Pendahuluan
Tujuan Pemidanaan pada KUHP 2023 telah bergeser: Ia menghukum kesalahan, namun selalu memberi ruang bagi pertobatan. Metafora tersebut dapat dilihat pada Pasal 51 huruf d KUHP 2023 yang menyatakan tujuan pemidanaan untuk menumbuhkan rasa penyesalan dan membebaskan rasa bersalah pada terpidana. Rumusan tersebut didasari pada philosophies of punishment yang bertujuan memulihkan keadaan (restoratif) [1]. Untuk mewujudkan tujuan pemidanaan, maka perlu diatur pedoman pemindaan / the guidelines of sentencing / Straftoemetingsleiddraad [2] Fungsinya, tidak lain adalah menghindari disparitas pidana yang dijatuhkan dengan pertimbangan rasional (rational sentencing) dan bukan berdasarkan diskresi hakim [3].
Pasal 54 KUHP 2023 mengatur 11 (sebelas) indikator yang harus diperhatikan hakim dalam menentukan jenis dan berat / ringan hukuman. Pada penelitian ini, akan dibahas satu indikator yaitu “Sikap dan tindakan pelaku sesudah melakukan Tindak Pidana” (huruf f) yang diwujudkan dalam pengakuan bersalah Terdakwa. Indikator tersebut dipilih karena kerap atau sering digunakan dalam pertimbangan yang menentukan berat / ringan hukuman. Permasalahannya, apa parameter atau fakta untuk menilai sikap pelaku? Lalu, bagaimana nilai parameter tersebut diwujudkan dalam sebuah ‘angka pemidanaan’ sehingga berat/ringannya hukuman dapat diukur secara rasional dan tidak menimbulkan disparitas (unwarranted disparity)?
Parameter Sikap Dan Tindakan Pelaku Sesudah Melakukan Tindak Pidana
Pada KUHP 2023, parameter sikap dan tindakan pelaku sesudah melakukan tindak pidana mempunyai beragam kondisi. Penulis berdasarkan kajian putusan kemudian merangkumnya dalam beberapa pertanyaan (sebagai guidelines / parameter). Pentingnya parameter mengingat cerminan sikap batin sebenarnya sangat sulit diukur apabila hanya melihat pengakuan bersalah pelaku [4]. Untuk mengukurnya, berikut rangkuman parameter untuk menentukan Sikap Dan Tindakan Pelaku Sesudah Melakukan Tindak Pidana:
Parameter pertama, apakah pelaku segera menyerahkan diri secara sukarela kepada pihak berwajib? Kedua, apakah pelaku mengakui seluruh perbuatan dan kerjasama untuk pengungkapan tindak pidana? Ketiga, (jika ada korban) apakah pelaku segera meminta maaf kepada korban dan/atau keluarganya disertai ganti rugi yang rasional? Keempat, (jika tidak ada korban) apa upaya untuk pemulihan kondisi sosial kepada masyarakat (restorasi)? Kelima, apakah pelaku menunjukkan rasa penyesalan, pengakuan bersalah dan perubahan perilaku?
Penggabungan parameter ini dimaksudkan untuk memastikan sekalipun tanpa pemaafan korban, peringanan hukuman tidak dapat ‘dibeli’ dari sekedar mengakui kesalahannya. Karena pada praktiknya penilaian pengakuan bersifat subyektif. Namun, penggunaan parameter tersebut disisi lain juga tidak akan terlepas sepenuhnya dari problematika untuk menilainya. Misalnya: Bagaimana jika Terdakwa mengakui perbuatan namun Penasihat Hukum dalam pembelaannya menyatakan Terdakwa tidak bersalah. Pada kasus tertentu, Terdakwa mengakui perbuatan tetapi tidak menyesalinya (Contoh Kasus: Pelaku membunuh korban, karena korban memperkosa istri pelaku. Pelaku menyerahkan diri, mengakui perbuatannya tetapi tidak menyesalinya) [5]. Pada kasus tersebut, maka pedoman pemidanaan lainnya juga patut untuk dipertimbangkan (motif dan tujuan serta cara melakukan Tindak Pidana pada Pasal 54 huruf b dan e).
Pedoman Pemidanaan Yang Terukur: Mengubah Fakta Menjadi Angka
Dari 11 (sebelas) indikator Pedoman Pemidanaan, hanya pertimbangan Sikap Dan Tindakan Pelaku Sesudah Melakukan Tindak Pidana yang diwujudkan dalam pengakuan bersalah (statement of guilt) [6] yang mempunyai nilai atau alasan yuridis yang pasti untuk mengurangi batas maksimal ancaman pidana, sedangkan pengurangan hukuman berdasarkan indikator lainnya, diserahkan pada pertimbangan rasional Hakim.
