Menelisik Peran Negara dan Masyarakat Dalam Pembayaran Ganti Rugi di KUHP Baru

13 August 2025 | Adji Prakoso
Adji Prakoso

format_quote

Latar Belakang

Hukum selalu berevolusi selaras dengan perkembangan sosial dan tuntutan zaman, tidak terkecuali hukum pidana. Awalnya penerapan hukum pidana sebagai instrumen pembalasan (teori retributif). Pemidanaan berdasarkan teori retributif, merupakan impact yang diterima subjek hukum pelaku tindak pidana dan sarana menjawab permintaan keadilan masyarakat, yang telah dilanggar.[1] Fokus utama teori pembalasan yakni memberikan kesengsaraan kepada terpidana, setara dengan perbuatannya. Namun dewasa ini, tujuan implementasi hukum pidana di masyarakat global telah bergeser, dari ansich sarana pembalasan bertransformasi menjadi instrumen mengembalikan keadaan seperti sebelum terjadinya tindak pidana. Pengembalian keadaan seperti sedia kala, dilandaskan keadilan restoratif (restorative justice). Pendekatan pemidanaan menggunakan sarana pembalasan, dinilai tidak dapat menghentikan atau mengurangi kriminalitas. Belum lagi, tidak memulihkan nestapa yang dialami korban tindak pidana.[2]

Pendekatan keadilan restoratif, tidak hanya berfokus pada pemberian sanksi pidana yang adil bagi terpidana, tetapi berikan perhatian juga kepada korban, melalui pemulihan kedudukannya sebagai insan manusia dengan memperhatikan aspek non yuridis, seperti psikologis, sosial dan ekonomi korban. Keadilan restoratif sebagai sarana mengobati luka akibat tindak pidana, diharapkan menyertakan keterlibatan publik, sehingga menciptakan kepedulian bersama mengembalikan keadaan sebelum terjadinya tindak pidana.[3]

Pembentukan hukum pidana nasional terbaru, melalui pengesahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan akan berlaku awal tahun 2026, dimana berorientasi pembaharuan hukum pidana berprespektif restorative justice. Salah satu bentuknya mencantumkan ketentuan pemberian ganti rugi kepada korban tindak pidana sebagai pidana tambahan bagi pelaku tindak pidana, yang diatur Pasal 66 Ayat 1 Huruf d KUHP nasional terbaru. Menurut penjelasan Pasal 66 Ayat 1 KUHP nasional baru, pembayaran ganti rugi sama dengan pemberian restitusi dalam peraturan perundang-undangan perlindungan saksi dan korban.

Walaupun dinilai progresif, pidana tambahan pembayaran ganti rugi dalam KUHP baru, menyisakan problematika kasus pelaku pidana miskin, yang tidak mampu membayar ganti rugi. Berdasarkan Pasal 94 Ayat 2 KUHP baru, pelaku tindak pidana yang tidak bayar ganti rugi, secara mutatis mutandis dikenakan aturan pidana denda. Dalam ketentuan tersebut, akan disita dan dilelang harta benda pelaku, bilamana tidak cukup harta bendanya atau tidak memungkinkan dilaksanakan, diganti pidana penjara, pidana pengawasan atau pidana kerja sosial sebagaimana Pasal 82 Ayat 1 dan 83 Ayat 1 KUHP baru. Lalu, bagaimana hak korban dapatkan pemulihan adari ganti rugi yang tidak dibayarkan karena pelaku pidana miskin ? Apakah negara dan publik dapat berperan menggantikan kedudukan pelaku tindak pidana untuk laksanakan pidana tambahan pembayaran ganti kerugian ?

Melibatkan Negara dan Publik Dalam Pembayaran Ganti Rugi

Peniadaan pembayaran ganti rugi bagi pelaku pidana miskin, yang tidak melaksanakan kewajiban pembayaran ganti rugi dan digantikan bentuk pemidanaan lainnya yakni bertentangan dengan tujuan pelaksanaan hukum pidana berorintasi keadilan restoratif. Keterlibatan aktif negara dan masyarakat diperlukan menghadapi persoalan tersebut. Indonesia merupakan entitas negara hukum, tidak dapat pasif dan bertindak seolah problematika hukum dimaksud, tidak urgen diselesaikan dan menjadi negara penjaga malam (nachtwachterstaat). Konsensus pembentukan negara hukum Indonesia, dilandasi semangat menjamin hak asasi dan kepentingan hukum masyarakat sesuai prinsip rechtstaat.[4] Proaktif negara melindungi kepentingan hukum warga negara, sesuai pendapat Thomas Aquino yang menerangkan pengesahan dan pembentukan aturan pidana, harus ditujukan pada upaya menjaga kesejahteraan warga negara.[5]

