penistaan agama, penghentian aktivitas keagamaan, dan penolakan tempat tinggal dijadikan tempat ibadah.
Delik agama/tindak pidana terhadap agama pertama kali muncul di negara Yunani dengan terminologi "blashphemy" yang berarti "berbicara jahat" atau "penghianatan terhadap Tuhan".[2] Pada awalnya delik agama (blashphemy law) tidak diatur secara khusus dalam KUHP (wetboek van strafrecht voor Indonesie), namun baru kemudian diatur dalam Pasal 156a KUHP pasca Penetapan Presiden Nomor 1/PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan dan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Namun belakangan menjadi disebut "pasal karet" karena batasan antara mens rea dan actus reus tidak tegas.[3] Lalu, ada pandangan lain yang menyatakan blashphemy law di Indonesia menimbulkan ketidakpastian hukum yang justru membahayakan individu.[4] Bahkan, ada juga pandangan yang menyatakan penerapan hukum blashphemy law di Indonesia melindungi kelompok kuat saja dan menempatkan kelompok rentan dalam posisi yang berbahaya.[5]
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Nasional) akan membawa pembaharuan komprehensif sistem hukum pidana di Indonesia. Namun apakah pembaruan tersebut telah mampu memberikan keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum atas kritik penerapan Pasal 156a KUHP sebelumnya? Berdasarkan latar belakang tersebut, ada 2 (dua) pokok permasalahan yang akan diuraikan. Pertama mengenai politik hukum dan paradigma pemidanaan pada KUHP Nasional. Kemudian kedua mengenai implikasi diberlakuknya KUHP Nasional terhadap blashphemy law di Indonesia.
Politik Hukum dan Paradigma Pemidanaan dalam KUHP Nasional
Memahami politik hukum suatu Undang-Undang sangat diperlukan ketika akan mengimplementasikan Undang-Undang tersebut. Pemahaman politik hukum ini penting diinternalisasikan dalam benak aparat penegak hukum agar terdapat kesatuan persepsi penegakan hukum dalam rangka mewujudkan tujuan negara. Mahfud MD mengatakan politik hukum adalah legal policy atau arah hukum untuk mencapai tujuan negara. [6] Politik hukum ini mencakup 3 (tiga) hal, yaitu pertama mengenai arah resmi hukum, kedua berkaitan latar belakang politik dan sub-sistem kemasyarakatan, dan ketiga mengenai persoalan-persoalan penegakan hukum.
KUHP Nasional ini lahir dari semangat untuk menyesuaikan konfigurasi politik hukum, keadaan dan dinamika masyarakat Indonesia yang mana semua itu untuk menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia yang didasarkan nilai-nilai luhur Pancasila. Sistem hukum pidana nasional disusun untuk menjaga kesimbangan antara kepentingan individu, kepentingan negara, dan kepentingan umum. Selain untuk mengganti Wetboek van strafrecht, pembaruan KUHP diarahkan untuk 3 (tiga) misi utama, yaitu dekolonialisasi KUHP, demokratisasi hukum pidana, dan konsolidasi hukum pidana. Selanjutnya misi tersebut diletakkan latar belakang politik penyusunan undang-undang ini dalam bentuk unifikasi dan kondifikasi yang berorientasi menegakkan konsistensi, kepastian hukum, kebenaran, ketertiban, keadilan, dan kemanfaatan.
Pemidanaan dalam KUHP Nasional ini tidak maksud untuk merendahkan martabat atau menderitakan manusia, bahkan tidak lagi dengan pendekatan pembalasan (retributive justice). Tujuan pemidanaan dalam era sistem hukum pidana modern ini meliputi 4 (empat) tujuan, yaitu pertama untuk mencegah terjadinya tindak pidana dengan cara melakukan penegakkan norma hukum demi pelindungan dan pengayoman masyarakat, kedua untuk memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan dan pembimbingan agar dikemudian hari bisa menjadi orang yang baik dan berguna dalam masyarakat, ketiga sebagai sarana untuk mendatangkan rasa aman, menyelesaikan konflik, dan kedamaian dalam masyarakat, menumbuhkan rasa penyesalan memulihkan keseimbangan, dan untuk membebaskan rasa bersalah pada terpidana,.
