MEWUJUDKAN KEADILAN MELALUI PENERAPAN PASAL 131 KUHP NASIONAL TERKAIT PENJATUHAN PIDANA PADA DELIK TERTINGGAL

12 August 2025 | Dwi Bintang Satrio
Dwi Bintang Satrio

format_quote

Latar Belakang

Pasal 131 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya KUHP Nasional) mengatur tentang penjatuhan pidana pada delik yang tertinggal. Ketentuan Pasal 131 KUHP Nasional hampir sama dengan ketentuan Pasal 71 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya KUHP). Bedanya hanyalah dalam Pasal 131 KUHP Nasional diatur tentang pidana nihil, yakni dalam hal pidana yang dijatuhkan terdahulu itu sudah mencapai maksimum, maka hakim pada perkara delik yang tertinggal itu hanya menyatakan Terdakwa bersalah melakukan tindak pidana, namun tidak lagi menjatuhkan pidana.[1]

Praktik menunjukkan, bahwa dalam implementasi ketentuan Pasal 71 KUHP yang pengaturannya hampir sama dengan Pasal 131 KUHP Nasional tersebut masih menuai kendala. Beberapa perkara dengan delik yang tertinggal Terdakwanya mendapat hukuman pidana dengan melebih batas maksimum pemidanaan, sebagaimana hal ini dialami oleh Robert Tantular. Kasus Robert Tantular memberikan contoh nyata bagaimana ketidakpahaman atau pengabaian terhadap ketentuan Pasal 71 KUHP sehingga dapat menimbulkan permasalahan hukum yang serius.[2] Pemidanaan terhadap Terdakwa yang melebihi ancaman pidana maksimum adalah bentuk ketidakadilan.

Penulis tertarik melakukan penelitian ini dengan tujuan untuk menganalisis upaya-upaya yang dapat dilakukan oleh Mahkamah Agung guna mewujudkan keadilan melalui penerapan Pasal 131 KUHP Nasional, sehingga kelak ketika Pasal 131 KUHP Nasional efektif diberlakukan, tidak ada lagi Terdakwa dalam perkara delik yang tertinggal dipidana dengan melebihi ancaman pidana maksimum yang ditentukan. Berdasarkan uraian tersebut, maka permasalahan hukum yang akan Penulis angkat dalam penelitian ini adalah bagaimana upaya yang dapat dilakukan Mahkamah Agung dalam mewujudkan keadilan melalui penerapan Pasal 131 KUHP Nasional terkait penjatuhan pidana pada delik yang tertinggal?

Upaya Mahkamah Agung untuk Mewujudkan Keadilan melalui Penerapan Pasal 131 KUHP Nasional Terkait Penjatuhan Pidana pada Delik yang Tertinggal

Perbarengan dalam KUHP Nasional diatur pada Pasal 125 sampai dengan Pasal 131 atau dalam KUHP diatur dalam Pasal 63 sampai dengan Pasal 71. Konsep perbarengan baik dalam KUHP maupun dalam KUHP Nasional tersebut bertujuan untuk mempermudah penjatuhan dan penghitungan sanksi pidana atas beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh satu orang.[3] Praktiknya, ternyata penerapan konsep perbarengan menuai kerumitan, misalnya dalam hal pelaku perbarengan sedang menjalani hukuman atau sedang diproses, ternyata perbuatan pidana lain baru diketahui kemudian sehingga penuntutannya dilakukan secara terpisah.[4] Penuntutan terhadap seorang Terdakwa yang dilakukan secara terpisah kedalam beberapa berkas perkara tersebut dikenal sebagai perkara delik yang tertinggal yang hal ini pernah dialami oleh Robert Tantular. Robert Tantular telah diadili sebanyak 4 (empat) kali dalam berkas yang terpisah,[5] sehingga pada akhirnya Robert Tantular dipidana berdasarkan 4 (empat) Putusan Pengadilan dengan total hukuman pidana penjara selama 21 tahun.[6] Total pidana yang dijatuhkan terhadap Robert Tantular tersebut melebihi batas maksimum pemidanaan sebagaimana diatur dalam Pasal 12 Ayat (4) KUHP.

