Latar Belakang
Di lapangan hukum pidana, analogi merupakan metode penafsiran melalui perluasan cakupan keberlakuan suatu norma. Interpretasi analogi bekerja dengan cara mengabstraksikan rasio atau dasar pemikiran dari ketentuan hukum yang ada, lalu menerapkannya ke peristiwa konkret yang sebelumnya bukan merupakan tindak pidana. Karena memiliki kesamaan rasio dengan ketentuan tersebut, tindakan yang semula di luar hukum pidana, kini dianggap menjadi suatu delik. Masalahnya, analogi mengakibatkan perluasan ruang lingkup pemidanaan, sehingga menyimpang dari prinsip kepastian hukum. Dalam sistem hukum Indonesia, larangan menetapkan tindak pidana berdasarkan analogi dituangkan melalui Pasal 1 ayat (2) KUHP Nasional.
Pembahasan mengenai analogi merupakan salah satu topik paling kontroversial dalam bidang kriminal. Secara umum, mayoritas ahli menolak penggunaan analogi karena bertentangan dengan asas legalitas, salah satu prinsip hukum pidana paling fundamental [1]. Asas ini dirumuskan dalam bahasa Latin: “Nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali.” Artinya, tidak ada delik, tidak ada hukuman tanpa ketentuan pidana yang mengaturnya. Namun di sisi lain, larangan analogi akan menyulitkan hukum beradaptasi mengikuti perubahan zaman. Padahal, sejarah telah membuktikan bahwa undang-undang tak akan mampu mengantisipasi berbagai modus kejahatan baru yang terus berkembang semakin dinamis.
Penelitian ini akan mengulas dua persoalan penting terkait analogi. Pertama, bagaimana hubungan antara penggunaan analogi dengan asas legalitas? Kedua, bagaimana implementasi analogi dalam konteks hukum pidana modern di Indonesia? Tujuan penelitian adalah untuk mengkritisi larangan analogi menurut Pasal 1 ayat (2) KUHP Nasional, serta mendekonstruksi penggunaan analogi secara proporsional tanpa mengesampingkan aspek perlindungan individu. Hasil penelitian diharapkan mampu memberi kontribusi yang signifikan demi menciptakan keseimbangan antara nilai keadilan dan kepastian hukum.
Analogi dan Asas Legalitas
Asas legalitas pertama kali dicetuskan pada tahun 1801 oleh Paul Johan Anslem von Feuerbach, yuris berkebangsaan Jerman. Dalam Lehrbuch des Peinlichen Rechts (Buku Ajar Hukum Pidana), von Feuerbach merumuskan tiga prinsip yang menjadi fondasi asas legalitas, yakni nulla poena sine lege (tidak ada pidana tanpa undang-undang); nulla poena sine crimine (tidak ada pidana tanpa kejahatan); serta nullum crimen sine poena legali (tidak ada perbuatan pidana tanpa hukuman menurut undang-undang) [2]. Adagium ini kemudian melahirkan sejumlah konsekuensi penting. Pertama, tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, jika belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang. Kedua, untuk menentukan suatu perbuatan pidana tidak boleh menggunakan analogi (qiyas). Ketiga, aturan hukum pidana tidak boleh berlaku surut (non-retroaktif) [3].
Asas legalitas merupakan teknik perumusan norma pidana secara konkret guna melindungi individu dari kesewenang-wenangan badan peradilan ketika menerapkan dan menafsirkan hukum. Dari sudut pandang teori, penerapan analogi dilarang karena dianggap bertentangan dengan asas legalitas (nullum crimen, nulla poena sine lege). Larangan penggunaan analogi (in malam partem) mengasumsikan bahwa pembentuk undang-undang harus terlebih dahulu menetapkan peraturan pidana secara jelas dan tegas. Oleh karena itu, perbuatan pidana beserta sanksinya wajib dirumuskan secara akurat, guna menghindari subjektivitas hakim saat menjatuhkan putusan [4].
