Latar Belakang
Menurut Gustav Radbruch ahli hukum dan filsuf hukum Jerman tujuan hukum ada tiga, yaitu keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Pengesahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Nasional) menandai tonggak penting kepastian hukum dalam sejarah reformasi hukum pidana di Indonesia. Sedangkan keadilan dan kemanfaatan hukum ada pada penegak hukum terutama hakim. Setelah hampir satu abad mengadopsi Wetboek van Strafrecht (WvS) warisan kolonial Belanda yang tidak memiliki terjemahan resmi Bahasa Indonesia, bahkan terkadang berbeda penafsiran antara KUHP versi Moeljatno dengan KUHP versi R. Soesilo. Indonesia akhirnya memiliki kodifikasi hukum pidana yang disusun berdasarkan nilai-nilai dan kebutuhan hukum nasional. Buku I KUHP Nasional sebagaimana yang dipahami mengatur tentang aturan umum yang memiliki peran fundamental dalam sistem peradilan pidana di Indonesia karena menjadi dasar dalam menciptakan putusan hakim yang didambahkan. [1]
Pasal 53 Ayat (1) dan (2) KUHP Nasional menyatakan bahwa hakim wajib mengedepankan rasa keadilan dibandingkan dengan kepastian hukum apabila terdapat pertentangan. Hakim diminta agar dalam memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara harus berdasarkan fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan, di mana hakim diminta untuk menjatuhkan pidana berdasarkan dasar hukum yang jelas dan setimpal dengan perbuatan pidana yang dilakukan untuk menegakkan keadilan. Dari beberapa perkara yang ditangani oleh hakim, mewujudkan keadilan itu sangat sulit, terkadang adil bagi majelis hakim belum tentu adil bagi terdakwa dan/atau korban. Pada KUHP baru ini apabila terdapat pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, hakim harus mengutamakan keadilan, di mana keadilan adalah wujud dan nilai yang menjunjung tinggi norma, keseimbangan, dan pemerataan. Keadilan menurut hemat penulis adalah suatu rasa hati nurani yang dimiliki oleh hakim untuk menjatuhkan suatu putusan yang berkeadilan dengan berdasarkan kepastian hukum yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan dapat diterima oleh masyarakat. Dari beberapa literatur yang penulis ketahui bahwa tidak menemukan hierarki dalam asas-asas hukum, seharusnya tidak ada pembatasan antara asas keadilan hukum dan asas kepastian hukum dalam KUHP Nasional karena keduanya saling berkaitan dan tidak boleh menegasikan.
Berdasarkan uraian di atas ditarik permasalahan lebih lanjut yaitu bagaimanakah konsep kepastian hukum yang didambakan dalam KUHP Nasional yang menjadi tantangan dalam daya kinerja aparatur penegak hukum untuk mengimplementasikan KUHP Nasional, perlindungan hukum bagi hakim dalam memutus perkara, dan asas-asas hukum yang dipakai, sehingga tidak tumpang tindih dengan peraturan perundang-undangan lainnya. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran kepastian hukum yang didambakan bagi pencari keadilan.
Konsep Kepastian Hukum yang Didambakan dalam KUHP Nasional
Penegakan hukum pidana di Indonesia tidak hanya sekedar memeriksa dokumen-dokumen hukum, tetapi juga menciptakan kepastian hukum yang timbul dari adat istiadat Bangsa Indonesia. Dengan terbitnya UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP Nasional akan membawa satu perubahan paradigma pemidanaan di Indonesia, di mana KUHP lama merupakan warisan kolonial Belanda yang mengutamakan penghukuman atau retributif, sedangkan KUHP Nasional yang baru mengedepankan penegakan hukum yang rehabilitatif atau restoratif.
Untuk menjawab permasalahan di atas terhadap konsep kepastian hukum yang didambakan dalam KUHP Nasional, pelatihan teknis yudikatif kepada hakim perlu dilakukan agar hakim mempunyai kemampuan untuk menangani suatu perkara secara baik dan berkeadilan. Hal ini juga harus dijaga dan dibekali dengan integritas yang tinggi sehingga hakim tersebut tidak dapat melakukan transaksional dalam memutus perkara yang mengakibatkan ketidakpastian hukum, tidak mempunyai rasa keadilan dan tidak memiliki kemanfaatan hukum kepada masyarkat.
