Latar Belakang
Penyusunan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Nasional) didasarkan pada filosofi Pancasila sebagai grundnorm bangsa Indonesia, mengimplikasikan bahwa sistem hukum pidana yang diberlakukan mencerminkan nilai luhur yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Secara eksplisit undang-undang menegaskan orientasi hukum pidana tidak hanya terpaku pada keadilan retributif, melainkan mengedepankan keadilan korektif bagi pelaku, keadilan restoratif bagi korban, serta keadilan rehabilitatif bagi kedua belah pihak, sehingga secara komprehensif mengakomodasi prinsip keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum dalam kerangka paradigma hukum pidana modern.
Demi mewujudkan peradilan pidana berlandaskan Pancasila, Pasal 51-54 KUHP Nasional mewajibkan hakim mempertimbangkan sejumlah faktor dalam menjatuhkan pidana. Substansi pasal-pasal ini secara implisit mengorientasikan pemidanaan pada penumbuhan penyesalan dan pembebasan rasa bersalah terpidana. Oleh karena itu, Pasal 54 ayat (2) KUHP Nasional mengadopsi konsep permaafan hakim (rechterlijk pardon) yang memungkinkan hakim tidak menjatuhkan pidana atau tindakan pada pelaku tindak pidana ringan berdasarkan pertimbangan mendalam mengenai rasa keadilan dan nilai kemanusiaan.
Kendati demikian, implementasi rechterlijk pardon memerlukan telaah akademik yang lebih komprehensif. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab dua permasalahan pokok: pertama, apa implikasi dari implementasi rechterlijk pardon sebagaimana diatur dalam Pasal 54 KUHP Nasional terhadap sistem peradilan pidana? kedua, bagaimana implementasi rechterlijk pardon dalam Pasal 54 ayat (2) KUHP Nasional dapat diwujudkan secara ideal? Penelitian ini berupaya menganalisis implikasi dari implementasi rechterlijk pardon sebagaimana tertuang dalam Pasal 54 ayat (2) KUHP Nasional, serta merumuskan konsepsi implementasi rechterlijk pardon dalam KUHP Nasional yang selaras dengan semangat pembentukan KUHP Nasional dengan mengakomodasi nilai keadilan korektif, restoratif, dan rehabilitatif.
Implikasi Rechterlijk Pardon terhadap Sistem Peradilan Pidana di Indonesia
Asas legalitas mengamanatkan pemidanaan jika kesalahan terbukti secara hukum. Berbeda dengan restorative justice yang tidak meniadakan pemidanaan , rechterlijk pardon memberikan pengecualian terhadap asas legalitas. Rechtelijk pardon merupakan wewenang yang diberikan pada hakim, setelah menyatakan terdakwa bersalah, untuk tidak menjatuhkan pidana berdasarkan kebijaksanaannya. Aspek keadilan dan kemanusiaan ditekankan, menggeser paradigma murni legalistik hakim yang terpaku pada bunyi dan interpretasi literal undang-undang. Dalam beberapa kasus tindak pidana ringan, penerapan legalitas yang kaku tidak memberikan kemanfaatan dan keadilan.
Konsep Judicial Pardon yang diadopsi Indonesia dalam Pasal 54 ayat (2) KUHP Nasional sejalan dengan tren global menuju pendekatan yang lebih fleksibel dan manusiawi dalam peradilan. Di beberapa negara seperti Portugal (dikenal dengan istilah “dispensa de pena”), Yunani, Greenland, Uzbekistan, dan Belanda telah menerapkan konsep rechterlijk pardon. Di Belanda misalnya, dalam Section 9a Wetboek van Strafrecht mengatur Pengadilan dalam putusannya dapat memutuskan untuk tidak menjatuhkan pidana atau tindakan apabila mempertimbangkan ringannya tindak pidana, karakter pelaku, atau keadaan yang menyertai maupun yang terjadi setelah tindak pidana.
Pemberlakuan rechterlijk pardon pada 2 Januari 2026 menandai babak baru penegakan hukum pidana di Indonesia. Pemberlakuan konsep rechterlijk pardon dalam sistem peradilan pidana Indonesia menandai babak baru dalam penegakan hukum. Penerapan Pasal tersebut memperkenalkan jenis putusan baru dalam sistem peradilan pidana Indonesia, putusan yang menyatakan terdakwa bersalah namun tidak dijatuhi pidana. Jenis putusan ini berbeda dengan tiga jenis putusan yang telah dikenal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Indonesia, yaitu putusan pemidanaan, putusan bebas, dan putusan lepas dari segala tuntutan hukum.