Negara dapat berperan membentuk aturan pelaksana KUHP, berupa peraturan pemerintah yang mengatur mekanisme pelaksanaan pembayaran ganti rugi bagi pelaku pidana miskin, sehingga terpenuhi hak korban untuk dapatkan pengobatan medis/psikologis, ganti rugi akibat hilangnya pendapatan dan penderitaan langsung yang berkaitan dengan tindak pidana, sebagaimana amanat Pasal 7A Ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Walaupun pelakunya menjalanin pidana subsider lainnya, tetapi hak ganti rugi korban jangan dihilangkan.

Dalam peraturan pemerintah tersebut, diatur lembaga yang diberikan kewenangan membayarkan ganti rugi bagi korban, sebagai organ yang menggantikan kewajiban terpidana miskin. Lembaga negara tidak perlu dibentuk baru untuk efektifkan apbn, tetapi kewenangannya diatributifkan melalui aturan hukum. Hal mana dapat mencontoh Badan Pembinaan Hukum Nasional RI, yang diberikan kewenangan pengelolaan dan pendistribusian dana insentif bantuan hukum kepada organisasi bantuan hukum terakreditasi.

Selain itu, sumber pendanaan mengeksekusi pembayaran ganti rugi kepada korban, yang tidak diberikan haknya oleh pelaku pidana miskin yakni tidak hanya dibebankan kepada APBN/APBD. Melainkan dapat ditarik pendanaan berdasarkan partisipasi publik. Warga negara sadar hukum dan memiliki perhatian atas pentingnya pemulihan korban tindak pidana, dapat mendonasikan harta bendanya untuk kepentingan pembayaran ganti rugi. Dibukanya ruang keterlibatan masyarakat untuk mengatasi problematika terpidana miskin yang tidak mampu bayar ganti rugi, merupakan pembaharuan hukum partisipatif dan selaras dengan politik hukum responsif. Politik hukum responsif, salah satu cirinya pembentukan aturan hukum yang solutif atas dinamika sosial dan menjawab kehendak hukum masyarakat.[6]

Perlu diatur mengenai jangka waktu dimulainya dan batas akhir pembayaran ganti rugi kepada korban. Seandainya tidak dapat membayarkan sampai batas waktu yang ditentukan, maka dilakukan penelusuran harta kekayaan pelaku tindak pidana oleh Kejaksaan sebagai eksekutor putusan pidana bekerjasama dengan Kepolisian, PPATK, Kementerian ATR/BPN, Pengawas Jasa Keuangan (OJK) dan institusi lain. Bilamana masih ada harta kekayaan, maka wajib disita dan dilelang sesuai ketentuan Pasal 82 Ayat 1 KUHP. Bagi pelaku pidana, yang harta kekayaannya tidak mencukupi untuk laksanakan pembayaran ganti rugi sesuai batas waktu yang ditentukan, maka langsung dikategorikan sebagai pelaku miskin. Kemudian negara dan masyarakat mengambil alih tanggung jawab laksanakan pembayaran ganti rugi kepada korban, melalui lembaga negara yang diberikan kewenangan mendistribusikan dana pembayaran ganti rugi. Demikian juga, atas kondisi tidak adanya harta kekayaan pelaku pidana, ketika dilakukan penelusuran harta kekayaan terpidana. Maka langsung ditetapkan sebagai pelaku pidana miskin dan pembayaran ganti rugi bagi korban tindak pidana diberikan lembaga negara yang diberikan otoritas.

Kontrol Pelaksanaan Pembayaran Ganti Rugi Melibatkan Hakim Wasmat

Pelaksanaan pengelolaan dan pendistribusian ganti rugi korban tindak pidana, ketika pelakunya dikategorikan miskin yakni memerlukan kontrol institusi lainnya, sebagai wujud sistem peradilan pidana. Hal ini, sesuai konsep negara hukum Indonesia yang salah satu wujudnya pengawasan kekuasaan, sehingga terhindar dari penyalahgunaan wewenang dan tindakan sewenang-wenang.[7]

Dalam sistem peradilan pidana, pengawasan atas pelaksanaan suatu putusan pidana, khususnya putusan pidana perampasan kemerdekaan dilakukan Hakim Pengawas dan Pengamat (Wasmat) yang ditunjuk Ketua Pengadilan Negeri, sebagaimana Pasal 277 Ayat 1 Undang-Undang RI Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 1985 tentang Petunjuk Pelaksana Tugas Hakim Pengawas dan Pengamat. Bahwa Hakim Wasmat, selama ini melaksanakan kewajibannya tidak pro aktif sebagai organ pengawas pelaksanaan putusan pidana dan hanya sebatas melengkapi persyaratan administrasi yang ditetapkan KUHAP serta kebijakan Mahkamah Agung RI, bentuknya dengan cara mendatangi Lapas dan melakukan wawancara terhadap narapidana dalam jangka waktu tiga/enam bulan sekali.[8]