Dalam KUHP Nasional ini, pedoman pemidanaan merupakan elemen baru penjatuhan pemidanaan terhadap Terdakwa. Hakim wajib mencermati dan mempertimbangkan pedoman pemidanaan yang termuat dalam Pasal 53-56 KUHP Nasional ini dalam rangka menentukan pemidanaan yang adil bagi Terdakwa. Pedoman pemidanaan ini diperlukan hakim untuk menjaga objektivitas dan konsistensi dalam pemidanaan dengan memerhatikan dampak tindak pidana, derajat kesalahan seorang pelaku tindak pidana, dan kategori perbuatan. Setali tiga uang, kewajiban tersebut juga dapat menjadi sarana bagi lembaga pengawas untuk menilai kinerja hakim dan putusan hakim itu sendiri.[7]
Implikasi diberlakunya KUHP Nasional terhadap pemidanaan Blashphemy Law di Indonesia
Fenomena tren intoleransi dan peristiwa kekerasan beragama yang terurai dimuka merupakan peristiwa yang bertentangan dengan Hak Asasi Manuasi (HAM), khususnya hak kebebasan beragama yang termaktub dalam Pasal 18 ayat (1) International Covenant on Civil and Political Rights/ICCPR. Di Indonesia hak kebebasan beragama tersebut telah dijamin pada Pasal 28E ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hak ini bersifat non-derogable yang berarti tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Namun, hak asasi tersebut masih dapat dibatasi sejauh pembatasan tersebut selaras dengan perlindungan kebebasan beragama dan berkeyakinan itu sendiri.
KUHP Nasional juga telah secara khusus mengatur blashphemy law pada Pasal 300-305 dan membagi menjadi 2 (dua) kategori. Pertama mengenai tindak pidana terhadap agama dan kepercayaan yang bertujuan melindungi kehormatan dan marwah agama dan kepercayaan dengan cara mencegah terjadi perbuatan yang bersifat permusuhan, ungkapan kebencian atau permusuhan, penghasutan untuk melakukan kekerasan atau diskriminasi terhadap agama baik yang dimuka umum atau melalui sarana teknologi informasi. Selain itu, bertujuan untuk menghindari orang melakukan memaksa seseorang untuk menjadi tidak berkepercayaan atau beragama yang dilakukan di muka umum yang disertai perbuatan dengan kekerasan, ancaman kekerasan, atau perbuatan menghasut.
Selanjutnya kategori kedua mengenai tindak pidana terhadap kehidupan beragama atau kepercayaan dan sarana ibadah. Tujuan delik ini untuk menjamin pemeluk agama hidup damai dan jauh dari perbuatan yang tidak menyenangkan, seperti perbuatan mengganggu, merintangi, membubarkan pertemuan keagamaan atau kepercayaan, dan perbuatan gaduh. Selain itu, untuk mencegah perbuatan penghinaan pada saat orang yang sedang menjalankan atau memimpin penyelenggaraan ibadah atau upacara keagamaan. Termasuk juga perbuatan menodai bangunan yang menjadi tempat beribadah atau upacara keagamaan atau benda yang dipakai untuk beribadah atau upacara keagamaan. Bahkan termasuk pembakaran atau perusakan bangunan tempat beribadah atau upacara keagamaan atau benda yang dipakai untuk beribadah secara melawan hukum juga dilarang dalam KUHP Nasional.