Alasan yuridis diatur pada Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut RKUHAP). Nilai pengakuan Terdakwa tidak bisa lepas dari sejarah pengakuan bersalah hingga lahirnya lembaga plea barganing yang kemudian diadopsi di RKUHAP [7]. Konsep ini berasal dari Inggris dan Amerika Serikat (abad 18), mulanya dari guilty pleas atau pengakuan bersalah [8]. Penerapan konsep tersebut (jika RKUHAP berlaku) akan langsung `memotong` minimal atau setidak-tidaknya 1/3 dari maksimum pidana tindak pidana. Sederhananya, jika Terdakwa melakukan pencurian sebagaimana diatur pada Pasal 362 KUHP / Pasal 476 KUHP 2023 dengan ancaman paling lama 5 (lima) tahun, maka dengan pengakuan bersalah Terdakwa menyebabkan Majelis Hakim menjatuhkan pidana setinggi-tingginya 3 tahun 2 bulan. Namun, yang masih menjadi persoalan dari rentang 1 hari sampai 3 tahun 2 bulan, berapa pemidanaan yang terukur?
Ambil contoh kasus: Pencurian Perhiasan, jika seseorang melakukan pencurian pada malam hari, mengambil perhiasan senilai Rp50 juta rupiah, Terdakwa mengakui, dan hanya mengembalikan sebagian dari perhiasan yang dicuri. Mengacu pada pedoman pemidanaan pada KUHP 2023, berapa pidana penjara (angka) yang dapat dijatuhkan? Maka tidak akan ditemukan rumusan `angka` pemidanaan yang terukur karena pedoman pemidanaan KUHP 2023 bersifat abstrak atau umum. Oleh karena itu, pedoman ini lebih tepat disebut prinsip pemidanaan, mirip dengan pengaturan Jerman yang menggunakan istilah general principles of sentencin [9].
Lalu, bagaimana cara meng-konkretkan pedoman pemidanaan tersebut? Pedoman dapat dituangkan dalam bentuk perhitungan rumus, jenis pemidanaan, dan tabel rentang pidana penjaranya. Metodenya dapat meniru dan memodifikasi Pedoman Pemidanaan Amerika Serikat berdasarkan United States Sentencing Commission Guidelines Manual 2021 (USSCG) di Amerika Serikat [10]. Bagaimana pengukurannya? Pada USSCG, pertama menentukan jenis tindak pidana (offence conduct) yang terbukti, misal pencurian (Part B Section 1 Basic Economic Offenses). Kedua, menentukan base offense level atau level dasarnya dan menerapkan kekhususan pada karakteristik tindak pidana, referensi silang, dan instruksi. Ketiga, menentukan Specific Offense Characteristics seperti nilai kerugian, jumlah korban, perintangan penyidikan. Keempat, penyesuaian (aggravating / mitigating) seperti peran, pengakuan bersalah dan kerjasama, riwayat kriminal (criminal history). Tahapan berbasis variabel yang terukur menghasilkan `angka (Total Offense Level / TLO)` dengan rumus:
Base Level + Specific Enhancements + Adjustments = Total Offense Level
Total Offense Level digunakan untuk menentukan rentang pemindaan berdasarkan Tabel dan Zona Pemidanaan (sentencing table) [11].
Penulis melakukan perhitungan melalui Artificial Intelligence, dengan memasukkan fakta kasus Pencurian Perhiasan. Hasilnya, berdasarkan rumus tersebut, pelaku masuk kategori Total Offence Level 14 (Tabel Pemidanaan) dengan rentang pemidanaan 15-21 bulan penjara.
Langkah |
Penjelasan |
---|---|
1. Jenis |
Pencurian properti (burglary) – Section 2B2.1 |
2. Base Offense Level |
Level 12 |
3. Specific Characteristics |
+2 (kerugian $3.200 / Rp50 juta), +2 (malam hari) |
4. Adjustments |
-3 poin (pengakuan bersalah) → Total Offense Level: 14 |
5. Criminal History |
Kategori I (tanpa catatan kriminal) |
6. Tabel Pemidanaan |
Offense Level 14 + CHC I → 15–21 bulan
|
7. Zona |
Zone D – wajib penjara |
8. Departures/Variances |
Tidak signifikan, karena hanya sebagian barang dikembalikan |
9. Jenis Hukuman |
Penjara (wajib), restitusi. |
Perhitungan ini menurut penulis lebih konkret untuk disebut Pedoman Pemidanaan karena `Mengubah Fakta Menjadi Angka` secara konsisten (consistency of outcome), adil, dan efektif.
