Latar Belakang
Pasal 2 ayat (1) KUHP Nasional memberikan pengertian hukum yang hidup dalam masyarakat merupakan hukum adat yang menentukan seseorang melakukan perbuatan tertentu yang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam KUHP Nasional ini. Hal itu erat kaitannya dengan hukum tidak tertulis yang masih berlaku dan berkembang dalam kehidupan masyarakat di Indonesia. Untuk memperkuat keberlakuan the living law tersebut, diperlukan peraturan pelaksana yang mengatur mengenai tata cara dan kriteria penetapan hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana amanat Pasal 2 ayat (3) KUHP Nasional. Mengingat pemberlakuan KUHP Nasional tinggal hitungan bulan. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk membahas terkait bagaimana penetapan hukum yang hidup dalam masyarakat menyongsong berlakunya KUHP Nasional?
Pembahasan
Kini Indonesia telah memiliki KUHP Nasional. Namun, ada hal perlu disiapkan sebelum pemberlakuan KUHP Nasional tersebut, salah satunya pembentukan peraturan pemerintah terkait tata cara dan kriteria penetapan hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana amanat Pasal 2 ayat (3) KUHP Nasional tersebut.
Kemudian tantangan yang dihadapi ialah pemerintah daerah perlu melakukan identifikasi, inventarisasi, kompilasi, dan menetapkan terkait the living law di daerahnya masing-masing hingga diatur dalam bentuk peraturan daerah, namun tetap memperhatikan ketentuan Pasal 2 ayat (2) KUHP Nasional mengenai batasan keberlakuan hukum yang hidup dalam masyarakat dengan indikator yang bersifat kumulatif, yaitu 1) berlaku dalam tempat hukum itu hidup, 2) sepanjang sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan UUD NKRI Tahun 1945, 3) HAM, 4) asas-asas hukum umum yang diakui masyarakat beradab.
Keberadaan ketentuan tersebut perlu disikapi lebih lanjut dengan menyusun aturan turunannya dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP) tentang tata cara dan kriteria penetapan hukum yang hidup dalam masyarakat. PP ini akan menjadi pedoman dalam penyusunan Perda yang mengkompilasi hukum yang hidup dalam masyarakat tersebut.
Walaupun dalam Pasal 1 KUHP Nasional asasnya legalitas dan dasarnya adalah nulla poena sine lege atau tidak ada pidana tanpa Undang-Undang, namun kini ada ketentuan Pasal 2 yang mengatur hukum yang hidup dalam masyarakat, asasnya nulla poena sine jure atau tidak ada pidana tanpa hukum. Ketika berbicara Pasal 2 tersebut tidak bisa terlepas dari Pasal 12 dan 54 KUHP Nasional. Pasal 2 keberadaan hukum yang hidup di masyarakat, Pasal 12 mengenai melawan hukum, dan Pasal 54 salah satu pedoman pemidanaan ialah hukum yang hidup di masyarakat. Lalu, apa benang merah terhadap ketiga pasal tersebut?
Berdasarkan Pasal 54 ayat (1) KUHP Nasional dalam pemidanaan wajib dipertimbangkan salah satunya nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dalam Penjelasan Pasal tersebut, ketentuan ini memuat pedoman pemidanaan yang sangat membantu hakim dalam mempertimbangkan takaran atau berat ringannya pidana yang akan dijatuhkan. Kemudian berhubungan dengan ketentuan ayat (2) yang juga berkaitan dengan dasar pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana atau tidak mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan. Dengan penjelasannya ketentuan ini dikenal dengan asas reclterlijlce pardon atau judicial pardon yang memberi kewenangan kepada hakim untuk memberi maaf pada seseorang yang bersalah melakukan Tindak Pidana yang sifatnya ringan. Pemberian maaf ini dicantumkan dalam putusan hakim dan tetap harus dinyatakan bahwa terdakwa terbukti melakukan Tindak Pidana yang didakwakan kepadanya.
Apabila mencermati Pasal 54 KUHP tersebut, ternyata pedoman pemidanaan dalam KUHP Nasional memuat salah satunya mengenai hukum yang hidup di masyarakat dapat dipakai hakim dalam menjatuhkan pidana atau bisa juga tidak menjatuhkan pidana. Hukum pidana adat merupakan bagian hukum yang hidup dalam masyarakat, namun tidak semua hukum yang hidup dalam masyarakat adalah hukum pidana adat. Pasal 2 KUHP mengadakan keberlakuan hukum yang hidup dalam masyarakat bisa dipakai untuk menjatuhkan pidana, tetapi di sisi lain keberadaannya bisa juga untuk tidak menjatuhkan pidana.
