KETIKA VONIS DIPERTANYAKAN: PEDOMAN PEMIDANAAN SEBAGAI UPAYA MEWUJUDKAN KETERJELASAN PUTUSAN HAKIM

13 August 2025 | Natanael
Natanael

format_quote

Latar Belakang

Hakim adalah pemikul mandat yudikatif yang independen [1]. Namun, independensi tersebut sering memunculkan persoalan akuntabilitas dalam praktiknya [2]. Menurut Kitab Undang-undang Hukum Pidana peninggalan kolonial (“KUHP”), kebebasan hakim memutus perkara pidana hanya dibatasi oleh surat dakwaan dan pembuktian di persidangan [3]. Lebih lanjut, KUHP mengatur ketentuan pidana penjara waktu tertentu dimulai dari 1 (satu) hari hingga maksimal 15 (lima belas) tahun [4]. Artinya, jika pasal yang didakwakan merupakan pasal yang hanya mengatur ancaman pidana penjara maksimal tanpa ketentuan pidana minimum khusus (e.g., Pasal 362 KUHP), secara normatif, hakim berwenang untuk menjatuhkan pidana penjara mulai dari 1 (satu) hari, sedangkan KUHP tidak mengatur secara komprehensif mengenai apa saja hal yang perlu dipertimbangkan hakim dalam menjatuhkan pidana [5].

Kebebasan hakim ini tidak jarang memicu kontroversi sehubungan disparitas putusan [6]. Ketika hakim menghukum seorang terdakwa dugaan tindak pidana perjudian dengan pidana penjara 10 (sepuluh) bulan, timbul pertanyaan, mengapa hukuman tersebut pantas untuk dijatuhkan sedangkan perbuatan tersebut diancam dengan pidana penjara maksimal 10 (sepuluh) tahun? Pertanyaan berikutnya, mengapa di pengadilan lain ada yang dijatuhi pidana penjara 5 (lima) bulan untuk tindak pidana yang identik?

Sehubungan dengan hal tersebut, penulis akan membahas tiga permasalahan pokok, yaitu: Pertama, apa fungsi pedoman pemidanaan bagi hakim? Kedua, bagaimanakah eksistensi pedoman pemidanaan bagi hakim dalam menjatuhkan pidana setelah dan sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP Nasional”)? Ketiga, bagaimana potensi penerapan pedoman pemidanaan sesuai KUHP Nasional? Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis manfaat pedoman pemidanaan sehingga diharapkan ada standar bagi hakim untuk menjatuhkan pidana.

Fungsi Pedoman Pemidanaan Sebagai Upaya Mewujudkan “keterjelasan” Putusan Hakim

Untuk menjaga akuntabilitas, penting agar hakim dapat menjelaskan putusan yang dijatuhkan secara koheren untuk meningkatkan penerimaan publik meskipun putusan yang dijatuhkan berbeda antara satu dengan lainnya [7]. Penulis menggunakan istilah “keterjelasan” sebagai padanan kata dari “explainability”, dimana penulis ingin menjelaskan bagaimana putusan hakim harus mempunyai sifat dapat dijelaskan kepada masyarakat. Penggunaan kata “explainability” di dunia peradilan dewasa ini sebetulnya muncul dengan adanya teknologi kecerdasan artifisial (“AI”) yang mulai digunakan oleh lembaga peradilan di berbagai negara, dimana salah satu isu penggunaannya di lembaga peradilan adalah mengenai kemampuan AI dalam menjelaskan keputusan-keputusannya [8].

Studi keterjelasan putusan hakim telah lama dibahas oleh Hobbes, Kant, dan Rousseau, lalu dikembangkan lagi oleh Rawls dan Dworkin di era modern [9]. Dworkin [10], sebagai contoh, dengan pemikiran law as integrity-nya berpendapat bahwa putusan dengan legal reasoning yang kuat tidak hanya harus koheren dengan sistem hukum, namun juga harus mempunyai justifikasi yang berorientasi pada hak-hak manusia. Rawls [11] dengan reflective equilibrium-nya juga menjelaskan mengenai pentingnya keseimbangan antara prinsip-prinsip keadilan dengan intuisi moral, sebagai dasar untuk menghasilkan putusan yang tidak hanya rasional, tetapi juga dapat diterima secara moral. Baik Dworkin dan Rawls menolak pendekatan posivistik, melainkan keduanya sepakat bahwa hukum harus diterapkan secara rasional dengan pendekatan moral untuk mencapai keadilan substantif. Dengan demikian, putusan-putusan pidana yang dijatuhkan oleh hakim harus inherently capable untuk menjelaskan kepada publik mengenai alasan-alasan pemidanaannya. Keterjelasan mengenai putusan hakim ini dapat diwujudkan melalui pedoman pemidanaan untuk memudahkan publik dalam memahami substansi putusan pidana.

