Pendahuluan
Fisika adalah ilmu yang mempelajari materi beserta gerak dan perilakunya dalam lingkup ruang dan waktu. Objek studi tersebut bertujuan agar manusia memahami bagaimana alam semesta bekerja. Richard Feynman mengemukakan bahwa hukum-hukum fundamental alam dapat dijelaskan dengan prinsip-prinsip dasar yang berlaku universal. [1] Sekian lama ilmu alam yang termasuk fisika didalamnya terdikotomi dengan rumpun ilmu sosial dikarenakan perbedaan karakteristik objek dan metode penelitianya. Namun seiring perkembangan, mulailah bermunculan gagasan bahwa antara sains dan sosial nyatanya tidak terlalu berbeda bahkan memiliki titik singgung yang sangat kuat terlebih jika ditinjau dalam aspek filsafat. Pada tahun 1636 Thomes Hobbes mulai memperkenalkan konsep fisika sosial. Hobbes meyakini bahwa perilaku setiap benda hidup maupun benda mati bisa dijelaskan melalui gerakan partikulat, [2] yaitu pergerakan partikel-partikel kecil, seperti debu, asap, atau polutan udara, di dalam medium seperti udara atau air. Gerakan ini bisa bersifat acak, dipengaruhi gaya eksternal, atau kombinasi keduanya. [3]
Fisika sosial juga selaras dengan pemikiran Galileo pada abad ke-17 yang mengemukakan bahwa jika alam bisa ditulis dengan bahasa matematika, maka sosial pun bisa ditulis dalam bahasa matematika. Sorokin, seorang sosiolog (1889–1968) mendeskripsikan bahwa konsep fisika bisa diterapkan dalam konsep sosial dan landasan intelektual fisika sosial berasal dari gagasan filosofis Yunani Kuno tentang materialisme monistik yang menyebutkan bahwa fenomena fisika dan sosial adalah bagian dari fenomena alam. Dunia alam dan dunia sosial dinilai bersifat isomorfik, yaitu bersifat satu dunia, satu set prinsip. [4]
Jika disebutkan bahwa sains dan sosial memiliki sifat isomorfik maka dapat dikatakan setidaknya secara filsafat prinsip-prinsip fisika dapat dipergunakan untuk membantu analisis pola perkembangan dinamika masyarakat dan hukum seperti apakah yang mempu menjadi alat rekayasa menuju arah yang diharapkan. Pada tulisan ini penulis akan menggunakan pendekatan filsafat hukum kedua termodinamika tentang entropi untuk menganalisis keselarasan kebaruan KUHP Nasional dengan kebutuhan dinamika masyarakat berkelanjutan.
Pembahasan
Salah satu konsep utama dalam fisika adalah entropi, yang berasal dari hukum kedua termodinamika. Hukum ini menyatakan bahwa dalam sistem tertutup, entropi atau tingkat ketidakteraturan akan selalu bertambah, sehingga suatu sistem secara alamiah cenderung bergerak dari keadaan yang lebih teratur menuju keadaan yang lebih acak.[5] Sebagai contoh: es yang secara alami mencair dalam suhu normal dan energi panas yang terus menyebar hingga merata. Semuanya terjadi karena secara alamiah partikel bergerak dari teratur menuju tidak teratur.
Sebagai bagian dari alam semesta, manusia dan sistem sosialnya dapat dikatakan tidak terlepas dari hukum-hukum dasar yang sama termasuk tentang bagaimana sesuatu memiliki kecenderungan bergerak ke arah acak sebagaimana dirumuskan hukum kedua termodinamika. Masyarakat yang memiliki kecenderungan untuk berkembang, berubah, dan sering kali bergerak menuju kompleksitas yang lebih besar. Jika dibiarkan tanpa pembaruan regulasi maka terjadilah entropi sosial. yaitu keadaan di mana aturan-aturan lama tidak lagi mampu mengatur perubahan yang terjadi, sehingga menyebabkan ketidakstabilan atau bahkan kekacauan.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau kita kenal sebagai KUHP Nasional adalah salah satu bentuk rekodifikasi hukum yang bertujuan untuk menjawab tantangan perkembangan kompleksitas masyarakat Indonesia. Ketentuan baru yang diperkenalkan khususnya secara prinsip diatur dalam Buku I, KUHP Nasional ini mencoba mengakomodasi perkembangan masyarakat Indonesia yang semakin kompleks.
