Latar Belakang
Salah satu tujuan pemidanaan menurut Pasal 51 KUHP Nasional adalah menanamkan rasa penyesalan kepada terpidana agar tidak mengulangi tindak pidana dan dapat kembali berintegrasi dalam kehidupan sosial. Tujuan ini menuntut pertimbangan hakim yang cermat agar pemidanaan tepat sasaran. Penjatuhan pidana yang terlalu berat tidak sejalan dengan asas dalam Pasal 70 KUHP Nasional yang mendorong penjatuhan pidana alternatif seperti pidana pengawasan, denda, kerja sosial, atau tindakan. Sebaliknya, sanksi yang terlalu ringan juga tidak efektif dalam menumbuhkan rasa penyelesan yang dapat berujung pada pengulangan tindak pidana (residivisme). Terlebih lagi pengertian residivisme dalam Pasal 23 KUHP Nasional mengalami perluasan yang tidak lagi terbatas pada pidana yang sejenis melainkan bersifat umum.
Perubahan konsep baru dalam KUHP Nasional yang memuat tujuan dan pedoman pemidanaan memerlukan kajian lebih lanjut yang akan dibahas dalam tiga permasalahan pokok, yaitu: Pertama, bagaimana pergeseran paradigma pemidanaan dalam KUHP Nasional mengalihkan orientasi dari pendekatan retributif menuju pendekatan reintegratif? Kedua, bagaimana konstruksi pemidanaan yang tepat sesuai KUHP Nasional untuk menjatuhkan putusan yang proporsional dan berkeadilan? Ketiga, bagaimana peran hakim dalam mengawal penerapan KUHP Nasional agar pidana dijatuhkan sesuai dengan tujuan pemidanaan? Penelitian ini bertujuan menjabarkan paradigma baru sistem pemidanaan dalam KUHP Nasional yang berorientasi pada pemulihan dan reintegrasi sosial pelaku; memetakan formula pemidanaan yang proporsional dan berkeadilan; serta menjelaskan peran sentral hakim dalam mengawal implementasi paradigma baru KUHP Nasional.
Pergeseran Paradigma Pemidanaan dalam KUHP Nasional: Dari Pendekatan Retributif ke Reintegratif
KUHP lama tidak mengenal konsep tujuan maupun pedoman pemidanaan, serta tidak memberikan ruang bagi alternatif pidana pokok seperti pengawasan, denda atau kerja sosial. Meski Perma 1 Tahun 2024 tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif membawa pendekatan reintegratif melalui mekanisme pengurangan masa pidana penjara atau penggunaan pidana pengawasan, namun cakupannya belum sepenuhnya mencerminkan prinsip-prinsip progresif KUHP Nasional. Pertama, penjatuhan pidana penjara berdurasi pendek justru bertentangan dengan Pasal 71 ayat (1) KUHP Nasional. Kedua, alternatif pemidanaannya terbatas pada pidana pengawasan, tanpa mengakomodasi pilihan lain seperti pidana denda atau kerja sosial. Ketiga, belum ada kesepahaman mengenai mekanisme penjatuhan putusan lepas atas dasar perdamaian para pihak.
Merumuskan Konstruksi Pemidanaan Proporsional dan Berkeadilan dalam KUHP Nasional
Pemahaman menyeluruh terhadap ketentuan tersebut penting agar pedoman pemidanaan tidak berhenti pada tataran teoritik, melainkan menjadi panduan konkret bagi hakim untuk memutus perkara yang sejalan dengan empat tujuan pemidanaan sebagaimana Pasal 51. Tantangan berikutnya adalah menjaga konsistensi penerapannya dalam proses persidangan, karena di titik inilah hakim memegang peran strategis mengawal pergeseran paradigma hukum pidana nasional.
Peran Epistemik Hakim dalam Mengawal Transformasi Sistem Pemidanaan
Transformasi sistem pemidanaan dalam KUHP Nasional menuju pendekatan adil dan proporsional memerlukan komitmen dari seluruh aparatur penegak hukum dalam sistem peradilan pidana, khususnya hakim, yang memegang peran sentral dalam mewujudkan keadilan di persidangan. Beberapa peran kunci hakim dapat dijabarkan sebagai berikut:
Ketiga, hakim sebagai ujung tombak sistem peradilan memikul tanggungjawab intelektual untuk menanamkan paradigma bahwa pengadilan bukan semata-mata sebagai institusi penghukuman, melainkan juga sebagai sarana pembinaan pelaku, pemulihan korban, dan reintegrasi sosial ke dalam masyarakat.
Keempat, ketegasan hakim menjatuhkan putusan yang proporsional dan humanis tercermin melalui pemanfaatan opsi non-pemenjaraan sesuai Pasal 70 ayat (1) dan (2) KUHP Nasional. Pemilihan jenis pidana ini menandai keterlibatan aktif dan progresif hakim dalam menggeser dominasi pidana penjara, yang selama ini menjadi bentuk pemidanaan utama dalam praktik KUHP lama, menuju pendekatan yang lebih reintegratif.
Dalam implementasi KUHP Nasional, peran epistemik hakim menjadi kunci keberhasilan transformasi pemidanaan. Konstruksi pemidanaan yang adil dan proporsional tidak cukup dicapai dengan sekadar menjalankan norma secara tekstual, melainkan menuntut hakim untuk secara aktif menanamkan paradigma baru sitem pemidanaan ke dalam kesadaran hukum masyarakat.
Penutup
Berdasarkan kajian terhadap tiga rumusan masalah, dapat disimpulkan bahwa pergeseran paradigma pemidanaan dalam KUHP Nasional membawa perubahan mendalam dari pendekatan retributif menuju pendekatan yang lebih restoratif dan proporsional, dengan keadilan sebagai prioritas utama. Penerapan pedoman pemidanaan oleh hakim harus mencerminkan prinsip-prinsip yang mengedepankan pertimbangan terhadap faktor personal pelaku serta berorientasi pada koreksi serta reintegrasi sosial. Peran hakim sebagai agen transformasi hukum juga sangat sentral dalam menginternalisasi perubahan ini dan memastikan implementasi KUHP Nasional yang berkeadilan, tidak hanya sebagai pelaksana norma, tetapi juga sebagai protagonis epistemik yang mensosialisasikan perubahan nilai kepada masyarakat.
Referensi
[2] Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, “Data Sistem Database Pemasyarakatan (SDP),” Ditjen PAS, 2025. [Online]. Available: https://sdppublik.ditjenpas.go.id/. [Accessed: 15-Apr-2025].
[3] F. Hikmah and R. A. Agustian, “Konvergensi konsep retribusi dan rehabilitasi dalam filsafat hukum pidana kontemporer Indonesia,” JURNAL CREPIDO, vol. 5, no. 2, pp. 217–228, Nov. 2023.
[4] M. Zuhal, Q. L. Lathof, and S. Fitriasih, “Proyeksi konsep pedoman pemidanaan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia: Telaah perbandingan hukum dengan Amerika Serikat,” Nagari Law Review, vol. 7, no. 3, pp. 466–485, Apr. 2024.
[5] M. Zahlan and Z. Arief Fakrulloh, “Update on the Functionalization of Sentencing Guidelines in the Criminal Law System in Indonesia,” Asian J. Soc. Humanit., vol. 2, no. 9, pp. 2007–2015, 2024, doi: 10.59888/ajosh.v2i9.333.
[6] G. Radbruch, “Gustav Radbruch : Gesetzliches Unrecht und übergesetzliches Recht,” Süddeutsche Juristenzeitung, vol. 1, no. 1946, pp. 105–108, 1946.
[7] A. P. Rani and S. Slamet, “Implementasi penilaian risiko dan penilaian kebutuhan narapidana berdasarkan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI No. 12 Tahun 2013 tentang Asesmen Risiko dan Asesmen Pemasyarakatan (Studi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Wirogunan Yogyakarta),” Recidive, vol. 7, no. 2, pp. 211–220, 2018.