Dekonstruksi Analogi dalam Hukum Pidana Modern di Indonesia
Menurut doktrin hukum Jerman, analogi terbagi menjadi gesetzesanalogie (analogi undang-undang/statutory analogy) dan rechtsanalogie (analogi hukum/legal analogy). Gesetzesanalogie merupakan penalaran dengan analogi yang dimulai dari sebuah teks tunggal undang-undang [5]. Contohnya seperti amandemen undang-undang Nazi tanggal 28 Juni 1935: Jika suatu tindakan yang bertentangan dengan “ide fundamental hukum pidana dan suara rakyat” tidak diatur dalam regulasi positif, maka tindakan tersebut akan dipidana berdasarkan “hukum yang paling sesuai dengan ide dasar”. Indonesia juga pernah mencantumkan gesetzesanalogie melalui Pasal 5 ayat (2) huruf b Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951. Akibatnya, tindakan yang tidak ada dalam undang-undang jika “menurut hukum yang hidup” merupakan kejahatan, dapat dijatuhi pidana penjara paling lama tiga bulan dan/atau denda 500 rupiah. Berdasarkan regulasi ini, Mahkamah Agung beberapa kali menjatuhkan pidana terhadap delik adat lokika sanggraha (kumpul kebo di Bali) yang sama sekali tidak diatur dalam KUHP, seperti pada perkara Nomor 93K/Kr/1976 dan Nomor 1334K/Pid/1984 [6].
Bentuk analogi yang kedua adalah rechtsanalogie, yaitu analogi berdasarkan prinsip umum yang diturunkan dari beberapa teks hukum [7]. Salah satu rechtsanalogie paling terkemuka adalah Elektriciteitsarrest (Putusan Listrik) tanggal 23 Mei 1921, mengenai perluasan interpretasi elemen pasal pencurian. Dalam perkara ini, Hoge Raad menilai bahwa listrik memiliki “zeker zelfstandig bestaan (eksistensi mandiri yang pasti)” dan “een zekere waarde (suatu nilai tertentu)” karena dapat dikuasai dan bernilai ekonomis. Disebabkan listrik memenuhi kesamaan rasio dengan “enig goed (suatu benda)” sebagaimana dimaksud Pasal 310 WvS, maka penggunaan energi listrik secara ilegal telah memenuhi unsur delik pencurian. Penalaran ini merupakan rechtsanalogie karena menarik prinsip umum dari berbagai penafsiran teks, sehingga membentuk satu ide fundamental. Kesamaan rasio tersebut kemudian diterapkan pada tindakan lain yang tidak diatur dalam undang-undang.
Tanpa analogi, penegakan hukum akan terbelenggu oleh rumusan undang-undang yang kaku. Dua dekade sebelum Elektriciteitsarrest—tepatnya tahun 1899, Reichsgericht (Mahkamah Agung Jerman periode 1879 - 1945) pernah membebaskan terdakwa pencurian listrik melalui penafsiran elemen “benda” yang terlampau tekstual. Menurut konsep hukum Jerman dan Romawi, “benda” merupakan objek fisik yang menempati tempat tertentu [8]. Maka dari itu, listrik tidak bisa dianggap sebagai “benda (sache)”, melainkan “tenaga (kraft)”. Pertimbangan ini menunjukkan pengaruh nulla poena sine lege mengakibatkan konstruksi yang terlalu sempit demi menjaga kepastian hukum. Penggunaan analogi dikesampingkan dengan ketat ketika merugikan terdakwa, tetapi interpretasi yang jelas-jelas bertentangan dengan tujuan hukum justru diterima. Kekosongan hukum ini baru diisi oleh undang-undang 9 April 1900, yang secara tegas menyatakan pencurian listrik melalui “konduktor (leiter)” dapat dihukum [9].
Dekonstruksi penggunaan analogi bukan merupakan pengabaian asas legalitas, melainkan langkah untuk menjaga keseimbangan antara kepastian dan keadilan. Namun, perlu digarisbawahi bahwa penggunaan analogi hanya terbatas pada rechtsanalogie yang bersumber dari penalaran beberapa sumber teks hukum. Selain karena telah dihapus, penggunaan gesetzesanalogie memang sudah sewajarnya dikecualikan karena menciptakan potensi diskresi yang terlampau luas. Studi di Uni Soviet dan Republik Rakyat Tiongkok menunjukkan bahwa gesetzesanalogie digunakan sebagai alat politik untuk mempertahankan kekuasaan di awal-awal pemerintahan. Namun, setelah kelangsungan politik dari rezim baru terjamin, diperlukan kepastian hukum sehingga penggunaan analogi berkurang [10]. Dalam iklim politik dan hukum Indonesia yang kini relatif stabil, penggunaan rechtsanalogie berfungsi untuk mengisi kekosongan hukum ketika undang-undang gagal merespons pesatnya perkembangan kejahatan.