KUHP yang berlaku saat ini adalah salinan terjemah dari wetboek van srafrecht yang telah berlaku sejak tahun 1918 sering dituduh memiliki nuansa kolonialisme dan sudah tidak relevan dengan masyarakat Indonesia kekinian. Maka melalui Undang-undang No 1 Tahun 2023 ini kita telah memiliki KUHP Nasional yang akan berlaku efektif pada 2 Januari 2026. Kebaruan yang dibawa KUHP Nasional menarik untuk dicermati apakah mampu meminimalisir atau justru menjadi akselerator entropi sosial di Indonesia.
Keadilan Menjadi Prioritas
Pengejawantahan semangat baru KUHP nasional terdapat pada Buku I tentang Aturan Umum Bab I - Bab III. Disana dituangkan fondasi nilai keadilan seperti apa yang akan digunakan oleh hukum pidana Indonesia kedepannya. Nilai keadilan tersebut adalah mencakup keadilan korektif bagi pelaku, keadilan restoratif bagi korban dan keadilan rehabilitatif bagi pelaku dan korban tindak pidana sekaligus bagi masyarakat.
Masalah benturan antara kepastian hukum dengan keadilan yang selama ini menjadi polemik bagi penegak hukum ternyata juga diatasi dalam KUHP Nasional dengan pengaturan prioritas agar dikedepankan aspek keadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 53. Hal ini selaras dengan Radburg Formula yang mengehendaki adanya kebijaksanaan dalam menakar keadilan dan kepastian hukum, yang di satu sisi hukum harus konsisten dan dapat diprediksi hingga masyarakat percaya pada sistem peradilan namun di sisi lain harus ada empati dan sensitifitas jangan sampai kepastian secara kaku justru mengakibatkan ketidak adilan.[6] Keadilan yang diprioritaskan ini juga diharapkan bisa menjadi jawaban dari banyak keresahan masyarakat tentang fungsi dan independensi hakim yang sebelumnya belum bisa menegasikan tuduhan bahwa hakim hanyalah corong undang-undang. Tuduhan yang memang terlalu berlebihan tetapi bukan tanpa dasar di tengah maraknya penyidikan dan penuntutan perkara yang dalam situasi kebatinan masyarakat tidak perlu, namun hakim seolah terkerangkeng dalam formula dakwaan atas nama kepastian hukum.
Kewajiban hakim untuk menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat sebagaimana amanat Undang-undang Kekuasaan Kehakiman[7] menjadi lebih masuk akal untuk diterapkan karena dengan Pasal 54 ayat (2) KUHP Nasional, hakim diberikan kewenangan untuk memberikan judicial pardon pada seorang yang bersalah melakukan tindak pidana yang sifatnya ringan.[8] Namun bukan tanpa tantangan, judicial pardon ini memerlukan aturan penunjang yang memadai sebelum diterapkan terlebih paradigma keadilan substantif adalah hal yang masih asing baik bagi penegak hukum ataupun masyarakat. Belum lagi dari segi efektifitas judicial pardon bisa saja dianggap nihil karena dalam KUHAP yang berlaku saat ini, Hakim tidak memiliki kontrol atas upaya paksa seperti penangkapan dan penahanan sehingga pemaafan tidak mencegah nestapa yang telah diderita.
Mekanisme pendingin entropi sosial dalam KUHP Nasional
Deskripsi sederhana yang penulis uraikan tentang kebaruan-kebaruan dalam KUHP nasional sejatinya merupakan awal dari perjalanan panjang babak baru praktik penegakan hukum pidana Indonesia. Selayaknya perjalanan panjang maka kita perlu memperhatikan visibilitas sarana yang digunakan untuk menempuh perjalanan tersebut. Pada bagian awal penulis menjelaskan bahwa terdapat teori fisika yang dapat dipergunakan untuk membantu menganalisis pola gerak masyarakat yaitu antara lain adalah entropi sosial. Terminologi ini merujuk pada kondisi disorganisasi, ketidakteraturan, atau meningkatnya ketegangan dalam masyarakat akibat konflik nilai, ketidakpastian norma, dan lemahnya kontrol sosial. Kemudian penulis juga mengemukakan tentang “elemen pendingin” yang berarti norma atau mekanisme hukum yang dapat meredam kekacauan sosial dan memperkuat kohesi sosial.
