Latar Belakang
Dalam menjalankan fungsi Kekuasaan Kehakiman sesuai dengan amanat konstitusi, Mahkamah Agung dan seluruh badan peradilan yang berada dibawahnya memiliki tugas pokok untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara yang diajukan kepadanya. Untuk mendukung terlaksananya fungsi tersebut dengan baik, maka dalam setiap satuan kerja pengadilan akan selalu dibutuhkan jabatan kepaniteraan yang secara umum bertugas untuk membantu ketua pengadilan dalam tugas pengadministrasian perkara.
Tantangan terhadap jabatan kepaniteraan muncul seiring dengan perkembangan teknologi secara besar-besaran (disrupsi) dan diikuti pula dengan berkembangnya kecerdasan artifisial. Disrupsi teknologi disadari telah mengancam kemapanan banyak profesi, termasuk juga profesi kepaniteraan. Kecemasan tentang bagaimana fungsi jabatan kepaniteraan di masa depan serta apakah dunia peradilan masih membutuhkan kepaniteraan sebagai bagian yang integral dari pengadilan menimbulkan pertanyaan yang menarik untuk dikaji.
Eksistensi Jabatan Kepaniteraan
Secara historis, keberadaan jabatan kepaniteraan merupakan hal yang mutlak harus ada bahkan sejak zaman penjajahan Belanda. Ketika itu, badan pengadilan tertinggi dalam pemerintahan kolonial Belanda dinamakan dengan Hoogerechtshof. Dalam susunan organisasinya, Hoogerechtshof terdiri atas seorang Ketua dan 2 orang anggota, seorang pokrol jenderal dan 2 advokat jenderal, dan ada seorang Penitera yang dibantu oleh seorang Panitera Muda atau lebih untuk menjalankan fungsi administrasi perkara[1].
Setelah Indonesia merdeka, tugas dan wewenang dari Hoogerechtshof dialihkan kepada Mahkamah Agung RI selaku pemegang kekuasaan kehakiman. Struktur organisasi Mahkamah Agung kala itu dibentuk dengan posisi: seorang ketua, seorang wakil ketua, para hakim anggota, seorang panitera, dan seorang kepala tata usaha. Begitu pula ketika memasuki zaman pasca kemerdekaan, struktur Mahkamah Agung dilembagakan dengan Undang-undang khusus tentang Mahkamah Agung tahun 1985 yang mengatur bahwa setidaknya Mahkamah Agung terdiri dari seorang pimpinan, para hakim anggota, seorang panitera, dan seorang sekretaris jenderal[1].
Kini setelah Mahkamah Agung mencanangkan peradilan satu atap, secara yuridis, jabatan kepaniteraan adalah pejabat peradilan, hal tersebut tercantum dalam ketentuan Bab VII pasal 45 UU 48/2009 tentang kekuasaan kehakiman yang menyatakan bahwa selain hakim, pada Mahkamah Agung dan badan peradilan dibawahnya dapat diangkat panitera, sekretaris, dan/atau jurusita. Selain itu, Mahkamah Agung juga telah menegaskan peran jabatan kepaniteraan dalam struktur badan peradilan, dimana disebutkan dalam pasal 2 Perma 7/2015 tentang Oraganisasi dan Tata Kerja Kepaniteraan dan Kesekretariatan, yang menyatakan bahwa Kepaniteraan Peradilan adalah aparatur tata usaha negara yang dalam menjalankan tugasnya bertanggung jawab kepada Ketua Pengadilan.
Peran administratif yang dijalankan oleh jabatan kepaniteraan merupakan hal yang penting. Dalam konteks Indonesia, peran administrasi secara umum disebut dengan urusan ketatausahaan. Namun, publik sering salah melakukan penilaian terhadap peran ketatausahaan tersebut. Banyak orang menilai peran administrasi/ketatausahaan hanya sebatas mendukung keberhasilan kegiatan lain dalam organisasi, atau dapat juga disebut, urusan administratif dianggap tidak begitu penting. Nyatanya, untuk mencapai keberhasilan organisasi, maka ketersediaan dan penguasaan terhadap informasi yang merupakan peran administratif justru sangat penting, dan tanpa peran administratif yang sehat maka tujuan organisasi akan selalu terhambat[2].
