Latar Belakang
Kejahatan Korporasi yang semakin kompleks seiring perkembangan jaman menuntut adanya regulasi hukum pidana yang mampu menjangkau entitas korporasi secara efektif. Di Indonesia, pengaturan pertanggungjawaban tindak pidana korporasi sebelum adanya KUHP Nasional tersebar dalam berbagai regulasi sektoral, dan secara khusus diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi.
Pembaruan KUHP Nasional membawa perubahan mendasar terkait pertanggungjawaban pidana korporasi. Sebelumnya, KUHP lama tidak mengatur pertanggungjawaban pidana korporasi sebagai subjek hukum. Berangkat dari kebutuhan tersebut, KUHP Nasional yang baru kemudian secara jelas menempatkan korporasi sebagai subjek hukum pidana.
Konsep pertanggungjawaban tindak pidana korporasi di Indonesia juga perlu dibandingkan dengan Belanda, yang secara historis merupakan acuan awal dalam sistem hukum pidana Indonesia. Belanda telah lama mengadopsi konsep pertanggungjawaban pidana korporasi, termasuk prinsip culpa in eligendo dan culpa in vigilando.
Sehingga ditemukan rumusan masalah pertama, bagaimana perubahan paradigma pertanggungjawaban pidana korporasi dalam KUHP Nasional dibandingkan KUHP lama? dan kedua, bagaimana perbandingan konsep pertanggungjawaban pidana korporasi dalam KUHP Nasional dengan sistem hukum Belanda?
Penelitian ini bertujuan Untuk mengetahui perubahan paradigma pertanggungjawaban pidana korporasi dalam KUHP Nasional dibandingkan KUHP lama dan untuk mengetahui perbandingan konsep pertanggungjawaban pidana korporasi dalam KUHP Nasional dengan sistem hukum Belanda;
Pembahasan
Perubahan Paradigma Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam KUHP Nasional dibandingkan KUHP Lama
KUHP Lama tidak mengakui korporasi sebagai subjek hukum pidana secara langsung, sehingga tanggung jawab pidana lebih banyak dibebankan kepada pengurus atau individu yang mengelola perusahaan. Pertanggungjawaban pidana korporasi bersifat sektoral, seperti dalam UU Tipikor, TPPU, dan Lingkungan Hidup. Di sisi lain, KUHP Nasional mengakui korporasi sebagai subjek hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 45 ayat (1) KUHP Nasional.
Paradigma baru dalam pertanggungjawaban pidana korporasi di KUHP Nasional mengintegrasikan nilai-nilai Pancasila, keadilan substantif, dan pendekatan restoratif. Hal ini sejalan dengan kritik atas rancangan hukum sebelumnya yang menekankan reformulasi pada pemidanaan serta perumusan unsur kesalahan dan perbuatan yang dilarang. Dasar Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam KUHP Lama Menggunakan pendekatan "vicarious liability", dimana yang dapat dihukum adalah pengurus korporasi. Sedangkan dalam KUHP Nasional Mengadopsi konsep "identifikasi" dan "pengendalian", dimana korporasi dapat dipertanggungjawabkan jika tindak pidana dilakukan oleh Orang yang memiliki wewenang mengambil keputusan dalam korporasi (functional approach), Orang yang bertindak untuk kepentingan korporasi (corporate culture theory), Adanya kelalaian dalam pengawasan (culpa in vigilando).