Berbagai negara menerapkan pedoman pemidanaan dengan model berbeda. Di Amerika, ada United States Sentencing Guidelines (USSG) yang dibuat oleh Sentencing Commission [12]. Di Inggris dan Wales, ada pedoman pemidanaan serupa yang dibuat oleh Sentencing Council for England and Wales sebagai lembaga independen di bawah Ministry of Justice [13]. Pengadilan di negara-negara Eropa daratan umumnya menerapkan proportionality assessment dimana putusan-putusan yang dijatuhkan pengadilan harus perpedoman kepada nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Eropa [14]. Seluruh model pedoman pemidanaan tersebut bertujuan untuk meningkatkan pemahaman dan penerimaan publik atas putusan pemidanaan.

Menurut Mulyadi et al. [15], pedoman pemidanaan merupakan alat pengaman bagi hakim agar dapat menjatuhkan pidana secara lebih adil, arif, manusiawi, dan proporsional dengan kesalahan terdakwa. Pertimbangan hakim yang dipandu pedoman pemidanaan akan memberikan transparansi dan akuntabilitas penjatuhan pidana sehingga subjektivitas hakim dalam menetapkan bobot serta tujuan pemidanaan dapat diuraikan secara rasional dan konsisten. Lebih jauh, pedoman ini juga berpotensi sebagai indikator untuk mengukur integritas hakim.

Eksistensi Pedoman Pemidanaan Setelah dan Sebelum KUHP Nasional

Pedoman pemidanaan merupakan formula baru dalam KUHP Nasional, sedangkan KUHP hanya menyebutkan tujuan pemidanaan [16]. Pada tahun 1984 pada Musyawarah Nasional VIII Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) dalam Lokakarya dengan tema “Pemidanaan” di Pandaan, Soetjipto menyebutkan kebebasan hakim bukanlah kebebasan mutlak. Selanjutnya Rakernisgab Mahkamah Agung tahun 1985 membahas mengenai Patokan Pemidanaan (Sentencing Standard) yang pada pokoknya menyatakan pedoman pemidanaan penting sebagai alat bantu hakim untuk meminimalisir kealpaan dan kekhilafan [16].

Sebelum KUHP Nasional

Sebelum berlakunya KUHP Nasional, pedoman pemidanaan bagi hakim untuk menjatuhkan putusan tidak dirumuskan secara spesifik dan berada di beberapa peraturan seperti di dalam Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana juga mengatur beberapa ketentuan mengenai hal-hal yang harus dimuat di dalam putusan. Ketiadaan panduan spesifik pertimbangan hakim dalam memutus pidana seringkali memicu disparitas hukuman akibat perbedaan pemahaman dan penilaian subjektif antar hakim. Mahkamah Agung sendiri sebetulnya telah menyadari akan pentingnya pedomaan pemidanaan, dimana khusus perkara tindak pidana korupsi, Mahkamah Agung telah membuat pedoman pemidanaan yang komprehensif dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2020.

Setelah KUHP Nasional

Dalam beberapa waktu ke depan, Indonesia akan mulai menggunakan KUHP Nasional sebagai undang-undang yang mengatur mengenai tindak pidana umum. Berbeda dengan KUHP, Pasal 54 (1) KUHP Nasional mengatur mengenai pedoman pemidanaan bagi hakim yang mencakup berbagai aspek seperti kesalahan, motif, perencanaan, sikap batin, dampak bagi korban dan pelaku, hingga nilai keadilan yang hidup di masyarakat.

Potensi Penerapan Pedoman Pemidanaan Bagi Hakim Sesuai KUHP Nasional

Meskipun KUHP Nasional telah mengatur pedoman pemidanaan, masih ada potensi permasalahan yang akan timbul terkait penerapannya. Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP) [17] menyoroti beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait pedoman pemidanaan. Misalnya, frasa "sikap dan tindakan pelaku sesudah tindak pidana" yang masih dinilai multitafsir tanpa ukuran objektif, sehingga memerlukan penjabaran lebih lanjut agar tidak ada kerancuan di dalam penggunaannya.

Penulis beranggapan penerapan pedoman pemidanaan memerlukan dukungan Mahkamah Agung melalui sosialisasi, pelaksanaan, dan pengawasan yang konsisten. Selanjutnya Mahkamah Agung dapat membuat pedoman yang lebih rinci untuk meminimalisir subjektivitas hakim sebagaimana telah dilakukan dalam Perma No. 1 Tahun 2020 dengan memberikan pedoman aspek-aspek yang harus dinilai hingga matriks rentang penjatuhan pidana. Untuk selanjutnya, perlu adanya evaluasi berkelanjutan sehingga pedoman pemidanaan yang telah diterapkan tetap relevan dengan perkembangan zaman.

