Latar Belakang
Pertanggungjawaban pidana korporasi merupakan salah satu aspek penting dalam hukum pidana modern yang juga berkembang seiring dengan meningkatnya kompleksitas kejahatan yang melibatkan entitas berbadan hukum. Meskipun secara tradisional subjek hukum pidana adalah manusia, perkembangan hukum pidana kontemporer menuntut pengakuan terhadap korporasi sebagai pelaku tindak pidana yang dapat menimbulkan kerugian besar bagi masyarakat. Dalam konteks ini, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Nasional) hadir sebagai kodifikasi hukum pidana nasional yang secara eksplisit mengatur pertanggungjawaban pidana korporasi, khususnya dalam Buku I. Ketentuan Pasal 45 sampai 50 KUHP Nasional menegaskan bahwa korporasi dapat dijatuhi pidana atas tindakan yang dilakukan oleh organ atau pengurusnya, dan memuat bentuk pertanggungjawaban serta jenis pidana yang dapat dikenakan.Hal ini menandai pergeseran paradigma hukum pidana Indonesia menuju sistem yang lebih adaptif terhadap kompleksitas kejahatan modern.
Namun, meskipun secara normatif pengaturan ini merupakan kemajuan, masih terdapat sejumlah persoalan hukum dalam rumusan pertanggungjawaban pidana korporasi di KUHP Nasional. Salah satunya adalah ketidakjelasan frasa “atas nama atau untuk kepentingan korporasi” dalam menentukan ruang lingkup tanggung jawab pidana. Kesenjangan hukum tersebut menunjukkan bahwa meskipun pengaturan telah ada, masih diperlukan kajian kritis untuk menilai sejauh mana efektivitas pengaturan pertanggungjawaban pidana korporasi dalam KUHP Nasional. Oleh karena itu, tulisan ini akan menjawab tiga rumusan masalah: pertama, bagaimana pengaturan pertanggungjawaban pidana korporasi dalam Buku I KUHP Nasional? Kedua, apa saja permasalahan hukum yang timbul dari formulasi ketentuan tersebut? Ketiga, bagaimana seharusnya konsep pertanggungjawaban pidana korporasi diterapkan agar selaras dengan prinsip keadilan dan efektivitas dalam sistem peradilan pidana? Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis dasar normatif pertanggungjawaban pidana korporasi dalam KUHP Nasional, mengidentifikasi kelemahan substansial dalam perumusannya, serta merumuskan konsep ideal penerapan yang dapat memperkuat sistem peradilan pidana nasional.
Pengaturan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam KUHP Nasional
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional yang disahkan melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 merupakan tonggak penting dalam kodifikasi hukum pidana Indonesia. Salah satu inovasi yang dihadirkan dalam Buku I KUHP adalah pengaturan yang tegas mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi. Ketentuan ini tercermin dalam Pasal 45 sampai dengan Pasal 50, yang menyatakan bahwa korporasi dapat dijatuhi pidana atas perbuatan yang dilakukan oleh pengurus atau organ korporasi, sepanjang tindakan tersebut dilakukan untuk kepentingan atau atas nama korporasi. KUHP Nasional juga mengakui bahwa selain korporasi, pertanggungjawaban pidana juga dapat dijatuhkan kepada pengurus, baik secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri.
KUHP Nasional secara eksplisit menyebutkan bahwa bentuk pidana terhadap korporasi dapat berupa pidana pokok (misalnya denda) maupun pidana tambahan, seperti pencabutan izin, perampasan keuntungan, hingga pengumuman putusan pengadilan . Ketentuan ini menunjukkan upaya hukum pidana Indonesia untuk membangun sistem pertanggungjawaban pidana yang komprehensif. Namun, meskipun secara normatif ketentuan ini bersifat progresif, terdapat sejumlah aspek yang masih membutuhkan penajaman. Misalnya, KUHP Nasional belum secara rinci mengatur standar pembuktian dalam perkara korporasi atau kriteria objektif untuk menentukan kapan sebuah perbuatan dianggap sebagai tindakan yang “untuk kepentingan korporasi.”