KUHP yang berlaku saat ini warisan Belanda bisa bertahan begitu lama bukan hanya karena kita selama ini kita belum mampu merumuskan KUHP Nasional namun karena KUHP tersebut pernah memberikan rasa nyaman dan sulit mencari jaminan bahwa rumusan baru akan bisa lebih baik. Tentunya formula tersebut bisa terjadi karena penyusun WvS telah memiliki visibilitas jangka panjang dan membuat rumusan bukan hanya berpegang pada konteks jamannya tetapi juga memiliki analisis arah gerak dinamika masyarakat atau dalam tulisan ini penulis sebut sebagai entropi sosial. Maka KUHP lama telah sukses menjadi elemen pendingin agar dinamika masyarakat dapat diredam dengan performa luarbiasa kendatipun saat ini efeknya telah jauh melemah dan waktunya diganti dengan elemen pendingin yang lebih baru.
Contoh kekinian adalah fenomena maraknya kecerdasan buatan. Jika formulasi hukum hanya semata menangkap fenomena kecerdasan buatan dan merumuskan aturan, maka tidak lama aturan tersebut usang. Namun jika fenomena kecerdasan buatan ditangkap dan dianalisis kemana arah laju teknologinya bahwa ke depan itu bukan hanya sekedar kecerdasan tetapi juga dianalisis misalnya itu akan menjelma menjadi kesadaran buatan dan kemudian dilakukan analisis entropi sosial bagaimana imbasnya pada dinamika sosial, politik dan ekonomi. Jika demikian tentu narasi dalam perumusan aturan akan jauh lebih baik karena telah mengantisipasi beberapa langkah ke depan.
Penutup
Aspek-aspek kebaruan dalam Buku I KUHP Nasional memiliki peluang besar untuk menjadi elemen pendingin entropi sosial, kendatipun hal tersebut masih perlu dipastikan dengan formulasi aturan pelaksana yang juga harus memiliki analisis arah gerak dinamika sosial. Tentang keadilan yang diprioritaskan dibanding kepastian, judicial pardon, pedoman pemidanaan, dan konsep-konsep baru tersebut akan menjadi cepat usang jika peraturan pelaksana tidak dirumuskan dengan semangat yang sama. Untuk itu setelah selesai dengan perumusan hukum materiil, filsafat hukum kedua termodinamika tampaknya bisa dipergunakan untuk melakukan analisis pola gerak pihak-pihak yang terkait dalam penegakan hukum pidana.
Demikian juga sebagai saran penulis, menjelang berlakunya KUHP Nasional ini sangat perlu adanya doktrinasi berkelanjutan bagi aparat penegak hukum agar memiliki pola baru dalam berpikir dan bertindak sesuai dengan paradigma KUHP Nasional. Jikalaupun KUHP lama bisa dicabut dan diganti dalam semalam namun pola pikir, pola gerak dan pola tindak yang diajarkan dan digunakan berpuluh tahun tidak akan bisa berubah dalam semalam.
Referensi
[1] Feynman, R.P.; Leighton, R.B.; Sands, M. (1963). The Feynman Lectures on Physics. 1. ISBN 0-201-02116-1.
[2] "Thomas Hobbes | Biography, Philosophy, Beliefs, Leviathan, Legacy, & Facts | Britannica". 2023 [online]. Available: www.britannica.com
[3] Adams, Marcus P. Zalta, Edward N.; Nodelman, Uri, ed. “Hobbes’ Philosophy of Science” Metaphysics Research Lab, Stanford University. 2023.
[4] Barnes and Wilson, Trevor and Matthew. "Big Data, social physics, and spatial analysis: The early years". Journal Sagepub. 2014.
[5] Surya, Yohanes . “Suhu dan Termodinamika.” Tangerang: PT Kandel. 2009.
[6] Eddy O.S. Hiariej, Topo Santoso, “Anotasi KUHP Nasional”, Depok: Rajawali Press, 2025.
[7] Undang-Undang Republik Indonesia No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
[8] Undang-Undang Republik Indonesia No.1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana.