Latar Belakang Masalah
Pada Pasal 54 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023, dikenal dengan konsep Pemaafan Hakim. Secara expressis verbis ketentuan Pasal 54 ayat (2) KUHP memaparkan, ”ringannya perbuatan, keadaan pribadi pelaku, atau keadaan pada waktu dilakukan tindak pidana serta yang terjadi kemudian dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana atau tidak mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan”.
Menurut Penulis, 3 (tiga) kasus tersebut diatas meskipun tindak pidana ringan namun merupakan Putusan Pemidanaan bukan merupakan konsep putusan Pemaafan Hakim, karena Para Terdakwa tersebut diatas masih dijatuhi pidana, meskipun pidana bersyarat. Menurut Penulis, Terdakwa yang dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana yang sifatnya ringan tetapi Terdakwa tidak dikenakan pidana penjara, kurungan, denda maupun tindakan termasuk pidana bersyarat.
Konsep Pemaafan Hakim berasal dari Negara Belanda dengan merevisi WvS Nederland dan memasukkannya dalam Pasal 9a. Beberapa Negara yang telah menggunakan Konsep Pemaafan Hakim adalah Belanda, Yunani, Portugal serta Uzbekistan. Tujuan konsep Pemaafan Hakim ialah guna memberikan rasa keadilan kepada pelaku tindak pidana yang sifatnya ringan sehingga pemidanaan tidak merendahkan martabat manusia namun hakim wajib menegakan hukum dan keadilan. Dimana pemidanaan merupakan ultimum remedium atay upaya terakhir pada penegakan hukum. Selain itu dengan Konsep Pemaafan Hakim untuk mengurangi overcapacity di Lembaga Pemasyarakatan yang selama ini terjadi.
Dalam Pasal 51 sampai 53 KUHP Nasional. Tujuan pemidanaan salah satunya adalah menimbulkan rasa penyesalan serta membebaskan rasa bersalah terhadap pelaku. Pemidanaan bukan ditujukan guna merendahkan manusia. Kemudian ketika memeriksa suatu kasus pidana, hakim harus menegakkan keadilan serta hukum. Apabila ketika menegakkan hukum serta keadilan didapati perbedaan diantara keadilan serta kepastian hukum, hakim wajib mendahulukan keadilan. Berpijak dari kepastian hukum dan keadilan sebagaimana tersebut diatas, sehingga Penulis mengambil judul Konsep Pemaafan Hakim (Rechterlijk Pardon) Dalam Pembaharuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional.
Berdasar pada latar belakang tersebut, sehingga menghasilkan rumusan masalah, yaitu: Bagaimana Ratio legis dimasukkannya konsep pemaafan hakim dalam KUHP Nasional. Kemudian bagaimana harmonisasi konsep pemaafan hakim dalam KUHP Nasional dengan Rancangan KUHAP.
Penelitian pada makalah ini penulis merumuskan tujuan penelitian sebagai beriku untuk menemukan Ratio legis dimasukkannya konsep pemaafan hakim pada KUHP Nasional serta untuk menemukan harmonisasi konsep pemaafan hakim dalam KUHP Nasional dengan Rancangan KUHAP.
Ratio legis dimasukkannya konsep pemaafan hakim dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional.
Landasan filosofis terdapat pada Pancasila yaitu sila kedua berbunyi kemanusiaan yang adil dan beradab. Sila itu mendasarkan setiap orang mempunyai harkat serta martabat yang sama, dengan memperlakukan orang secara sama tanpa memperhatikan suku, agama, ras dan golongan. Kemudian sejalan dengan Pasal 52 dan Pasal 53 KUHP Nasional, dimana Pemidanaan tidak ditujukan guna merendahkan martabat manusia. Ketika memeriksa kasus pidana hakim harus menegakkan keadilan serta hukum. Apabila ketika menegakkan keadilan seta hukum didapati perbedaan diantara keadilan dengan kepastian hukum, hakim harus mendahulukan keadilan. Kemudian landasan sosiologis, dimana karakteristik budaya masyarakat Indonesia yang sejak dahulu sampai dengan sekarang sudah mengakar dengan kuat yakni sifat yang saling memaafkan terhadap sesama sebagai wujud empati dan segera menyelesaikan masalah dengan didasari nilai nilai luhur yakni norma agama dan norma sosial budaya.
Selanjutnya landasan yuridis termuat pada Pasal 54 ayat (2) KUHP, mengenal konsep Pemaafan Hakim. Pada Pasal 54 ayat (2) KUHP menerangkan, ” ringannya perbuatan, keadaan pribadi pelaku, atau keadaan pada waktu dilakukan tindak pidana serta yang terjadi kemudian dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana atau tidak mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan”. Kemudian Konsep Pemaafan Hakim berasal dari Negara Belanda dengan merevisi Wetbook van Strafrecht Nederland serta memasukan pada Pasal 9a.
Harmonisasi konsep pemaafan hakim (rechterlijk pardon) dalam KUHP Nasional dengan Rancangan KUHAP.
Bahwa di Negara Belanda untuk konsep Pemaafan Hakim selain diatur dalam hukum pidana materiil serta pidana formil, karena di Negara Belanda mengenal 4 jenis putusan sebagai berikut: putusan pemidanaan, putusan bebas, putusan lepas, dan putusan pemaafan. KUHP yang berlaku sekarang (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946) termasuk KUHAP sama sekali tidak mengatur mengenai konsep Pemaafan Hakim, sehingga ada kekosongan norma. Selama ini Hakim dalam menjatuhkan Putusan Perkara Pidana terhadap Terdakwa mengenal 3 bentuk Putusan, sebagai berikut: putusan pemidanaan, putusan bebas, serta putusan lepas.
Penutup
Kesimpulan dari hasil kajian yakni ratio legis dimasukkannya konsep pemaafan hakim dalam KUHP Nasional. Landasan filosofis terdapat pada sila kedua Pancasila dan Pasal 52 dan Pasal 53 KUHP Nasional. Kemudian landasan sosiologis, dimana karakteristik budaya masyarakat Indonesia yang sejak dahulu sampai dengan sekarang sudah mengakar dengan kuat yakni sifat yang saling memaafkan. Landasan yuridis terdapat dalam Pasal 54 ayat (2) KUHP Nasional dan berasal dari Negara Belanda dengan merevisi WvS Nederland dan memasukkannya dalam Pasal 9a. Kemudian Harmonisasi konsep pemaafan hakim dalam KUHP Nasional dengan Rancangan KUHAP. Sehingga pengaturan terhadap Pemaafan Hakim tidak bisa hanya termuat pada KUHP Nasional hanya mengatur hukum pidana materil, namun pengaturan Pemaafan Hakim harus diharmonisasikan dengan Rancangan KUHAP, sehingga adanya kepastian hukum.
Referensi
[1] A. Rusianto, Tindak Pidana & Pertanggungjawaban Pidana : Tinjauan Kritis Melalui Konsistensi Antara Asas Teori dan Penerapannya. Jakarta: Kencana, 2016.
[2] A. Anwar, “Harmonisasi Konsep Pemafaan Hakim (Rechterlijk Pardon) dalam Rancangan KUHAP,” 2025, [Online]. Available: https://dandapala.com/article/detail/harmonisasi-konsep-pemaafan-hakim-recterlijk-pardon-dalam-rancangan-kuhap
[3] S. Rahardjo, Sisi-Sisi Lain dari Hukum di Indonesia. Jakarta: Kompas, 2003.
[4] C. Huda, Tiada pidana tanpa kesalahan. 2013.
[5] A. Anwar, “Pemaafan Hakim (Rechterlijk Pardon) Dalam Hukum Pidana Dan Pemidanaan Dalam Perspektif Pancasila,” Fak. Huk. Univ. 17 Agustus 1945 Surabaya, pp. 33–54, 2024.