Problematika Hukum dalam Formulasi Pertanggungjawaban Pidana Korporasi
Perumusan sejumlah ketentuan pertanggungjawaban pidana korporasi dalam KUHP Nasional masih mengandung ambiguitas yang dapat menimbulkan persoalan dalam penerapan hukum pidana di lapangan. Salah satu frasa yang sering dipersoalkan adalah "untuk kepentingan korporasi" yang tercantum dalam Pasal 45. Frasa ini belum diberikan definisi atau kriteria objektif yang jelas, sehingga membuka ruang multitafsir dalam proses pembuktian. Tanpa kejelasan batasan tersebut, akan sulit untuk membedakan antara tindakan pribadi pengurus dan tindakan yang benar-benar merepresentasikan kepentingan korporasi.
Permasalahan berikutnya muncul dalam aspek teknis pembuktian. KUHP Nasional tidak mengatur secara spesifik beban pembuktian yang berlaku dalam perkara korporasi, khususnya dalam menentukan keterlibatan organ perusahaan atau sejauh mana pengurus bertanggung jawab secara pidana atas nama badan hukum tersebut. Hal ini berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum, karena pembuktian dalam kasus kejahatan korporasi sering kali membutuhkan rekonstruksi kompleks atas hubungan tanggung jawab internal dan proses pengambilan keputusan dalam tubuh korporasi. Tanpa standar pembuktian yang jelas, jaksa penuntut dapat mengalami kesulitan dalam membuktikan niat jahat atau unsur kesalahan (mens rea) yang dilakukan oleh korporasi melalui para pengurusnya. KUHP belum secara eksplisit mengatur prinsip pertanggungjawaban secara terpisah (individual) dan kolektif (korporasi), sehingga berisiko menimbulkan konflik interpretasi antara tanggung jawab pribadi pelaku dan tanggung jawab institusional badan hukum.
Perbandingan Hukum Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Dunia
Sistem hukum Kanada telah mengadopsi prinsip yang lebih rinci dalam mengaitkan kesalahan individu dengan tanggung jawab korporasi melalui doktrin identification theory yang dikombinasikan dengan due diligence defence, sehingga tidak serta merta membebani perusahaan atas setiap kesalahan pengurusnya, melainkan menilai struktur kontrol internal yang dimiliki perusahaan. Model seperti ini menunjukkan bahwa formulasi yang presisi dan kontekstual sangat penting agar pertanggungjawaban pidana korporasi tidak sekadar menjadi simbol hukum, melainkan mampu memberikan kepastian hukum dan keadilan substantif.
Lebih lanjut dalam sistem hukum pidana di Amerika Serikat atau dikenal sebagai Model Penal Code yang mana korporasi dianggap sebagai subjek hukum pidana pada bagian General Definition yang menyebutkan "person, he, and actor, include any natural person and where relevant, a corporation or an unicorporation association". Sistem hukum ini menganut ajaran peralihan beban pidana seseorang pada orang lain. Misalnya seorang pemberi kuasa bertanggungjawab atas perbuatan yang dilakukan oleh penerima kuasa. Sementara itu dalam tindak pidana yang melibatkan korporasi, pengadilan federal di Amerika Serikat menerapkan prinsip vicarious liability yang mana korporasi bertanggungjawab atas perbuatan bawahannya selama perbuatan itu berkaitan dengan fungsi korporasi. Perbuatan-perbuatan tersebut harus telah terbukti menimbulkan gangguan publik (public nuisance) dan/atau telah merusak nama baik orang lain (criminal libel). Sedangkan pada kasus yang berkaitan dengan lingkungan, Pengadilan Federal Amerika Serikat menggunakan prinsip strict liablity yang memungkinkan pertanggungjawaban langsung diserahkan pada korporasi tanpa penyelidikan kesalahan lebih lanjut asalkan telah terbukti adanya kerusakan alam. Artinya dalam melihat pertanggungjawaban korporasi, Amerika Serikat membedakan tingkat keseriusan atas akibat yang ditimbulkan dari suatu tindakan korporasi.
Model Ideal Penerapan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia
Penerapan pertanggungjawaban pidana korporasi dalam sistem peradilan pidana Indonesia idealnya tidak hanya bertumpu pada aspek formil-normatif semata, tetapi juga perlu mempertimbangkan prinsip keadilan, efektivitas, dan konteks sosial ekonomi korporasi sebagai entitas. Ketentuan dalam KUHP Nasional yang mengatur bentuk pidana korporasi seperti denda dan pidana tambahan seperti pembekuan izin dan pencabutan hak usaha. perlu diiringi dengan pendekatan penegakan hukum yang lebih substantif dan proporsional. Hal ini untuk menghindari dualisme antara norma hukum yang progresif dengan penerapan yang stagnan atau bahkan diskriminatif di tingkat praktik.