Mahkamah Agung memiliki pedoman serupa pada PERMA Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor. Pada lampiran PERMA 1/2020, diatur formulasi perhitungan hingga rentang penjatuhan pidana korupsi. Contoh, korupsi di kementerian lembaga (nasional) yang menyebabkan kerugian negara sebesar lebih dari Rp 25 miliar - Rp 100 miliar, maka perbuatan tersebut masuk kategori Berat-Tinggi dengan rentang pidana penjaranya 13-16 tahun. Mengenai perhitungan denda, dapat mengacu pada Pedoman Jaksa Agung Nomor 7 Tahun 2022 Tentang Tuntutan Dan Pelaksanaan Putusan Pidana Denda Perkara Tindak Pidana Umum. Aturan tersebut juga tepat disebut sebagai pedoman karena mempunyai perhitungan denda berdasarkan rumus dan variabel yang terukur, sehingga menurut penulis dapat diberlakukan untuk penjatuhan pidana denda pada Pasal 79 KUHP 2023.
Berdasarkan uraian diatas, masih ada `pekerjaan rumah` untuk merumuskan Pedoman Pemidanaan KUHP 2023. Perumusan tersebut dilakukan oleh lembaga negara independen (Amerika: United States Sentencing Commission, Inggris: Sentencing Council) yang berwenang membuat dan mengevaluasi pedoman pemidanaan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Pembentukan lembaga dapat melibatkan unsur penegak hukum.
Kesimpulan
Tujuan pemidanaan dalam KUHP 2023 telah bergeser dari sekadar pemberian hukuman menjadi penekanan pada pemulihan (restoratif), salah satunya menumbuhkan penyesalan dan membebaskan rasa bersalah terpidana. Untuk mewujudkan tujuan pemidanaan, dibentuk 11 (sebelas) pedoman, salah satunya `sikap dan tindakan pelaku pasca-tindak pidana`, seperti pengakuan bersalah, yang perlu dinilai melalui parameter misalnya penyerahan diri, kerja sama, restitusi, dan perubahan perilaku. Tanpa parameter ini, penilaian subjektif berisiko menimbulkan disparitas. Walaupun KUHP 2023 telah mengatur pedoman pemidanaan, tetapi sifatnya masih umum dan abstrak sehingga memerlukan sistem terstruktur seperti di Amerika Serikat berdasarkan United States Sentencing Guidelines. Oleh sebab itu, perlu dirumuskan formulasi pedoman pemidanaan yang terukur oleh pembentukan lembaga independen seperti yang telah diinisiasi PERMA 1/2020 untuk kasus korupsi. Dengan demikian, integrasi parameter objektif dan sistem terukur menjadi kunci untuk mewujudkan keadilan yang rasional dalam pemidanaan.
Referensi
[1] Eddy O.S. Hiariej dan Topo Santoso, “Anotasi KUHP Nasional”. Depok, RajaGrafindo Persada, p. 66
[2] Noveria D.I., dan Barda Nawawi Arief, “Urgensi Tujuan dan Pedoman Pemidanaan Dalam Rangka Pembaharuan Sistem Pemidanaan Hukum Pidana”, Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia, Vol. 3 No. 2, 2021, p. 220
[3] Alfred Blumstein, et.al, “Research on Sentencing: The Search for Reform, Committee on Research on Law Enforcement and the Administration of Justice, Volume II, 1983.
[4] R. Rauxloh, Plea Bargaining in National and International Law. London: Routledge, 2012, p. 25–26.
[5] Detik News, “Pria Ini Tak Menyesal Bunuh Teman Masa Kecil Karena Perkosa Istrinya”, November 2019, https://news.detik.com/berita-jawa-timur/d-4801076/pria-ini-tak-menyesal-bunuh-teman-masa-kecil-karena-perkosa-istrinya
[6] RKUHAP (2025) Pasal 221 ayat (2)
[7] C. R. Ramadhan, et.al., "Konsep dan Penerapan Plea Bargain di Beberapa Negara," Jurnal Peradilan Indonesia Teropong , Vol. 3, pp. 77–78, Jul.– Dec. 2015
[8] A. W. Alschuler, "Plea Bargaining and Its History," Columbia Law Review , Vol. 79, No. 1, pp. 1–69, 1979.
[9] Germany, KUHP/Strafgesetzbuch, Pasal 46 ayat (1), (2), dan (3).
[10] Charles R. Beyer, et. al, “United States Sentencing Commission Guidelines Manual” August 2021
[11] Ibid, p. 406