MENILIK PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA HAKIM DALAM PELANGGARAN KODE ETIK HAKIM

24 February 2025 | Johannes Edison Haholongan
bruce

format_quote
'Pelanggaran etik yang beranasir pidana tidak boleh berhenti pada sanksi disiplin semata, tetapi harus diteruskan ke jalur pidana demi menjaga kepercayaan publik dan muruah lembaga peradilan. Kesetaraan hukum menuntut bahwa hakim, sebagai penegak hukum, juga harus tunduk pada hukum yang sama.'

Latar Belakang

Adanya acuan berperilaku bagi pengemban profesi hakim merupakan keniscayaan untuk memastikan muruah dari jabatan hakim. Di Indonesia, hal ini diatur secara terperinci dalam Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (“Kode Etik Hakim”)[1]. Di samping itu, Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial telah membuat aturan bersama mengenai Panduan Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim untuk memberikan petunjuk bukan hanya dalam hal penerapan prinsip yang ada dalam kode etik hakim, melainkan juga sanksi atas pelanggarannya (“Panduan Penegakan Kode Etik Hakim”)[2].

Namun, norma etik sering kali bersinggungan dengan norma hukum, termasuk hukum pidana. Dalam hal ini, pelanggaran norma etik juga berarti pelanggaran kaidah pidana sehingga konsekuensi pidana, selain pengenaan sanksi etik, juga harus dipertanggungjawabkan kepada pelanggarnya. Meskipun Panduan Penegakan Kode Etik Hakim mengatur pelanggaran, beserta sanksinya, namun ketentuan tersebut tidak memberikan petunjuk mengenai pelanggaran kode etik yang memiliki anasir pidana.

Tulisan ini hendak menyoroti permasalahan persinggungan antara kedua maujud aturan berperilaku tersebut. Secara lebih khusus, terdapat 3 (tiga) pokok persoalan yang akan dikaji dalam penelitian ini. Pertama, bagaimana persinggungan antara norma etik profesi hakim dengan norma hukum pidana? Kemudian, apakah hakim yang melanggar norma etik yang beranasir pidana, harus juga mempertanggungjawabkan perbuatannya secara pidana? Terakhir, apakah hukum pidana dapat menjadi sarana untuk meningkatkan muruah jabatan hakim itu sendiri di masyarakat? Pada akhirnya, tulisan ini berkesimpulan bahwa instrumen pidana juga harus dikenakan bagi hakim pelanggar etik yang bersisian dengan kaidah pidana. Hal ini akan meningkatkan bukan hanya integritas dari pemangku jabatan hakim, melainkan juga kepercayaan masyarakat. Oleh karena itu, setiap pelanggaran norma semacam itu selayaknya tidak hanya berhenti pada pengenaan sanksi etik saja, tetapi juga harus diteruskan ke jalur hukum pidana dengan segala konsekuensinya.

Persinggungan Norma Aturan Perilaku

Secara etimologi, kata norma dalam bahasa Latin berarti perkakas siku ukur yang dipakai tukang kayu untuk menentukan ukuran sudut[3]. Dari arti harafiah inilah diambil makna niskalanya yang berarti patokan berperilaku. Norma dipahami bukan hanya sebagai tatanan yang harus dipatuhi, melainkan juga patokan nilai atas perbuatan seseorang di masyarakat. Walakin, norma sendiri tidak bersifat tunggal, melainkan memiliki banyak ragam, seperti norma agama, moral, dan hukum[4].

Dua bentuk norma yang berkaitan adalah moral (zeden) dan hukum (recht). Hukum ialah aturan yang ditetapkan negara sebagai badan kekuasaan publik, sedangkan moral merupakan aturan perilaku yang dipatuhi suatu kelompok masyarakat tertentu. Keduanya dibedakan dalam hal otoritas yang melaksanakan paksaan. Norma hukum diterapkan negara, sedangkan moral dijalankan oleh kelompok yang menganut norma tersebut. Terlepas dari perbedaan tersebut, baik norma hukum, maupun moral saling berkaitan[5]. Meskipun norma-norma dapat dibedakan, namun tidak dapat dipisahkan (een scheiding bestaat er tussen die normen allerminst)[4]. Sebagai contoh, tindak pidana dalam KUHP pada dasarnya bertentangan dengan kaidah moral. Begitu juga dengan itikad baik dalam pelaksanaan perjanjian pada hukum perdata, merupakan konsep moralitas. Di sinilah letak pertemuan antara kaidah hukum dengan kaidah moral.