Terkait dengan persoalan penerapan Pasal 71 KUHP, Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 84/PUU-XVI/2018 telah memberikan pertimbangan yang pada pokoknya penuntut umum dan hakim harus mempertimbangkan rasa keadilan ketika menjatuhkan putusan pidana dalam perkara delik yang tertinggal dengan tidak boleh melebihi ancaman pidana maksimum yang ditentukan.[4] Eva Achjani Zulfa sebagai ahli dalam Perkara Nomor 84/PUU-XVI/2018 juga mengemukakan bahwa masalah delik yang tertinggal dialami Robert Tantular cukup banyak terjadi di Indonesia. Eva mencontohkan, hal serupa juga menimpa sdr. Bagong yang dipidana dengan total hukuman pidana penjara selama 39 tahun berdasarkan 3 putusan pengadilan yakni Putusan Nomor 823/Pid B/2015/PN.Pbr, Putusan Nomor 827/Pid B/2015/PN.Pbr dan Putusan Nomor 836/Pid B/2015/PN.Pbr.[4]

Eva Achjani Zulfa mengemukakan bahwa permasalahan sebagaimana dialami Robert Tantular pada dasarnya terletak pada hakim yang tidak konsisten berpegang pada norma yang dirumuskan dalam undang-undang.[4] Pendapat tersebut juga bersesuaian dengan pendapat Edward Omar Sharif Hiariej, menurutnya kontrol penerapan Pasal 71 KUHP atau Pasal 131 KUHP Nasional terletak pada hakim dan bukan pada aparat penegak hukum lainnya.[4] Berdasarkan pendapat kedua ahli tersebut telah menunjukan bahwa hakim mempunyai peran yang sangat sentral dalam penegakan hukum khususnya dalam mengimplementasikan ketentuan Pasal 71 KUHP atau Pasal 13 KUHP Nasional.

Hakim adalah figur penjaga dan pemelihara keadilan dimuka bumi,[7] sehingga Hakim melalui putusannya harus benar-benar menerapkan ketentuan Pasal 71 KUHP atau Pasal 131 KUHP Nasional secara benar dan konsisten. Putusan hakim adalah kristalisasi undang-undang dan asas- asas hukum, juga merupakan simbol dari kehormatan dan keluhuran martabat serta perilaku hakim, sehingga cukup beralasan jika dikatakan bahwa putusan hakim yang benar dan adil adalah cermin dari muara nurani dan akal budi sang hakim. Bahkan secara filosofis, putusan hakim harus memiliki cita rasa keadilan yang dapat dinikmati oleh para pihak yang berperkara.[8]

Berdasarkan Pasal 131 KUHP Nasional, apabila hakim dihadapkan pada perkara delik yang tertinggal, maka hakim sebelum menjatuhkan pemidanaan terhadap Terdakwa, harus memperhitungkan terlebih dahulu pidana yang sudah dijatuhkan terhadap Terdakwa dengan menggunakan aturan perbarengan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 125 sampai dengan Pasal 130, seperti jika tindak pidana itu diadili secara bersama, selanjutnya apabila pidana yang dijatuhkan terhadap Terdakwa dalam putusan terdahulu ternyata telah mencapai maksimum pidana, maka hakim cukup menyatakan bahwa Terdakwa bersalah tanpa perlu diikuti pidana, dengan kata lain tidak perlu ada keraguan bagi hakim untuk menjatuhkan pidana nihil. Masih adanya keraguan hakim menjatuhkan pidana nihil ini perlu disikapi oleh Mahkamah Agung, salah satunya adalah dengan memberikan petunjuk konkret melalui Surat Edaran Mahkamah Agung (selanjutnya SEMA).

Soerjono Soekanto mengemukakan tentang beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan hukum, yakni faktor hukum, penegak hukum, sarana dan masyarakat.[9] Terkait dengan faktor sarana, agar Pasal 131 KUHP Nasional dapat berhasil diterapkan dengan baik dan konsisten oleh hakim, hakim memerlukan data pemidanaan yang akurat. Tersedianya data pemidanaan yang akurat akan mempermudah Hakim dalam menghitung pidana yang akan dijatuhkan terhadap Terdakwa pada delik yang tertinggal, sehingga hal itu dapat mengurangi potensi terjadinya kekeliruan hakim berupa penjatuhan pidana yang melebihi batas maksimum terhadap seorang Terdakwa yang diadili dalam perkara delik tertinggal. Data pemidanaan yang akurat ini dapat diperoleh melalui penguatan sarana Sistem Informasi Pengadilan (selanjutnya disebut SIP) yang salah satunya adalah Sistem Informasi Penelusuran Perkara (selanjutnya disebut SIPP).