Meskipun telah diterapkan dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, adopsi konsep rechterlijk pardon dalam KUHP masih tergolong relatif baru. Pasal ini menjelaskan seseorang dapat dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana namun tidak dijatuhi pidana atau tindakan dengan pertimbangan: (a) Ringannya perbuatan; (b) keadaan pribadi pelaku; atau (c) keadaan pada waktu dilakukan, (d) serta memperhatikan segi keadilan dan kemanusian. Penggunaan istilah “Ringannya perbuatan” tentu akan berbeda dengan "Tindak Pidana Ringan" sebagaimana diatur dalam Hukum Acara Pidana. Oleh karenanya, definisi dan batasan penerapan pertimbangan pada huruf (a), (b), dan (c) seyogyanya diatur dalam RKUHAP yang sedang dalam proses penyusunan. Namun demikian pertimbangan terhadap segi keadilan dan kemanusiaan adalah implikasi utama dari implementasi asas rechterlijk pardon.
Keadilan dan Kemanusiaan merupakan konsep yang bersifat subjektif. Sangat sulit untuk menyamakan persepsi keadilan dan kemanusian antara satu hakim dengan hakim lainnya, meskipun kriteria penerapannya telah disesuaikan. Perbedaan interpretasi keadilan dan kemanusian oleh hakim menimbulkan potensi inkonsistensi dalam praktik permaafan hakim. Pada akhirnya dapat memanifestasikan diri dalam disparitas putusan penilaian keadilan dan kemanusiaan terhadap perkara-perkara yang secara substansial serupa, bahkan dalam kasus yang identik.
Selain itu, meskipun rechterlijk pardon bertujuan baik, konsep ini membawa risiko penyalahgunaan kekuasaan. Kekuatan diskresi yang luas berpotensi menimbulkan kerentanan terhadap konflik kepentingan. Hubungan personal maupun profesional hakim dapat secara tidak patut mempengaruhi pertimbangan dalam memberikan permaafan. Lebih lanjut, intervensi eksternal melalui praktik-praktik terlarang juga mendistorsi objektivitas hakim dalam pengambilan keputusan terkait rechterlijk pardon. Pada akhirnya rechterlijk pardon yang diberikan berdasarkan nepotisme, penyuapan atau intervensi eksternal mengakibatkan kepercayaan publik terhadap peradilan akan terus tergerus.
Implementasi rechterlijk pardon ideal dalam sistem Peradilan Pidana
Sebagai referensi, Konsep rechterlijk pardon di setiap negara memiliki karakteristiknya masing-masing. di Belanda Pasal 404 ayat (2) Wetboek van Strafvordering mengatur terhadap putusan yang dinyatakan bersalah namun tidak dijatuhi pidana tidak dapat diajukan banding. Secara tidak langsung ketentuan ini memberikan kepercayaan terhadap putusan hakim tingkat pertama. Di Portugal Pasal 74 The Portuguese Penal Code: dispensa de pena hanya dikenakan terhadap tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara tidak lebih dari 6 bulan, atau pidana denda tidak lebih dari 120 hari, serta tidak adanya alasan pencegahan yang menentang pembebasan hukuman, keadaan tidak melawan hukum dan kesalahan pelaku harus berkurang, serta kerugian harus telah dipulihkan. Ketentuan ini memberikan syarat khusus tindak pidana yang dapat dimaafkan oleh Hakim. Begitu pula dalam usulan Pasal 283 RKUHAP yang sedang disusun, Putusan berupa pemaafan hakim diusulkan menjadi putusan yang tidak dapat diajukan pemeriksaan Kasasi.
Sebagaimana dalam pembahasan sebelumnya, implikasi utama dari implementasi rechterlijk pardon adalah pertimbangan segi ‘keadilan dan kemanusiaan’ yang bersifat subjektif. Sampai dengan saat ini tidak ada definisi yang sama dari kedua kata tersebut. Apa yang dianggap adil oleh satu orang belum tentu adil bagi orang lain. Alih-alih terjebak dalam perdebatan definisi esensial keadilan dan kemanusiaan yang tak berujung, penulisan ini mengusulkan adopsi perspektif Utilitarianisme sebagai kerangka operasional. “the greatest happiness of the greatest number” sesuatu dapat dinyatakan semakin adil ketika keadilan itu semakin dirasakan oleh banyak orang. Dalam putusannya, hakim sedapat mungkin mengupayakan keadilan yang dapat dirasakan oleh sebanyak-banyaknya pihak. Pertimbangan keadilan dan kemanusiaan dianggap terpenuhi sepanjang keputusan rechterlijk pardon memberikan manfaat bagi korban, terdakwa, dan dapat diterima oleh masyarakat luas.
Salah satu cara untuk untuk menghasilkan putusan yang dapat dirasakan manfaatnya oleh korban, terdakwa dan diterima oleh masyarakat adalah dengan menerapkan kejujuran, integritas, serta profesional dalam mengadili perkara. Kejujuran bermakna berani menyatakan kebenaran dan kesalahan serta menolak pemberian hadiah; Integritas bermakna sikap utuh, berwibawa, jujur, tidak tergoyahkan, serta berani menolak godaan dan intervensi; Profesionalisme bermakna keputusan yang didasarkan pada pengetahuan, keterampilan, dan wawasan luas.
Kritik atas putusan hakim, terutama dalam rechterlijk pardon yang mempertimbangkan aspek subjektif seperti keadilan dan kemanusiaan, tidak akan dapat dihindari. Kendati demikian, hakim dalam mengadili perkara tetap wajib memegang teguh nilai kejujuran, integritas, dan profesionalisme. Dengan begitu, setidaknya hal ini telah mengatasi implikasi penyalahgunaan kekuasaan akibat konflik kepentingan dan intervensi eksternal yang memengaruhi independensi hakim dalam rechterlijk pardon. Putusan yang dihasilkan adalah putusan imparsial yang didasarkan pada fakta dan hukum yang berlaku, tanpa pengaruh atau tekanan dari pihak mana pun.
Dengan berpegang teguh pada kejujuran, integritas, dan profesionalisme, nurani hakim diharapkan semakin terbuka untuk menimbang rasa keadilan dan kemanusiaan. Pada akhirnya, cita-cita luhur KUHP Nasional untuk mewujudkan keadilan korektif bagi pelaku, keadilan restoratif bagi korban, serta keadilan rehabilitatif bagi kedua belah pihak, akan menjelma menjadi Kepastian hukum, keadilan yang sesungguhnya, dan manfaat nyata bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Penutup
Subjektivitas keadilan dan kemanusiaan dalam rechterlijk pardon dapat menimbulkan perbedaan persepsi. Namun, harapan untuk mewujudkan rasa keadilan dan kemanusiaan tetap ada. Penegakan nilai kejujuran, integritas, dan profesionalisme dapat mencegah implikasi penyalahgunaan kekuasaan akibat konflik kepentingan serta intervensi eksternal, dan pada akhirnya menghasilkan putusan imparsial yang lebih mengutamakan keadilan dan kemanusiaan daripada kepentingan tertentu. sehingga keadilan dan kemanfaatan rechterlijk pardon yang menjadi cita-cita luhur KUHP Nasional dapat dirasakan oleh masyarakat.
Referensi
[1] Wilujeng, J. H. Irbah, I. V. Sari, N. T. P. Kuswanto, and E. L. Rosyidah, “Kedudukan dan Fungsi Pancasila Sebagai Ideologi Negara,” J-CEKI: Jurnal Cendekia Ilmiah, vol. 4 No.1, pp. 651–657, Dec. 2024.
[2] Eddy O.S Hiariej and Topo Santoso, Anotasi KUHP Nasional, 1st ed., vol. 1. Jakarta: Rajagrafindi Persada, 2025.
[3] P. P. Indonesia, Undang-undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Pemerintah Pusat: LN.2023/No.1, TLN No.6842, 2023, pp. 1–229.
[4] Mahkamah Agung, Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2024 Tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif. Jakarta: BN 2024, 2024, pp. 1–11.
[5] P. P. Indonesia, Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Jakarta: LN.2012/No. 153, TLN No. 5332, 2012, pp. 1–48.