Dalam kerangka sistem peradilan pidana yang terdiri dari empat pilar utama yakni kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan, pemberlakuan Buku I KUHP Nasional menuntut adanya penyesuaian menyeluruh. Penyesuaian tersebut tidak hanya dalam aspek teknis hukum, melainkan juga menyangkut pembaharuan kurikulum pendidikan hukum, pelatihan aparat penegak hukum, serta digitalisasi proses peradilan pidana. Tanpa dukungan sistemik, ketentuan progresif dalam KUHP Nasional ini berpotensi stagnan atau bahkan menimbulkan disparitas hukum yang lebih besar.
Peninjauan terhadap asas-asas pemidanaan dalam Buku I KUHP menunjukkan pergeseran mendasar dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. KUHP Nasional memberikan dasar normatif bagi penerapan pidana dengan memperhatikan kondisi personel pelaku, tujuan pemidanaan, serta dampak sosial dari pidana yang dijatuhkan. Meskipun pendekatan ini menjanjikan sistem yang lebih manusiawi, pelaku juga akan menciptakan tantangan dalam konsistensi penerapan serta potensi penyalahgunaan diskresi oleh hakim tanpa standar panduan yang terukur.
Untuk itu, diperlukan pendekatan interpretatif baru dalam menerapkan Buku I KUHP Nasional, yaitu pendekatan integratif dan adaptif. Pendekatan ini menuntut sinergi antara nilai hukum nasional dan prinsip universal hak asasi manusia, serta mempertimbangkan dinamika sosial yang terus berkembang. Penegak hukum tidak hanya dituntut memahami teks hukum secara normatif, tetapi juga konteks dan tujuan dari ketentuan yang diberlakukan. Selain itu, Mahkamah Agung perlu mengeluarkan pedoman teknis guna menyeragamkan penerapan beberapa pasal kunci dalam Buku I, terutama yang bersifat multitafsir atau mengandung norma terbuka. [2]
KUHP Nasional yang baru memiliki salah satu aspek penting dari Buku I, yaitu pembaharuan terhadap asas legalitas yang tercantum dalam Pasal 1 dan dijelaskan pada Pasal 2. Di sini pengaturan mengenai hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) sebagai sumber hukum pidana. Dengan diakuinya hukum adat sebagai sumber hukum pidana positif, timbul pertanyaan tentang bagaimana kepastian hukum dapat dijalankan secara adil dan merata di seluruh wilayah Indonesia. Kekhawatiran terbesar terletak pada potensi ketidakpastian hukum dan ketimpangan penegakan hukum antar daerah, mengingat tidak adanya parameter yang seragam untuk menentukan kriteria hukum adat yang sah dan berlaku. Lebih lanjut pada Pasal 3 KUHP Nasional menjelaskan bahwa hukum pidana dapat berlaku surut sepanjang itu menguntungkan bagi pelaku dan pembantu tindak pidana, dalam hal apabila ada perubahan peraturan perundang-undangan sesudah perbuatan itu terjadi.
Buku I memperkenalkan sistem pemidanaan yang lebih modern melalui pendekatan keadilan restoratif, tercermin dalam ketentuan tentang pidana bersyarat, pidana pengawasan, dan pemulihan korban. Pendekatan ini secara teoritis mencerminkan paradigma baru dalam penegakan hukum pidana, yang berorientasi pada pemulihan dan reintegrasi sosial daripada semata-mata retributif. Namun, dalam praktiknya, perubahan ini masih menghadapi tantangan dari sisi kesiapan pengadilan, aparatur penegak hukum terutama hakim, serta mekanisme pelaksanaannya di lapangan. [3]
Untuk mewujudkan kepastian hukum yang didambakan oleh masyarakat, diharapkan kepada trias politika yaitu pemerintah/eksekutif, Mahkamah Agung/yudikatif, dan DPR/legislatif serta peran masyarakat sebagai pengawal untuk penerapan kepastian hukum tersebut dengan penegakan hukum yang mempunyai integritas dan kapasitas yang tinggi sehingga tidak dapat diintervensi dan dipengaruhi dalam menjatuhkan putusan, serta pengawasan yang melekat dari atasan langsung dan badan pengawasan, serta adanya monitoring dan evaluasi yang berkelanjutan terhadap kinerja hakim dan aparatur pengadilan sehingga menutup potensi penyalahgunaan kewenangan atau main perkara. Dukungan sarana dan prasarana yang lengkap dan teknologi informasi digital yang memudahkan akses sistem informasi pelayanan di pengadilan oleh masyarakat pencari keadilan.
