PEMAAFAN HAKIM (JUDICIAL PARDON) DALAM KUHP NASIONAL: IMPLIKASI DAN TANTANGAN DALAM SISTEM PERADILAN INDONESIA

11 August 2025 | Marsinta Uly
Marsinta Uly

format_quote

Latar Belakang

Kitab Undang – Undang Hukum Pidana Nasional (KUHP Nasional) akan berlaku secara efektif pada tanggal 02 Januari 2026 dan salah satu hal baru yang diatur dalam Buku Kesatu adalah mengenai pemaafan hakim atau judicial pardon atau asas rechterlijke pardon yang tercantum dalam Penjelasan Pasal 54 ayat 2 KUHP Nasional. Rechterlijk Pardon adalah istilah dalam hukum yang berasal dari bahasa Belanda yang memiliki arti pengampunan yang diberikan oleh pengadilan atau hakim kepada seseorang yang telah terbukti bersalah dalam suatu tindak pidana. Pemberian maaf ini merupakan pedoman pemidanaan yang sudah diatur dalam Pasal 54 ayat 2 KUHP Nasional dimana hakim wajib mempertimbangkan mengenai ringannya perbuatan pelaku tindak pidana, bagaimana keadaan pribadi pelaku, atau keadaan pelaku pada waktu tindak pidana dilakukan serta apa yang terjadi kemudian setelah tindak pidana dilakukan. Faktor ini dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana atau tidak mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan sisi keadilan dan kemanusiaan. Ketentuan pada ayat ini memberi kewenangan kepada hakim untuk memberi maaf kepada seseorang yang bersalah melakukan tindak pidana yang sifatnya ringan. Pemberian maaf ini dicantumkan dalam putusan hakim dan tetap harus dinyatakan bahwa terdakwa terbukti melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya.

Meskipun KUHP Nasional sudah mengatur mengenai pedoman pemidanaan dalam Pasal 54 ayat 1 dimana seorang hakim wajib mempertimbangkan 11 (sebelas) faktor yang sifatnya dapat bersifat alternatif maupun kumulatif akan tetapi faktor tersebut tetap berbeda dengan pertimbangan untuk mendapatkan pemaafan hakim yang diatur dalam Pasal 54 ayat 2, karena 11 (sebelas) faktor tersebut menjadi pedoman pemidanaan yang diterapkan pada jenis putusan bebas, putusan lepas atau putusan pemidanaan. Hal ini berbeda dengan putusan pemaafan hakim dimana terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana namun hakim diberikan kewenangan untuk memberikan pengampunan atau memberi maaf sehingga Terdakwa tidak dijatuhi pidana atau tindakan.

Munculnya konsep judicial pardon ini menimbulkan kegelisahan tersendiri dalam sistem peradilan di Indonesia, dimana undang-undang telah memberikan mandat atau kewenangan baru kepada hakim untuk bisa memeriksa dan mengadili perkara pidana namun oleh karena kebijaksanaannya hakim dapat memberikan kesempatan kedua kepada pelaku tindak pidana yang menunjukan penyesalan dan kemauan untuk memperbaiki perilakunya. Bahkan dalam RUU KUHAP, jenis putusan pengadilan tidak hanya putusan pemidanaan, putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum melainkan ditambah jenis yang terbaru yaitu putusan pemaafan hakim dimana putusan pemafaan hakim adalah pernyataan Hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka yang menyatakan terdakwa terbukti bersalah, tetapi karena ringannya perbuatan, keadaan pribadi pelaku, atau keadaan pada waktu dilakukan tindak pidana serta yang terjadi kemudian, hakim tidak menjatuhkan pidana atau tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan. Dengan berlakunya konsep judicial pardon, maka diperlukan penelitian lebih lanjut yang bertujuan menjawab dua permasalahan pokok: pertama, bagaimana implikasi penerapan judicial pardon dalam sistem peradilan pidana dan kedua, apa saja tantangan yang dihadapi dalam implementasi judicial pardon tersebut?

Implikasi Konsep Judicial Pardon dalam Sistem Peradilan Pidana

Judicial Pardon merupakan kewenangan baru yang menyediakan fleksibiltas bagi hakim dalam menjatuhkan putusan yang lebih adil. KUHP yang berlaku saat ini mengenal bahwa untuk menjatuhkan pidana rumus yang diperlukan adalah Tindak Pidana + Pertanggungjawaban = Pemidanaan. Artinya ketika terbukti ada tindak pidana dan ada pertanggungjawaban pelaku maka hakim akan memutus dengan jenis putusan pemidanaan dan ketika terbukti ada perbuatan namun bukan suatu tindak pidana maka hakim akan memutus lepas sedangkan apabila pertanggungjawaban tidak terpenuhi maka hakim akan memutus bebas. Namun berbeda dengan KUHP Nasional, rumusan pemidanaan adalah: Tindak Pidana + Pertanggungjawaban Pidana + Pedoman Pemidanaan = Pemidanaan, artinya walaupun tindak pidana sudah terpenuhi, pertanggungjawaban pidana ada, namun ada pedoman pemidanaan yang diatur dalam Pasal 53 sampai dengan Pasal 56 KUHP Nasional yang mana salah satunya adalah mengenai pemafaan hakim yang dalam RUU KUHAP sudah diatur mengenai putusan pemaafan hakim.

Judicial pardon masih menjadi suatu konsep yang bahkan didalam pasal KUHP nasional dicantumkan sebagai asas yang memberi kewenangan kepada hakim untuk memberimaaf pada seseorang yang bersalah melakukan tindak pidana yang sifatnya ringan. Pemberian maaf ini dicantumkan dalam putusan hakim dan tetap harus dinyatakan bahwa terdakwa terbukti melakukan Tindak Pidana yang didakwakan kepadanya. Artinya judicial pardon adalah wujud nyata dari diskresi hakim yang digunakan untuk mengedepankan rasa keadilan. Sebagaimana teori hukum progresif, Satjipto Rahardjo menyatakan hakim bukan sekedar juru bicara undang-undang, tetapi penjaga keadilan yang hidup dalam masyarakat. Sehingga implikasi penerapan judicial pardon dalam KUHP Nasional selaras dengan teori hukum progresif yang menolak peran hakim yang pasif dan legalistik, melainkan mendorong peran hakim yang aktif, kreatif dan responsive terhadap nilai-nilai keadilan dalam masyarakat sehingga kasus seperti nenek minah yang memetik 3 (tiga) buah kakao di Perkebunan milik Perusahaan swasta dapat diselesaikan dengan konsep judicial pardon.

Implikasi penerapan dari judicial pardon juga dapat meningkatkan kepercayaan publik terhadap sistem peradilan yang lebih manusiawi karena secara sosial masyarakat akan melihat bahwa tujuan pemidanaan dalam KUHP nasional bukanlah pembalasan/retributive melainkan bertujuan untuk perlindungan masyarakat, memasyarakatkan terpidana, penyelesaian konflik yang ditimbulkan akibat tindak pidana dan mendatangkan rasa aman bagi masyarakat serta menumbuhkan rasa penyesalan dan membebaskan rasa bersalah pada terpidana. Akan tetapi, untuk menentukan perbuatan dan keadaan seperti apa yang layak mendapatkan pemaafan hakim perlu diatur lebih lanjut karena berpotensi menimbulkan kontroversi di masyarakat karena dianggap sebagai bentuk keberpihakan terhadap pelaku kejahatan tertentu. Alih-alih meningkatkan kepercayaan publik, masyarakat bisa menganggap bahwa ini adalah alat baru yang dapat disalahgunakan oleh Hakim. Oleh karena itu, penggunaan judicial pardon harus dibatasi dengan diberikan syarat-syarat penggunaannya sebagaimana yang tercantum dalam UU KUHP dan harus diterapkan secara akuntabel dengan tetap mempertimbangkan kepentingan umum (public interest).

Sebagaimana diatur dalam KUHP Nasional, tujuan pemidanaan bukanlah untuk pembalasan maka tidak semua pelaku tindak pidana harus dibina di lembaga pemasyarakatan (Lapas). Hal ini tentunya akan mengurangi salah satu masalah yang ada di Indonesia saat ini yaitu mengenai overkapasitas dalam Lapas di berbagai daerah. Konsep judicial pardon yang digunakan tepat sasaran dan sesuai dengan syarat-syarat yang diatur tentunya akan mengurangi jumlah narapidana dan mengatasi masalah overkapasitas di Lapas. Selain itu terhadap pelaku tindak pidana ringan tidak akan kehilangan hak-hak sosialnya dan memulihkan keseimbangan sebagaimana tujuan pemidanaan yang diharapkan dalam KUHP Nasional.