Apabila hukum yang hidup dalam masyarakat dipositifkan dalam perda, maka betul jadi legalitas formil. Apakah legalitas materiil masih berlaku? Jawabannya masih berlaku dalam rangka tidak menjatuhkan pidana kepada seseorang sebagaimana ketentuan Pasal 54 terkait pedoman pemidanaan. Hal tersebut tidak terlepas dari perkembangan teori ajaran sifat melawan hukum yang salah satunya sifat melawan hukum materiil yang merupakan sudut pandang perbuatan yang melekat pada delik-delik materil. Pembentuk UU melindungi akibat dari perbuatannya.
Perlu diingat apabila dilihat dari sudut pandang sumber hukumnya dibagi menjadi yaitu 1) sifat melawan hukum materiil fungsi negatif adalah alasan penghapus pidana, meskipun perbuatan itu sesuai dengan rumusan delik tetapi tidak bertentangan dengan rasa keadilan di masyarakat, maka hakim tidak menjatuhkan pidana. 2) sifat melawan hukum materiil fungsi positif. Meskipun perbuatan itu tidak bertentangan dengan UU tetapi dianggap bertentangan dengan rasa keadilan di masyarakat, maka dapat hakim menjatuhkan pidana.
Menyikapi kondisi tersebut perlu segera dibentuk peraturan daerah yang menetapkan hukum yang hidup dalam masyarakat dengan melihat kembali Pasal 2 ayat (1) KUHP Nasional maupun Penjelasannya yang pada pokoknya tidak dimaksudkan menghidupkan pranata hukum adat yang senyatanya sudah dikubur dalam-dalam/sudah mati, melainkan pranata hukum adat yang masih ada sepanjang tidak bertentangan dengan 4 (empat) batasan (nilai-nilai Pancasila, UUD Tahun 1945, HAM, dan asas hukum umum yang diakui masyarakat bangsa-bangsa) serta peristiwa hukum yang terjadi tersebut juga tidak diatur dalam KUHP, jadi pemberlakuan Pasal 2 ayat (1) KUHP Nasional ada batasan-batasannya yang perlu diperhatikan.
Selain itu dibutuhkan sikap arif dan bijaksana dari hakim untuk menggali nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat dalam mengadili perkara pidana adat. Mengingat adanya ketentuan UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman khususnya Pasal 5 dan 10 yang mewajibkan hakim menggali nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.
Penutup
Adapun kesimpulan dalam karya ini ialah dalam menyongsong berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana Pasal 2 KUHP Nasional maka diperlukan langkah persiapan termasuk penyusunan peraturan pelaksana mengenai tata cara dan kriteria penetapan hukum yang hidup dalam masyarakat yang diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP). Kemudian PP ini dijadikan pedoman bagi pemerintah daerah dalam inventarisasi, kompilasi, dan menetapkan hukum yang hidup dalam masyarakat ke dalam Peraturan Daerah dengan batasan bersifat kumulatif sebagaimana Pasal 2 ayat (2) KUHP Nasional, yaitu 1) berlaku dalam tempat hukum itu hidup, 2) sepanjang sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan UUD NKRI Tahun 1945, 3) HAM, 4) asas-asas hukum umum yang diakui masyarakat beradab. Kemudian hukum yang hidup dalam masyarakat yang telah ditetapkan tersebut nantinya akan dijadikan pedoman pemidanaan bagi Hakim sebagaimana Pasal 54 KUHP Nasional.
Referensi:
[2] Prim Haryadi, “Menyongsong Berlakunya Hukum Yang Hidup dalam Masyarakat Berdasarkan UU No. 1 Tahun 2023 tentang KUHP,” in Seminar Nasional, Jakarta: Kementerian Hukum dan HAM, 2023.
[3] R. V. F. Kapitan, “Disharmonisasi Kepolisian dan Kejaksaan dalam Penerapan Keadilan Restoratif Untuk Penyelesaian Perkara Pidana,” Leg. Standing J. Ilmu Huk., vol. 8, no. 3, pp. 617–627, Aug. 2024, doi: 10.24269/ls.v8i3.9096.
[4] Edward O.S. Hiariej, “Politik Hukum Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia,” in Seminar Nasional, Jakarta: Kementerian Hukum dan HAM, 2023.