Lebih lanjut, menurut penulis, pedoman pemidanaan dapat dimasukkan dalam pembaharuan template putusan yang telah digunakan oleh para hakim, sehingga mengurangi kemungkinan kealpaan hakim dalam mempertimbangkan hal-hal yang wajib untuk dipertimbangkan. Selain itu, penulis berpendapat AI dapat dimanfaatkan sebagai instrumen bantu pedoman pemidanaan guna meningkatkan kualitas dan konsistensi putusan perkara pidana secara berkelanjutan [18].

Penutup

Pedoman pemidanaan dalam KUHP Nasional adalah alat untuk mengupayakan standar bagi hakim dalam memutus perkara pidana agar putusan-putusan yang dijatuhkan oleh hakim memiliki keterjelasan. Pedoman pemidanaan juga merupakan bentuk akuntabilitas putusan hakim kepada masyarakat yang mencerminkan koherensi dan konsistensi putusan. Dengan diterapkannya best practice pedoman pemidanaan dalam setiap putusan hakim secara berkelanjutan, secara otomatis akan meningkatkan kepercayaan publik terhadap hakim dan pada akhirnya akan bermuara pada penguatan kelembagaan Mahkamah Agung.

Referensi

[1] Pasal 3 (1) dan (2) Undang-undang Kekuasaan Kehakiman, lihat juga Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Ketua Komisi Yudisial Republik Indonesia tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.

[2] G. A. Tarr, Without Fear or Favor: Judicial Independence and Judicial Accountability in the States. Stanford. Stanford University Press, 2012.

[3] Pasal 182 (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

[4] Pasal 12 (2) Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

[5] N. D. Irmawanti, and B. N. Arief, "Urgensi Tujuan Dan Pedoman Pemidanaan Dalam Rangka Pembaharuan Sistem Pemidanaan Hukum Pidana," Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia, vol. 3, no. 2, hal. 217-227, May. 2021. https://doi.org/10.14710/jphi.v3i2.217-227.

[6] M. M. Plesničar, “The challenges of being imperfect: how do judges and prosecutors deal with sentencing disparity,” Front, December. 2024. doi: 10.3389/fsoc.2024.1488786.

[7] C. Tata and N. Hutton, Sentencing and Society, 1st ed. London: Routledge, 2002, hal. 30. Available: https://doi.org/10.4324/9781315243450

[8] A. Deeks, Ashley, “The Judicial Demand for Explainable Artificial Intelligence,” Columbia Law Review, vol. 119, no. 7, hal. 1829-50. 2019. https://www.jstor.org/stable/26810851.

[9] C. M. Rodrigues, E. S. Pereira, R. F. Delgado, “In the judge we trust: the role of reasoning in judicial decisions,” Centro De Estudos Judicarios, 2022.

[10] R. Dworkin, “Taking Rights Seriously,” Harvard Law Review, vol. 91, no. 1, hal. 302, November. 1977, doi: https://doi.org/10.2307/1340516.

[11] J. Rawls, A Theory of Justice. Harvard University Press, 1971.

[12] United States Sentencing Commission. https://www.ussc.gov/research.

[13] Sentencing Council for England and Wales. https://www.gov.uk/government/organisations/the-sentencing-council-for-england-and-wales/about.

[14] Article 52 (1) Charter of Fundamental Rights of the European Union. https://www.europarl.europa.eu/charter/pdf/text_en.pdf.

[15] L. Mulyadi, B. Yahya, and B. Suhariyanto, Urgensi Pedoman Pemidanaan dalam Rangka Mewujudkan Keadilan dan Kepastian Hukum. Jakarta: Prenadamedia Group, 2019. Available: https://ebook.bldk.mahkamahagung.go.id/index.php/product/16-urgensi-pedoman-pemidanaan-dalam-rangka-mewujudkan-keadilan-dan-kepastian-hukum/.

[16] L. Mulyadi, Menggagas Model Ideal Pedoman Pemidanaan Dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia. Jakarta: Kencana, 2020.

[17] R. S. Assegaf, “Analisis dan Rekomendasi terkait Pengaturan Pedoman Pemidanaan dalam RKUHAP,” Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan. https://leip.or.id/wp-content/uploads/2016/12/Analisis-RKUHP-terkait-Pedoman-Pemidanaan-20161207.pdf.

[18] European Commission for the Efficiency of Justice (CEPEJ), European Ethical Charter on the Use of Artificial Intelligence in Judicial Systems and Their Environment (The Council of Europe), 2018. https://rm.coe.int/ethical-charter-en-for-publication-4-december-2018/16808f699c.