Pada akhirnya, problem larangan analogi dalam KUHP Nasional dapat diselesaikan oleh klausul yang terkandung di peraturan itu sendiri. Menurut Pasal 53 ayat (2), hakim wajib mengutamakan keadilan jika terjadi pertentangan dengan kepastian hukum. Artinya di saat yang sama, KUHP Nasional tetap membuka peluang penafsiran analogi demi menegakkan nilai keadilan, meskipun analogi itu sendiri dilarang. Ketentuan ini merupakan manifestasi Radbruch Formula: ketika inti dari keadilan terabaikan, maka undang-undang tersebut tidak hanya cacat, tetapi juga “sama sekali tidak memiliki sifat alami hukum” [11]. Pada situasi ini, hakim berwenang melakukan reinterpretasi supaya suatu peraturan lebih adaptif dengan “rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Alih-alih dibatasi, analogi justru memberi ruang agar teks undang-undang tidak hanya ditafsirkan menurut sejarah pembentukannya, melainkan harus diterjemahkan secara kontekstual sesuai nafas zaman.
Penutup
Het recht hink achter de feiten aan, artinya hukum selalu tertinggal setelah peristiwa. Adagium tersebut mengingatkan kembali bahwa regulasi yang dibentuk melalui proses panjang penyusunan—seberapa pun futuristiknya—pasti akan tergilas oleh realitas yang berlari lebih lincah. Elektriciteitsarrest telah menunjukkan penggunaan analogi justru menjadi instrumen untuk melindungi kepentingan masyarakat yang lebih luas, selama digunakan secara tepat dan proporsional. Sebaliknya, penafsiran legalistik yang terlalu kaku justru rentan tereksploitasi, seperti pada putusan bebas Reichsgericht tahun 1899. Hakim semestinya bukan sekedar menjadi corong undang-undang, namun harus memiliki kapabilitas untuk menerjemahkan hukum agar tetap relevan dengan dinamika masyarakat. Tanpa penafsiran progresif, undang-undang hanya akan menjadi artefak tua yang dipajang di museum legislasi; gagal menjalankan fungsinya mewujudkan keadilan. Analogi seharusnya tidak dipandang sebagai ancaman terhadap prinsip kepastian, melainkan sebagai upaya untuk mendorong tegaknya keadilan, di tengah hukum yang tertatih mengejar perubahan realitas.
Referensi
[1] D. Valerian, Penerapan Analogi dalam Hukum Pidana Indonesia. Yogyakarta: Ruas Media, 2017.
[2] E. O. S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana: Edisi Penyesuaian KUHP Nasional. Depok: Rajawali Pers, 2024.
[3] Moeljatno, Buku Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta, 2015.
[4] K. Myftari dan S. Guço, “Prohibition of the Application of Criminal Law by Analogy Within the Principle of Legal Certainty,” Quest Journals, vol. 9, no. 5, 2021.
[5] Verena Klappstein dan M. Dybowski, Ed., Languages of the Law: Vocabularies and Uses. Cham: Springer Nature Switzerland, 2025.
[6] Himpunan Tanya Jawab Rapat Kerja Mahkamah Agung dengan Pengadilan Tingkat Banding di Daerah (Rakerda) Tahun 1987. Jakarta: Mahkamah Agung RI, 1993.
[7] M. van Hoecke, Law as Communication. London: Bloomsbury Publishing, 2002.
[8] W. Naucke, “Interpretation and Analogy in Criminal Law,” BYU Law Rev., vol. 1, no. 3, 1986.
[9] L. Preuss, “Punishment by Analogy in National Socialist Penal Law,” J. Crim. Law Criminol., vol. 26, no. 6, 1936.
[10] D. Giovannetti, “The Principle of Analogy in Sino-Soviet Criminal Laws,” Dalhous. Law J., vol. 8, no. 2, 1984.
[11] G. Radbruch, “Statutory Lawlessness and Supra-Statutory Law,” Oxf. J. Leg. Stud., vol. 26, no. 1, 2006.