Hakim harus diberi keleluasaan dalam mengimplementasikan KUHP Nasional. Selain itu harus adanya perlindungan bagi hakim dalam memutus perkara yang barangkali dapat mengancam keluarga dan anak-anaknya. KUHP Nasional tanpa nilai kepastian akan kehilangan makna karena tidak dapat lagi digunakan sebagai pedoman perilaku yang netral bagi setiap orang. Kepastian sendiri disebut sebagai salah satu tujuan dari hukum. [4]
Hukum itu positif, artinya bahwa hukum positif itu adalah perundang-undangan yang berlaku. Pemberlakukan KUHP Nasional nantinya harus didasarkan pada fakta, artinya didasarkan pada kenyataan untuk mewujudkan keadilan bagi korban dan pelaku, bukan semata-mata kepentingan. Bahwa fakta harus dirumuskan dengan cara yang jelas, sehingga menghindari kekeliruan dalam pemaknaan di masyarakat. Di samping mudah dilaksanakan oleh hakim, KUHP Nasional juga tidak boleh mudah diubah atau direvisi oleh kepentingan politik.
Masyarakat akan sangat terpukau apabila aparat penegak hukum melaksanakan KUHP Nasional berdasarkan hati nuraninya, khususnya hati nurani hakim. Masyarakat pada prinsipnya menyetujui muatan isi KUHP Nasional jika itu disesuaikan dengan perilaku masyarakat terhadap aturan-aturan tersebut yang memberikan kemanfaatan hukum dan kedamaian dalam bermasyarakat. Kepastian juga tercermin pada putusan pengadilan yang diterapkan secara konkret dan dihormati masyakarat. [5]
Dengan kata lain, KUHP Nasional khususnya Buku I memerlukan konsistensi hukum yang matang agar penerapannya efektif dan tidak menimbulkan ketidakpastian hukum. Reformasi struktural dalam sistem peradilan pidana, penguatan literasi hukum bagi masyarakat, serta keberanian untuk mengutamakan rasa keadilan dibandingkan dengan kepastian akan menjadi langkah-langkah penting untuk memastikan bahwa KUHP Nasional ini benar-benar menjadi pijakan menuju sistem hukum pidana yang adil, manusiawi, dan berkeadilan sosial.
Kesimpulan
Kepastian hukum yang didambakan yaitu terciptanya kesinambungan hukum antara KUHP Nasional dengan pelaksanaan yang diterapkan oleh penegak hukum, dengan mewujudkan rasa adil, transparansi, dan menciptakan putusan hakim yang dapat diterima oleh masyarakat, agar setiap individu hidup dengan rasa aman dan dilindungi hak-haknya. Kepastian hukum dalam konteks KUHP Nasional penting untuk menciptakan sistem peradilan pidana yang diterapkan secara konsisten, berkeadilan, bermoral, beretika, dan tidak membedakan status sosial si miskin dan si kaya, serta penegakan hukum yang berintegritas dan berkualitas.
Referensi
[1] M. Mulyadi, dkk. "Analisis Perbedaan Tindak Pidana Pencurian Pada KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) Baru dan Lama." Media Hukum Indonesia (MHI), Vol. 2, No. 3, 2024, doi: https://doi.org/10.5281/zenodo.11541689
[2] L. Mulyadi, Wajah Sistem Peradilan Pidana Anak Indonesia. Bandung: Alumni, 2023.
[3] S. Sunarso, Viktimologi dalam sistem peradilan pidana. Jakarta: Sinar Grafika, 2022.
[4] R. S. Nugraha, E. Rohaedi, N. Kusnadi, dan A. Abid, “The Transformation of Indonesia’s Criminal Law System: A Comprehensive Comparative between the Old and New Penal Codes”, Reformasi Hukum, Vol. 29, No. 1, Apr. 2025, doi: https://doi.org/10.46257/jrh.v29i1.1169
[5] P. Malau, “Tinjauan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Baru 2023”, Almanhaj, Vol. 5, No. 1, pp. 837–844, Jun. 2023, doi: https://doi.org/10.37680/almanhaj.v5i1.2815