Selain itu, pertanggungjawaban pidana korporasi menunjukkan bahwa pengaturan dimasa lalu cenderung bersifat terpisah dari kerangka hukum pidana umum. Dalam KUHP Nasional, dilakukan dengan penekanan pada aspek perbuatan melawan hukum, kesalahan, dan pedoman pemidanaan, sehingga mampu mengakomodasi kompleksitas kejahatan yang dilakukan oleh korporasi dengan menggabungkan "strict liability" dan "fault-based liability", penekanan pada tindakan langsung oleh pengurus/pemegang kendali (direct liability) sebagaimana diatur dalam Pasal 46 KUHP Nasional, Kegagalan pengawasan (corporate negligence) sebagaimana diatur dalam Pasal 47 KUHP Nasional, Budaya korporasi yang mendukung kejahatan (corporate culture liability). Dengan memperluas jenis sanksi termasuk denda dengan sistem perhitungan khusus, Pencabutan izin usaha, Pembubaran korporasi, Perampasan keuntungan dari tindak pidana, namun korporasi dapat mengajukan "due diligence defense", yaitu pembuktian bahwa korporasi telah melakukan upaya pencegahan maksimal untuk menghindari tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 48 huruf d KUHP Nasional.
Perbandingan Konsep Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam KUHP Nasional dengan Sistem Hukum Belanda
Sistem hukum Belanda telah lama menerapkan konsep pertanggungjawaban pidana korporasi secara komprehensif sebagaimana diatur dalam Pasal 51 Wetboek van Strafrecht (WvS) dimana dalam praktik restoratif yang melekat pada sistem hukum Belanda, terdapat usaha untuk mendorong akuntabilitas korporasi secara menyeluruh, individu dan struktur organisasi. Disamping itu, penafsiran regulasi di Belanda secara konsisten menempatkan korporasi sebagai subjek yang dapat dikenai sanksi pidana atas kegagalan tata kelola dan tindak kejahatan sistemik, misalnya dalam kasus kejahatan transnasional dan kerusakan lingkungan.
Di Indonesia, penerapan konsep personalitas dalam pertanggungjawaban menjadikan penegakan hukum terhadap kejahatan korporasi memiliki ruang lingkup yang terbatas dimana jenis sanksi dalam KUHP Nasional meliputi Denda, Pencabutan izin usaha, Pembubaran korporasi, Perampasan aset hasil kejahatan. Sedangkan di Belanda memanfaatkan mekanisme yang lebih holistik dan terintegrasi dengan pendekatan restoratif, seperti yang juga dijelaskan Hasanah dan Aulia bahwa penerapan pertanggungjawaban terhadap korporasi di Belanda, telah mencakup kejahatan lingkungan, yang memberikan gambaran mengenai bagaimana pendekatan sistemik diterapkan secara lebih tegas dimana jenis sanksinya Denda (boete), Pencabutan izin (ontneming van vergunningen), Pembubaran (opheffing van de rechtspersoon), Pidana tambahan (publicatie vonnis) atau publikasi putusan pengadilan.
Dasar Pertanggungjawaban Pidana dalam KUHP Nasional menggunakan pendekatan gabungan diantaranya Identifikasi (functional approach) – korporasi bertanggung jawab jika pelaku adalah orang yang memiliki kewenangan pengambilan Keputusan. Kedua, Kepentingan korporasi – tindakan dilakukan untuk kepentingan korporasi. Ketiga, Kelalaian pengawasan (culpa in vigilando) – korporasi dapat dihukum jika lalai mencegah kejahatan. Sedangkan dalam WvS Belanda Menggunakan dual system diantaranya: Direct liability (Pasal 51 WvS) – korporasi bertanggung jawab langsung atas tindakan pengurus/pemegang kendali, contohnya Perusahaan konstruksi "BouwBedrijf BV" diduga melakukan penipuan dalam proyek pembangunan jalan dengan sengaja menggunakan material di bawah standar untuk menghemat biaya. Direktur perusahaan secara langsung memerintahkan penggunaan material berkualitas rendah dan memalsukan dokumen pengujian, Korporasi (BouwBedrijf BV) dapat dituntut langsung karena tindakan direktur (sebagai pengurus) merupakan manifestasi kehendak korporasi. Meskipun pelaku fisiknya adalah individu, korporasi bertanggung jawab secara hukum sebagai subjek pidana. Kedua, Vicarious liability (Pasal 6:162 BW) – korporasi dapat dihukum atas tindakan pegawai jika ada hubungan kerja dan tindakan tersebut dalam lingkup pekerjaan, contohnya Sebuah perusahaan logistik "TransportNet NV" memiliki sopir pengiriman yang menyebabkan kecelakaan fatal karena mengemudi dalam keadaan mabuk selama jam kerja. Keluarga korban menggugat Perusahaan, karena Ada hubungan kerja antara sopir dan TransportNet NV. Ketiga, Corporate culture theory – korporasi dapat dihukum jika budaya organisasi mendorong kejahatan, contohnya Bank "FinBank NV" terlibat skandal pencucian uang karena sistem internalnya mengabaikan pelaporan transaksi mencurigakan, Budaya perusahaan yang mengutamakan profit di atas kepatuhan hukum dianggap mendorong kejahatan. Korporasi dapat dihukum meskipun tidak ada perintah eksplisit dari pengurus.
Sistem Pembuktian dan Pertahanan Hukum dalam KUHP Nasional menggunakan prinsip Due diligence defense – korporasi dapat membebaskan diri dengan membuktikan telah melakukan upaya pencegahan maksimal dan Beban pembuktian tetap pada penuntut umum. Sedangkan di Belanda, "Schuldloos" (tanpa kesalahan) – korporasi dapat bebas jika membuktikan tidak ada kesalahan atau tidak dapat dicegah (overmacht).
Penutup
Dalam KUHP Lama, tanggung jawab pidana umumnya dibebankan kepada individu, seperti pengurus perusahaan, dengan pendekatan sektoral dan doktrinal yang terbatas. Sebaliknya, KUHP Nasional secara jelas mengakui korporasi sebagai subjek hukum pidana, sebagaimana diatur dalam Pasal 45 ayat (1) KUHP Nasional. KUHP Nasional mengkombinasikan strict liability dan fault-based liability untuk menyesuaikan dengan kompleksitas kejahatan korporat yang semakin berkembang. Selain itu, KUHP Nasional mengatur mekanisme pertanggungjawaban yang lebih terstruktur, dimana korporasi dikenai sanksi pidana langsung, termasuk sanksi tambahan seperti denda berbasis perhitungan khusus, pencabutan izin usaha, pembubaran korporasi, dan perampasan keuntungan ilegal. Korporasi juga diberikan peluang untuk mengajukan due diligence defense sebagai bukti upaya maksimal mencegah kejahatan.
Perbandingan antara konsep pertanggungjawaban pidana korporasi dalam KUHP Nasional dengan sistem hukum Belanda menunjukkan perbedaan signifikan, baik dari penerapan dual system yaitu direct liability, vicarious liability, dan corporate culture theory. Mekanisme ini lebih matang dengan sanksi yang lebih luas seperti denda progresif, pencabutan izin, pembubaran korporasi, dan pidana tambahan berupa publikasi putusan pengadilan. KUHP Nasional menggunakan pendekatan gabungan antara lain teori identifikasi, kepentingan korporasi, dan kelalaian pengawasan. Dalam hal pembuktian, Indonesia menerapkan prinsip due diligence defense dengan beban pembuktian pada penuntut umum, sementara Belanda mengakui pembelaan schuldloos (tanpa kesalahan) serta strict liability dalam kasus tertentu.
[1] |
K. Fadhila, "Reformasi hukum pidana dan pertanggungjawaban korporasi dalam uu kuhp 2023," Action Research Literate, vol. 8, no. 3, p. https://doi.org/10.46799/arl.v8i3.277, 2024. |
[2] |
D. a. K. K. Priyatno, "The formulation policy on corporate criminal liability system for the 1950 - 2017 period and its harmonization in the renewal of national criminal law, https://doi.org/10.25134/," Unifikasi Jurnal Ilmu Hukum, vol. 5, no. 2, p. 133, 2018. |
[3] |
D. Tsiaklagkanou, "French Tort Law Reform: A Rappr t Law Reform: A Rapprochement t ochement to Other Legal o Other Legal," Journal of International Business and Law, vol. 22, no. 2, p. Article 4, 2023. |
[4] |
W. &. S. Y. Setiawan, "Pertanggungjawaban dan dasar penghapusan pidana korporasi di indonesia ditinjau berdasarkan kuhp 2023. https://doi.org/10.37010/fcs.v6i1.1889," Focus, pp. 75-91, 2025. |
[5] |
I. Remaja, "Rancangan kuhp nasional sebagai rancangan pembaharuan hukum pidana yang perlu dikritisi.," Kertha Widya Jurnal Hukum, vol. 7, no. 2, p. https://doi.org/10.37637/kw.v7i2.407, 2020. |
[6] |
I. W. E. &. A. A. Kabes, "Reformasi hukum pidana dalam pertanggungjawaban tindak pidana korporasi membayar upah minimum menggunakan perhitungan take home pay.," Journal of Law Administration and Social Science, vol. 4, no. 5, pp. 996-1005, 2024. |
[7] |
D. a. K. K. Priyatno, "The formulation policy on corporate criminal liability system for the 1950 - 2017 period and its harmonization in the renewal of national criminal law, https://doi.org/10.25134/," Unifikasi Jurnal Ilmu Hukum, vol. 5, no. 2, p. 133, 2018. |
[8] |
R. a. S. C. Mukhlis, "Eksistensi korporasi sebagai subjek hukum dalam pertanggungjawaban pidana dalam kitab undang-undang hukum pidana (kuhp) baru, https://doi.org/10.32520/das-sollen.v10i1.3325," Jurnal Hukum Das Sollen, vol. 10, no. 1, pp. 133-141, 2024. |
[9] |
F. a. K. N. Faradila, "Sanksi pidana tambahan terhadap korporasi dalam praktik penegakan hukum di indonesia, https://doi.org/10.46799/arl.v8i11.2349," Action Research Literate, vol. 8, no. 11, pp. 3174-3184, 2024. |
[10] |
W. K. Sjostrom, "The Due Diligence Defense Under Section 11 of the Securities Act of 1933," Brandeis Law Journal, vol. 44, no. Available at SSRN: https://ssrn.com/abstract=864584, p. 549, 2006. |
[11] |
U. a. A. T. Hasanah, "Studi komparasi: restorative justice indonesia dan belanda sebagai alternatif penyelesaian perkara pidana, https://doi.org/10.37477/sev.v9i2.504," Sapientia Et Virtus, vol. 9, no. 2, pp. 415-429, 2024. |
[12] |
A. Wibisana, "Kejahatan lingkungan oleh korporasi: mencari bentuk pertanggungjawaban korporasi dan pemimpin/pengurus korporasi untuk kejahatan lingkungan di indonesia?, https://doi.org/10.21143/jhp.vol46.no2.," Jurnal Hukum & Pembangunan, vol. 46, no. 2, p. 149, 2016. |
[13] |
D. a. K. K. Priyatno, "The formulation policy on corporate criminal liability system for the 1950 - 2017 period and its harmonization in the renewal of national criminal law, https://doi.org/10.25134/," Unifikasi Jurnal Ilmu Hukum, vol. 5, no. 2, p. 133, 2018. |
[14] |
I. a. S. I. Martha, "Kebijakan hukum pidana dalam pertanggungjawaban tindak pidana korporasi di indonesia, https://doi.org/10.22225/kw.12.1.422.1-10," Kertha Wicaksana, vol. 12, no. 1, pp. 1-10, 2018. |
[15] |
R. &. S. C. Mukhlis, "Eksistensi korporasi sebagai subjek hukum dalam pertanggungjawaban pidana dalam kitab undang-undang hukum pidana (kuhp) baru, https://doi.org/10.32520/das-sollen.v10i1.3325," Jurnal Hukum Das Sollen, vol. 10, no. 1, pp. 133-141, 2024. |