Kode Etik Hakim pada dasarnya merupakan kodifikasi norma moral yang khusus berlaku bagi pengemban jabatan hakim. Sebagai bentuk dari norma moral, Kode Etik Hakim sesungguhnya juga dapat bersisian dengan kaidah hukum pidana yang berlaku. Sebagai contoh, hakim yang menerima pemberian tertentu dari pihak yang diadilinya dapat dianggap melanggar bukan hanya prinsip Berperilaku Jujur dalam Kode Etik Hakim, melainkan juga ketentuan tentang pemberantasan korupsi. Persinggungan tersebut tidak melulu soal tindak rasuah, melainkan juga perbuatan lainnya. Sebagai contoh, tindak asusila, atau kekerasan fisik yang dilakukan hakim terhadap rekan kerja, anggota keluarganya sendiri, atau anggota masyarakat lainnya. Semua ini tidak hanya menubruk kode etik hakim, tetapi juga menyalahi norma pidana yang diatur dalam ketentuan pidana tersendiri.

Pertanggungjawaban Pidana Hakim

Sebagai pengadil, hakim memiliki tuntutan etis yang besar dibandingkan orang lainnya. Apabila hakim melakukan perbuatan yang melanggar etika atau hukum, maka masyarakat dapat dengan mudah menyuarakan kegegerannya. Sebagaimana diungkapkan adagium bahwa jubah hakim memperbesar tindak tanduk pemakainya (the robe magnifies the conduct), setiap perilaku hakim yang mencederai moral atau hukum akan menarik perhatian khalayak[6]. Dengan demikian, hakim harus sangat mewawas diri saat bertindak.

Apabila ada pelanggaran kode etik, maka hakim harus diberikan sanksi etik yang berlaku. Demikian juga apabila pelanggaran tersebut juga merupakan suatu tindak pidana, maka hakim selayaknya juga harus mempertanggungjawabkannya secara pidana. Dalam hal ini, ketentuan Pasal 28D UUD 1945 pada dasarnya menjamin perlakuan hukum yang setara bagi setiap orang. Dengan demikian, tidak ada pembedaan antara hakim dengan warga negara lainnya dalam hal pelanggaran ketentuan hukum pidana.

Hukum pidana memang mengenal asas penjatuhan pidana sebagai upaya terakhir (ultimum remedium) sehingga sanksi etik seharusnya cukup apabila sudah membuat jera hakim yang bersangkutan. Namun, pidana harus juga diartikan sebagai sarana untuk menghilangkan kegemparan di masyarakat apabila ketidakadilan tidak ditangani (indien aan onrecht niets gedaan zou worden)[7]. Dengan demikian, pidana sepatutnya diterapkan bagi hakim mengingat besarnya tuntutan etis hakim di mata masyarakat.

Dalam mengemban tugas yudisial, hakim diperlengkapi dengan hak kekebalan yudisial (judicial immunity) untuk melindunginya dari tuntutan hukum[8]. Meskipun demikian, imunitas yudisial tidak mengecualikan hakim dari pertanggungjawaban pidana[8]. Tindak pidana justru bertentangan dengan prinsip dalam kode etik. Selain itu, pengenaan sanksi pidana di samping sanksi etik tidaklah mencederai asas mara ganda (double jeopardy) karena hakim mempertanggungjawabkan perbuatannya dalam ranah normatif yang berbeda[8].

Hakim sejatinya dapat dikenakan sanksi pidana selain sanksi etik. Dalam hal ini, asas pidana sebagai jalan terakhir dan perlindungan imunitas yudisial tidak dapat menafikan adanya tuntutan etis dan kesetaraan hukum agar hakim juga mempertanggungjawabkan perbuatannya secara pidana. Ini juga menjawab permasalahan kedua tulisan ini. Hakim dapat juga mempertanggungjawabkan perbuatannya baik secara etik, maupun pidana.

Penggunaan Ranah Pidana Untuk Menjaga Muruah Hakim

Sebagai panduan konkret penegakan Kode Etik Hakim, Panduan Penegakan Kode Etik Hakim tidak memberikan tuntunan mengenai apa yang harus dilakukan pejabat yang berwenang jika mendapati anasir pidana dalam pelanggaran kode etik[1]. Namun demikian, apabila baik Mahkamah Agung, maupun Komisi Yudisial, yang mengusut purbasangka penyimpangan etik hakim, ternyata menjumpai petunjuk mengenai adanya tindak pidana, maka hal tersebut selayaknya dilaporkan kepada instansi yang berwenang menyelidiki tindak pidana. Ketentuan Pasal 108 ayat (3) KUHAP sudah menetapkan keharusan bagi setiap amtenar yang tahu akan suatu perbuatan pidana untuk segera melaporkan peristiwa itu kepada instansi yang berwenang menyidik.