Tantangan dalam Implementasi Judicial Pardon Dalam Sistem Peradilan Pidana

Implementasi Judicial Pardon tentunya akan mendapatkan tantangan. Salah satunya adalah bagaimana hakim harus mempertimbangkan keseimbangan antara hak korban dengan terdakwa sehingga keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan dapat tercapai. KUHP Nasional dalam Pasal 53 ayat (2) jelas mengatur bahwa ketika terdapat pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, maka hakim wajib mengutamakan keadilan dengan cara hakim harus menggali nilai keadilan substansial, bahkan bila perlu melampaui teks hukum yang kaku, tidak hanya sebagai corong undang-undang akan tetapi memperhatikan aspek sosiologis dan filosofis hukum. Sesuai dengan teori hukum progresif yang dikemukakan Satjipto Rahardjo bahwa Hukum untuk manusia, bukan manusia untuk hukum.

Selain itu, tantangan yang lain adalah ketika hakim menganggap bahwa judicial pardon sama dengan restorative jusctice padahal kedua hal ini berbeda dimana judicial pardon adalah putusan sepihak hakim berdasarkan pertimbangan khusus; sedangkan restorative justice melibatkan partisipasi aktif korban dan pelaku, serta sering terjadi di luar pengadilan. Restorative justice sendiri sudah diatur dalam Perma Nomor 1 tahun 2024 yang mana tujuan utama Perma ini adalah memberikan pedoman bagi hakim dalam mengadili perkara pidana dengan pendekatan keadilan restoratif. Pendekatan ini menekankan pada pemulihan kerugian korban, tanggung jawab pelaku, dan pemulihan harmoni sosial, bukan semata-mata pada pemidanaan pelaku.

Berkaca pada pembuatan Perma tentang restorative justice, judicial pardon juga akan lebih mudah dilaksanakan ketika pedoman nya telah ada. Entah dalam bentuk template format baku seperti dalam SK KMA Nomor: 359/KMA/SK/XII/2022 atau dengan membuat pedoman standar baku dalam penerapan judicial pardon nya seperti pada Perma restorative justice. Karena tidak adanya standar baku dapat memunculkan disparitas dalam putusan hakim. Selain itu, kewenangan baru ini dapat disalahgunakan untuk kepentingan tertentu karena kebijaksanaan ini terletak pada Hakim yang menangani perkara tersebut. Sehingga peran Mahkamah Agung sebagai Lembaga pemegang kekuasaan kehakiman diperlukan untuk membuat pedoman tentang bagaimana ukuran menentukan ringannya perbuatan, keadaan pribadi pelaku atau keadaan pada waktu dilakukan tindak pidana serta yang terjadi kemudian dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan yang masih dalam tataran abstrak karena dengan adanya pedoman yang jelas tujuan pembuat undang-undang dapat tercapai sesuai dengan yang diharapkan tanpa mencederai kepastian hukum itu sendiri. Dengan adanya pedoman yang jelas, maka pengawasan dalam penerapan judicial pardon pun dapat dilakukan.

Penutup

Konsep judicial pardon dalam KUHP Nasional merupakan langkah progresif dalam sistem peradilan pidana yang bertujuan untuk menciptakan keseimbangan antara kepastian hukum dan keadilan. Secara implikatif, judicial pardon memberikan keleluasaan kepada hakim untuk mengedepankan keadilan substantif dalam memutus perkara. Namun, implementasinya menghadapi berbagai tantangan, seperti risiko disparitas putusan, potensi penyalahgunaan wewenang, dan kekosongan hukum acara. Oleh karena itu diperlukan regulasi yang jelas seperti Perma untuk mengatur mengenai syarat-syarat penerapan judicial pardon sehingga terdapat pedoman untuk membatasi subjektivitas hakim dalam menerapkan judicial pardon. Mahkamah Agung juga perlu menyiapkan mekanisme pengawasan ketat agar konsep judicial pardon dapat diimplementasikan secara akuntabel dan selaras dengan undang-undang.

 

Referensi

[1] Eddy O.S.Hiariej and Topo Santoso, Anotasi KUHP Nasional.

[2] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

[3] Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

[4] Catur Alfath Satria, S.H. “Pemaafan Yudisial (Judicial Pardon): Solusi atau Masalah?,” in Bunga Rampai Kajian Dunia Peradilan, CV Pustaka Umum, 2025.

[5] Satjipto Rahardjo, Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya. Yogyakarta: Gentapress, 2008.