Latar Belakang
Tidak hanya dalam perumusan norma, melalui Buku Kesatu pada Pasal 80 ayat 1 KUHP Nasional diatur dalam dimensi penegakan hukumnyapun diwajibkan mengedepankan keterukuran perihal penjatuhan pidana denda, sebagaimana berbunyi: “Dalam menjatuhkan pidana denda, hakim wajib mempertimbangkan kemampuan terdakwa dengan memperhatikan penghasilan dan pengeluaran terdakwa secara nyata”. Sebagai tindaklanjutnya, KUHP Nasional tidak mengatur secara eksplisit perihal ruang lingkup komponen apa saja yang dimaksud dengan penghasilan dan pengeluaran secara nyata, siapa pihak yang dibebani untuk menyajikan alat bukti dan bagaimana cara Hakim mempertimbangkan alat bukti terkait penghasilan dan pengeluaran terdakwa secara nyata.
Kekosongan hukum tersebut memerlukan penelitian lebih lanjut, yang mana penelitian ini bertujuan untuk menjawab dua permasalahan pokok: Pertama, secara materiil, bagaimanakah pemaknaan “penghasilan dan pengeluaran Terdakwa secara nyata” ? Kedua, secara formil, bagaimana sikap Hakim dalam persidangan untuk memastikan dipertimbangkannya penghasilan dan pengeluaran terdakwa secara nyata ? Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis komponen dan cara mengukur kemampuan ekonomi terdakwa, dan menganalisis sikap Hakim untuk menjamin disajikannya secara komprehensif alat bukti perihal penghasilan dan pengeluaran Terdakwa secara nyata sebelum menjatuhkan pidana denda.
Pemaknaan Penghasilan Dan Pengeluaran Secara Nyata Terdakwa Sebagai Dasar Penjatuhan Pidana Denda
Pengeluaran adalah kegiatan mengeluarkan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan primer, sekunder maupun tersier. Baik pendapatan maupun pengeluaran dalam Pasal 80 KUHP Nasonal ditutup dengan frasa “secara nyata”, yang memiliki pengertian keadaan yang harus benar-benar telah terjadi, jadi tidak termasuk didalamnya misalnya perikatan perdata yang dibuat dengan syarat tangguh (realisasi prestasinya digantungkan pada kondisi di masa yang akan datang), atau contoh lainnya adalah floating loss dalam investasi (kerugian yang belum direalisasikan).
Sikap Aktif Hakim Untuk Memenuhi Kewajiban Mempertimbangkan Kemampuan Terdakwa Sebelum Penjatuhan Pidana Denda
Dalam konteks pembuktian kemampuan (ekonomi) Terdakwa, Penulis berpendapat Teori pembuktian berimbang tepat untuk diterapkan. Untuk itu selama persidangan, dalam beberapa pengertian Hakim haruslah bersikap aktif. Pertama menyampaikan dan memberikan kesempatan yang berimbang pada Penuntut Umum maupun Terdakwa mengajukan alat bukti, karena idealnya bagi Penuntut Umum untuk kepentingan pembuatan dan penentuan denda dalam surat tuntutan serta menginventarisir aset/harta kekayaan dalam rangka menentukan objek penyitaan dan pelelangan apabila pidana denda tidak dibayar, sedangkan di sisi Terdakwa maupun penasihat hukumnya untuk kepentingan meminimalisir pidana denda yang sekiranya dituntut dan dijatuhkan. Kedua, dalam kondisi tertentu Hakim tidak cukup hanya sampai menemukan kebenaran formil, penilaian yang hanya mendasarkan pada bukti-bukti yang diajukan (propenderance of evidence), tetapi harus sampai pada tahap kebenaran materiil, bukti-bukti haruslah komprehensif dan tidak parsial. Terkait hal tersebut, apabila selama persidangan Hakim masih menganggap bukti yang diajukan belum cukup komprehensif, maka Hakim secara atributif bisa menjalankan kewenangannya misalnya sebagaimana Pasal 42 ayat (1) UU 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas UU Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan yang mengatur: “Untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana, Pimpinan Bank Indonesia dapat memberikan izin kepada polisi, jaksa, atau hakim untuk memperoleh keterangan dari bank mengenai simpanan tersangka atau terdakwa pada bank” atau Pasal 40B UU Nomor 4 Tahun 2023 Tentang Pengembangan Dan Penguatan Sektor Keuangan: “Otoritas Jasa Keuangan berwenang memberikan izin membuka Rahasia Bank: a. untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40A ayat (1) huruf b”, dan terakhir sebagai komplementer, Hakim juga dapat memperhatikan hal-hal yang bersifat pengetahuan umum sebagai indikator bantu dalam pertimbangan, misalnya Pendapatan dan pengeluaran per Kapita, Upah Minimum Rakyat (UMR), atau Indeks Konsumsi Rumah Tangga (IKRT).
Penutup
Pendapatan Terdakwa dimaknai sebagai seluruh uang dari perolehan berbagai sumber sedangkan pengeluaran adalah kegiatan membelanjakan pendapatan. Nisal hasil perimbangan pendapatan dan pengeluaran Terdakwa secara nyata, menjadi bahan pertimbangan Hakim berdasarkan formulasi matematis untuk menjatuhkan pidana denda. Dalam rangka penyusunan putusan dan menjamin terlaksananya pidana denda, dalam persidangan juga harus diinventarisir cakupan yang lebih luas pendapatan Terdakwa yakni harta kekayaan yang berbentuk natura/aset secara definitif untuk dicantumkan dalam amar putusan perihal penyitaan dan pelelangan yang akan dieksekusi apabila denda tidak dibayar (dibayar sebagian atau tidak dibayar sama sekali).
Untuk menilai kemampuan ekonomi Terdakwa, dalam persidangan Hakim harus bersikap aktif dalam pengertian, pertama menyampaikan dan memberikan kesempatan yang berimbang pada penuntut unum maupun Terdakwa untuk membuktikan, kedua dapat menjalankan kewenangan permintaan pembukaan informasi perbankan milik Terdakwa untuk kepentingan perkara pidana sebagaimana Pasal 42 ayat (1) UU Perbankan dan Pasal 40B UU Tentang Pengembangan Dan Penguatan Sektor Keuangan.
Referensi
[2] M. N. Asnawi, Pengantar Jurimetri dan Penerapannya Dalam Penyelesaian Perkara Perdata: Pendekatan Kuantitatif dan Kualitatif Terhadap Hukum. Prenada Media Group, 2020.
[3] G. F. Al-Fatih, Teknologi Informatika Berkelanjutan: Mambangun Passive Income di Bidang Multimedia Untuk Masa Depan. Yogyakarta: Jejak Pustaka, 2025.
[4] F. Maulana et al., “PENJATUHAN PEMIDANAAN DALAM PERKARA,” 2023.
[5] T. J. Gunawan, Keseimbangan Nilai Pidana Penjara dan Denda: Perspektif Penologi Melalui Pendekatan Analisis Ekonomis. Jakarta: Prenada Media Group, 2022.
[6] Eddy O.S. Hiariej dan Topo Santoso, Anotasi KUHP Nasional. Depok: Rajawali Pers, 2025.
[7] Y. Vitria and D. W. N, “Beban Pembuktian dan Sanksi dalam Tindak Pidana Korupsi Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi,” vol. 4, pp. 5918–5936, 2024.