Dari uraian ketentuan tersebut diatas, diketahui bahwa formulasi blashphemy law pasca KUHP Nasional telah berubah menjadi lebih jelas, melindungi kehormatan agama/kepercayaan itu sendiri, menjamin hak kebebasan memeluk agama/kepercayaan, dan menjamin para pemeluk agama/kepercayaan bebas dari kekerasan, ancaman kekerasan, dan penghinaan ketika melakukan aktivitas keagamaan atau kepercayaannya. Dihubungkan dengan pemidanaan modern yang diurai dalam bab sebelumnya, pemidanaan pelaku delik blashphemy juga harus memerhatikan tujuan pemidanaan dan kaidah pedoman pemidanaan. Apabila dicermati pemidanaan yang diatur dalam blashphemy law saat ini tidak hanya berorientasi pemidanaan penjara bagi pelaku saja, ada alternatif penjatuhan pidana lainnya yang diatur dalam Pasal 64 KUHP Nasional. Hal ini menunjukkan pemidanaan blashphemy law telah mengikuti perkembangan paradigma hukum pidana modern. Saat ini tujuan pemidanaan terhadap pelaku tidak hanya untuk menghukum pelaku saja, tetapi juga untuk memberikan kesempatan bagi pelaku untuk memulihkan dampak tindak pidananya dalam rangka untuk memperbaiki diri dan berkontribusi positif kepada masyarakat. Selanjutnya, jenis pidana tambahan juga diperluas yang salah satunya pemenuhan kewajiban adat setempat. Bahkan alternatif penjatuhan pidana denda dapat lebih efektif dengan pengaturan khusus dalam Pasal 79-84.
Penutup
KUHP Nasional merupakan titik tolak fundamental terhadap pembaruan sistem hukum pidana di Indonesia. Formulasi pemidanaan dan blashphemy law dalam KUHP Nasional telah jelas batas-batasnya dan efektif mencapai tujuan pemidanan itu sendiri. Dengan demikian, pemidanaan blashphemy law yang berlaku saat ini telah berparadigma pemidanaan modern dan memperkuat peran hukum dalam menjamin hak kebebasan beragama di Indonesia.
Referensi
[1] A. Ridwansyah, “65 Kasus Intoleransi Terjadi di Indonesia pada 2019-2023,” KBRI. Accessed: Apr. 25, 2025. [Online]. Available: 5 Kasus Intoleransi Terjadi di Indonesia pada 2019-2023
[2] S. Siddik, “The Origin of the Indonesian Blasphemy Law and its Implication towards Religious Freedom in Indonesia,” Tebuireng J. Islam. Stud. Soc., vol. 3, no. 1, pp. 17–33, 2022, doi: 10.33752/tjiss.v3i1.3648.
[3] L. C. Lintang, A. Martufi, and J. W. Ouwerker, “The Alternative Concepts of Blasphemy Law in Indonesia: Legal Comparison with Ireland and Canada,” Bestuur, vol. 9, no. 1, pp. 13–25, 2021, doi: 10.20961/bestuur.v9i1.51632.
[4] P. M. Faiz, “The Protection of Civil and Political Rights by the Constitutional Court of Indonesia,” Indones. Law Rev., vol. 6, no. 2, p. 158, 2016, doi: 10.15742/ilrev.v6n2.230.
[5] I. Hasani and Halili, “Human Rights and Constitutionality Issues of Blasphemy Law in Indonesia,” J. Konstitusi, vol. 19, no. 2, pp. 406–430, 2022, doi: 10.31078/jk1927.
[6] A. Triningsih, “Politik Hukum Pengujian Peraturan Perundang-Undangan dalam Penyelenggaraan Negara,” J. Konstitusi, vol. 13, no. 1, p. 124, 2016, doi: 10.31078/jk1316.
[7] I. K. H. Eva Achjani Zulfa, Taliya Qori Ismail, Adnan Mughoffar, Puisi Wihdah, Almira Ahmad. Siti Maun Pasaribu, Aghaesa Rakandhya, Perkembangan Asas-Asas Hukum Pidana (persandingan Buku I KUHP Lama dan Baru), First. Depok: PT Raja Grafindo Persada, 2023.