Salah satu pendekatan yang dapat dipertimbangkan dalam penerapan ideal adalah penerapan model kombinasi antara strict liability dan vicarious liability. Strict liability memungkinkan penjatuhan pidana kepada korporasi tanpa perlu membuktikan unsur kesalahan (mens rea) dari pengurus, sehingga efektif untuk kejahatan korporasi yang sulit dilacak aktor utamanya, seperti pencemaran lingkungan dan pelanggaran ketenagakerjaan. Sementara itu, vicarious liability memungkinkan korporasi dipidana atas tindakan individu yang berada dalam kontrol atau otoritasnya, selama tindakan tersebut dilakukan dalam rangka menjalankan fungsi korporasi.
Model ideal juga perlu memperhitungkan aspek restorative justice dalam konteks korporasi. Sanksi yang dijatuhkan terhadap korporasi sebaiknya tidak semata-mata bersifat represif, tetapi juga mampu mengembalikan kerugian masyarakat atau memperbaiki dampak sosial yang ditimbulkan. Seperti yang dilakukan oleh Amerika Serikat pada kasus kejahatan lingkungan, korporasi dapat diwajibkan melakukan pemulihan lingkungan sebagai bagian dari hukuman. Dengan demikian, pertanggungjawaban pidana korporasi tidak hanya menegakkan hukum secara formal, tetapi juga memberikan kontribusi nyata bagi keadilan sosial.
Penutup
Pertanggungjawaban pidana korporasi dalam KUHP Nasional yang diatur dalam Buku I Pasal 45 hingga Pasal 50 merupakan langkah progresif dalam sistem hukum pidana Indonesia. Pengakuan korporasi sebagai subjek hukum pidana menandai transformasi penting dalam respons hukum terhadap kejahatan korporasi, serta memberikan fondasi normatif bagi penegakan hukum yang lebih adaptif terhadap perkembangan zaman. Meskipun demikian, pengaturan ini masih menghadirkan sejumlah permasalahan hukum, terutama terkait ambiguitas rumusan norma, ketidakjelasan mekanisme pembuktian, dan potensi tumpang tindih tanggung jawab antara korporasi dan pengurusnya.
Permasalahan tersebut menunjukkan bahwa penerapan pertanggungjawaban pidana korporasi belum sepenuhnya menjamin efektivitas dan kepastian hukum dalam praktik. Oleh karena itu, perlu adanya pendekatan konseptual yang lebih ideal dalam penerapan ketentuan ini, termasuk melalui penguatan model strict liability dan vicarious liability, harmonisasi dengan regulasi sektoral, serta penerapan mekanisme yang memperhatikan aspek keadilan substantif dan pemulihan kerugian masyarakat. Kajian ini menunjukkan bahwa keberhasilan pertanggungjawaban pidana korporasi tidak hanya ditentukan oleh adanya norma hukum, tetapi juga oleh sejauh mana norma tersebut dapat diterapkan secara adil, efektif dan kontekstual dalam sistem peradilan pidana Indonesia.
Referensi
[1] M. I. Nasution, M. Ali, dan F. Lubis, “Pembaruan Sistem Pemidanaan di Indonesia: Kajian Literatur atas KUHP Baru,” Judge : Jurnal Hukum, vol. 05, 2024, doi: 10.54209/judge.v5i02.xxx.
[2] “UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2023 TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA.”
[3] H. Satria, “Pembuktian Kesalahan Korporasi dalam Tindak Pidana Korupsi,” vol. 4, no. 2, 2018.
[4] M. I. Baiquni, S. E. Adiyatma, A. D. Saputri, R. Julianto, R. Arifin, dan N. Fibrianti, “Criminalization Arrangements for Corporations (Comparative Study of Indonesia and Australia),” Unnes Law Journal, vol. 9, no. 2, hlm. 489–508, Okt 2023, doi: 10.15294/ulj.v9i2.74129.
[5] “Model Penal Code § 1.13,” 2017.
[6] “COMPREHENSIVE ENVIRONMENTAL RESPONSE, COMPENSATION, AND LIABILITY ACT OF 1980 “SUPERFUND,” 2013.