Berdasarkan Surat Sekretaris Mahkamah Agung 3748/SEK/TI1.1.1/IX/2024, Mahkamah Agung telah mewajibkan Pengadilan Tingkat Pertama untuk melakukan pembaruan SIPP ke versi 5.6.0. Fitur penting dalam SIPP versi terbaru adalah penambahan fitur deteksi dini perkara. Fitur deteksi dini dalam SIPP Pengadilan Tingkat Pertama masih terbatas pada upaya untuk mendeteksi perkara perdata yang memiliki kemiripan dan keterkaitan satu sama lain yang terkoneksi dengan database perkara perdata di seluruh pengadilan di Indonesia. Kedepannya, fitur deteksi dini dalam SIPP diharapkan dapat dikembangkan tidak hanya terbatas pada perkara perdata, tetapi juga pada perkara pidana. Fitur deteksi dini pada SIPP untuk perkara pidana setidaknya dikembangkan untuk dapat membatu hakim dalam mengetahui apakah perbuatan pidana yang dilakukan Terdakwa pada perkara yang sedang diperiksanya termasuk kedalam delik yang tertinggal atau tidak, selanjutnya apabila perkara yang diperiksa hakim tersebut adalah delik yang tertinggal, melalui fitur deteksi dini hakim dapat dengan akurat memperhitungkan berapa pidana yang telah dijatuhkan terhadap Terdakwa, sehingga ketika hakim hendak menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa dalam perkara delik tertinggal, pidananya tidak lagi melebihi batas maksimum yang ditentukan.

Penutup

Upaya yang dapat dilakukan Mahkamah Agung untuk mewujudkan keadilan dalam penerapan Pasal 131 KUHP Nasional terkait penjatuhan pidana pada delik yang tertinggal adalah dengan menerbitkan petunjuk konkret kepada hakim melalui SEMA, bahwa hakim cukup menyatakan Terdakwa bersalah tanpa perlu diikuti penjatuhan pidana lagi apabila Terdakwa tersebut dalam putusan terdahulu telah dipidana maksimum. Upaya lainnya yang dapat dilakukan Mahkamah Agung untuk mewujudkan hal tersebut adalah dengan melakukan Penguatan SIP, yakni pembaruan SIPP dengan penambahan fitur deteksi dini untuk perkara pidana. Fitur deteksi dini perkara pidana pada SIPP dapat membantu hakim dalam menghitung pidana yang sudah dikenakan terhadap seorang Terdakwa, sehingga dapat mengurangi potensi terjadinya kekeliruan hakim berupa penjatuhan pidana yang melebihi batas maksimum terhadap seorang Terdakwa yang diadili dalam perkara delik tertinggal.

Referensi

[1] E. O. S. Hiariej dan T. Santoso, Anotasi KUHP Nasional. Bandung: Rajagrafindo Persada, 2025.

[2] M. I. Isman, M. Candra, dan B. Basuki, “Penegakan Hukum Terhadap Delik Tertinggal dalam Pemeriksaan Perkara yang dilakukan Secara Terpisah,” SENTRI: Jurnal Riset Ilmiah, vol. 3, no. 6, hlm. 2638–2648, Jun 2024, doi: 10.55681/SENTRI.V3I6.2884.

[3] T. Andrisman, Asas dan Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia Serta Perkembangannya dalam Konsep KUHP. Lampung: Anugrah Utama Raharja, 2013.

[4] Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 84/PUU-XVI/2018. 2018, hlm. 1–107.

[5] MaPPI FH UI, M. N. Siagian, N. Oktaviani, dan A. A. Saputro, Buku Saku PERMA 1 Tahun 2020 – Tentang Pedoman Pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Mahkamah Agung Republik Indonesia bersama MaPPI FHUI, 2021.

[6] D. T. D. Tarmizi, “Kebijakan Penegakan Hukum Pidana Terhadap Perbarengan Perbuatan Pidana (Concursus Realis),” Hangoluan Law Review, vol. 1, no. 1, hlm. 69–105, Mei 2022, Diakses: 22 April 2025. [Daring]. Tersedia pada: https://hlr.unja.ac.id/index.php/hlr/article/view/3

[7] Am. Suadi, Pembaruan Hukum Acara Perdata di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2019.

[8] H. W. Sururie, Putusan Pengadilan. Bandung: CV Mimbar Pustaka, 2023.

[9] S. Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007.