Peran kode etik dalam menjamin integritas hakim sesungguhnya terbatas. Dalam hal ini, kode etik sejatinya hanya merupakan satu bagian saja dari keseluruhan pendekatan holistik untuk mengamankan integritas hakim[9]. Salah satu upaya lainnya untuk menjamin hal tersebut adalah melalui instrumen hukum pidana. Secara tradisional, intipati hukum pidana adalah ancaman pengenaan nestapa bagi pelanggarnya[7]. Ancaman pidana seharusnya dapat menjadi pembantar yang degap bagi bakal pelaku tindak pidana, meskipun ia seorang hakim. Selain itu, pidana juga setidaknya memuaskan rasa keadilan yang dicederai karena tindak pidana tersebut.

Hakim adalah wajah lembaga peradilan tempatnya bernaung sehingga pelanggaran etik semacam itu berkonsekuensi menggerus muruah institusi tersebut[9]. Pengenaan sanksi etik merupakan keniscayaan. Namun demikian, apabila pelanggaran itu berkonotasi pidana, sarana pidana perlu diterapkan. Pelanggarnya tidak hanya diproses dalam ranah etik, tetapi juga sepatutnya diteruskan ke jalur pidana. Dalam hal ini, hakim yang melanggar kaidah semacam itu tidak seharusnya berlindung di balik sanksi etik, tetapi juga mempertanggungjawabkannya secara pidana sebagai sesama kawula negara yang setara di mata hukum.

Masyarakat akan menilai langkah yang diambil lembaga peradilan untuk tidak hanya mendisiplinkan hakim, tetapi juga mengambil langkah tegas terhadap hakim yang melanggar kode etik yang juga merupakan tindak pidana. Salah satu cara yang dapat dilakukan Mahkamah Agung adalah bertindak proaktif dengan meneruskan setiap laporan hakim yang melanggar norma etik yang beranasir pidana kepada pihak yang berwenang. Untuk itu, perlu ada pembaruan terhadap Panduan Penegakan Kode Etik Hakim dengan mencantumkan ketentuan mengenai sarana pelaporan tersebut. Dengan demikian, masyarakat dapat menilai bahwa Mahkamah Agung telah menerapkan kesetaraan dengan tidak melindungi pengadil yang melanggar norma etik yang sekaligus juga merupakan tindak pidana.

Penutup

Prinsip dalam Kode Etik Hakim dapat bersinggungan dengan hukum pidana. Apabila hakim melanggar norma semacam itu, maka ia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya bukan hanya secara etik, melainkan juga pidana. Dalam hal ini, pejabat di Mahkamah Agung harus melanjutkan temuan pelanggaran tersebut ke instansi yang berwenang untuk ditindaklanjuti secara pidana. Dengan demikian, kesetaraan hukum bagi hakim yang melanggar etik yang beranasir pidana dapat tercapai.

Referensi

[1] R. Indonesia, Peraturan Bersama Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial Nomor 02/PN/MA/IX/2012 dan Nomor 02/PB/P.KY/09/2012 tentang Panduan Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. 2009.

[2] R. Indonesia, Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Komisi Yudisial Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009/02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.

[3] R. V. Marchant, Cassell’s Latin Dictionary, Latin-English and English-Latin. New York: Funk & Wagnalls Company, 1953.

[4] L. J. Van Apeldoorn, Inleiding tot de Studie van het Nederlandse Recht. Zwolle: N.V. Uitgeversmaatschappij W.E.J. Tjeenk Willink, 1952.

[5] D. Van Eck, “Het Universele Karakter van het Strafrecht,” in Recht en Ethiek, A. A. M. Van Agt, Ed., Deventer: Kluwer, 1971.

[6] D. J. Sachar, “Judicial Misconduct and Public Confidence in the Rule of Law.” Accessed: Nov. 30, 2024. [Online]. Available: https://www.unodc.org/dohadeclaration/en/news/2019/08/judicial-misconduct-and-public-confidence-in-the-rule-of-law.html

[7] Prof. Mr. J.M. van Bemmelen, Ons Strafrecht, Het Materiele Strafrecht, Algemeen Deel. Groningen: H.D. Tjeenk Willink, 1971.

[8] J. M. Shaman, “Judicial Immunity from Civil and Criminal Liability,” San Diego Law Rev., vol. 27, no. 1, pp. 1–28, 1990.

[9] J. Soeharno, The integrity of the judge: A philosophical inquiry. 2009.