Menganalisa pembentukan KUHP baru yang memperluas pidana pokok dan pidana tambahan kepada pelaku tindak pidana, maka sepatutnya diberikan perluasan kewenangan bagi hakim yang ditunjuk sebagai Hakim Wasmat, untuk mengontrol pelaksanaan suatu putusan pidana, termasuk memastikan pelaksanaan pembayaran ganti rugi kepada korban. Pengawasan dan pengamatan tidak hanya difokuskan mewawancarai pelaku tindak pidana, yang dikenakan pidana tambahan pembayaran ganti rugi. Idealnya, hakim wasmat diberikan otoritas menanyakan kepada korban tindak pidana, apakah pembayaran ganti rugi sudah dibayarkan oleh pelaku pidana. Sehingga laporan penelitian dari pengawasan dan pengamatan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Demikian juga, hakim wasmat dapat melakukan pengawasan kepada lembaga negara yang memiliki wewenang menyerahkan ganti rugi, dikarenakan tidak mampunya ekonomi pelaku pidana membayar ganti rugi kepada korban. Hal mana untuk mencegah tindakan koruptif atau keterlambatan pendistribusian dana ganti rugi.

Penutup

Keterlibatan negara dan masyarakat dalam pembayaran ganti rugi kepada korban tindak pidana, yang pelaku pidananya miskin menjadi solusi mencapai tujuan pembentukan KUHP baru, yang berpedoman menerapkan keadilan restoratif. Partisipasi negara dan masyarakat, wajib dilembagakan dalam peraturan pemerintah sebagai pelaksana ketentuan ganti rugi dalam KUHP baru, sehingga memberikan kepastian hukum. Selain itu, pelaksanaan pembayaran ganti rugi kepada korban tindak pidana,yang ditanggung bersama negara dan masyarakat wajib dilakukan pengawasan oleh Hakim Wasmat, sehingga sistem peradilan pidana berjalan ideal, efektif dan selaras dengan pembaharuan hukum nasional yang digaungkan melalui pembentukan KUHP baru.

Referensi

[1] Muladi dan B. N. Arief, teori-teori kebijakan pidana, Cetakan IV. Bandung: PT. Alumni, 2010.

[2] E. V. Noya dan A. Walakutty, “Penyelesaian Tindak pidana Ringan melalui Restorative Justice Conferencing Initiative,” SANISA J. Kreat. Mhs. Hukum, vol. 4, no. 1, hal. 22–40, doi: https://doi.org/10.47268/sanisa.v4i1.2164.

[3] H. S. Flora, “Keadilan Restoratif Sebagai Alternatif Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Dan Pengaruhnya Dalam Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia,” UBELAJ, vol. 3, hal. 142–158, 2018, doi: https://doi.org/10.33369/ubelaj.3.2.142-158.

[4] Z. Ridwan, “Negara Hukum Indonesia Kebalikan Nachtwachterstaat,” Fiat Justisia J. Ilmu Huk., vol. 5, no. 2, hal. 141–152, 2011, doi: https://doi.org/10.25041/fiatjustisia.v5no2.56.

[5] Hamzah Andi, asas-asas hukum pidana, Cetakan IV. Jakarta: Rineka Cipta, 2019.

[6] L. J. Kurniawan dan M. Lutfi, Hukum dan Kebijakan Publik Perihal Negara, Masyarakat Sipil dan Kearifan Lokal Dalam Perspektif Politik Kesejahteraan, Cetakan II. Malang: Setara Press, 2016.

[7] B. J. Nasution, Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia, Cetakan V. Bandung: Mandar Maju, 2018.

[8] W. M. Setyoningsih dan D. A. Sulchan, “Prosiding Konstelasi Ilmiah Mahasiswa Unissula (KIMU) 5 Peran Hakim Pengawas Dan Pengamat (KIMWASMAT) Terhadap Pelaksanaan Putusan-Putusan Pengadilan Dalam Sistem Peradilan Pidana The Role Of The Supervisory And Observers Judge (KIMWASMAT) On The Implemen,” 2021. [Daring]. Tersedia pada: https://jurnal.unissula.ac.id/index.php/kimuh/article/view/17905/6048