Berkaca dari sisi historis, yuridis, dan tujuan organisasi diatas, maka dapat disimpulkan dalam sebuah satuan kerja pengadilan, adanya jabatan kepaniteraan untuk menggerakkan roda organisasi peradilan sangat dibutuhkan. Dalam hal pelaksanaan persidangan, panitera/panitera pengganti bertugas untuk mendukung hakim menyelesaikan perkara dengan membuat Berita Acara Persidangan yang isinya adalah catatan segala sesuatu yang terjadi saat persidangan. Akan tetapu, jika dilihat secara keseluruhan, maka kepaniteraan bukan saja berperan selaku pencatat jalannya sidang semata, namun kepaniteraan juga menjalankan pelayanan administrasi perkara, pelayanan keuangan perkara, pengarsipan dan sejumlah tugas lainnya.[3]
Tantangan di Era Disrupsi
Badai perubahan akan selalu datang mengejutkan. Setelah dunia melewati masa dimana kemampuan manusia menjadi aktor utama dalam setiap urusan, tiba-tiba saja terjadi perubahan yang polanya begitu berbeda, dimana mesin kecerdasan buatan akan menjadi pemeran utama dan mengurangi relevansi kemampuan manusia[4]. Seperti yang saat ini dihadapi oleh seluruh dunia yang telah jauh memasuki era disrupsi. bagi profesi yang tidak siap akan perubahan, maka disrupsi digital akan menjadi gelombang besar yang akan menepikan profesi yang tidak siap akan datangnya gelombang tersebut.
Dalam sektor pelayanan publik, disrupsi digital tidak dapat dihindari. Sektor pelayanan publik membutuhkan bantuan teknologi untuk pengambilan keputusan yang lebih efisien dan efektif, dimana dalam skala besar, akan sulit dilakukan jika hanya mengandalkan kemampuan manusia saja. Kecerdasan buatan dihadirkan sebagai inovasi yang memprogram sebuah mesin untuk belajar dari data, kemudian data tersebut diolah dan secara otomatis meningkatkan algoritmanya tanpa peran dari manusia[5]. Maka, terbentuklah mesin cerdas yang sanggup melakukan pekerjaan yang sebelumnya dikerjakan oleh manusia, oleh karena itu sumber daya manusia yang ada dituntut harus mampu segera beradaptasi meningkatkan kemampuan pengimplementasian kecerdasan buatan.
Pertanyaannya adalah apakah peran jabatan kepaniteraan selaku fungsi administrasi peradilan akan tergeser dengan adanya disrupsi digital? Dalam konteks peran jabatan kepaniteraan yang menjalankan proses administrasi perkara/tata usaha, mulai dari pendaftaran perkara, administrasi berkas, persidangan, hingga pengarsipan, era disrupsi digital akan menjadi pisau bermata dua bagi para personilnya. Bagi personil yang telah siap dan telah beradaptasi dengan perubahan besar-besaran akan segera mengambil manfaat dari kecerdasan artifisial untuk memudahkan pekerjaannya, sedangkan bagi personil yang tidak siap akan datangnya perubahan, maka akan bersiap untuk dipinggirkan perannya.
Mahkamah Agung dalam menghadapi tantangan di era disrupsi digital telah melakukan penyesuaian. Banyak inovasi berupa program dan aplikasi yang telah diluncurkan demi mewujudkan kemudahan pelayanan kepada para pencari keadilan. Aplikasi fundamental seperti e-court dalam perkara perdata telah diluncurkan sejak tahun 2019[6]. Selain itu, untuk administrasi perkara pidana, pada tahun 2022, Mahkamah Agung juga telah meluncurkan aplikasi e-berpadu, yaitu inovasi digital untuk layanan perkara prapersidangan secara elektronik yang dimaksudkan merubah secara fundamental proses administratif terkait penanganan perkara pidana mulai dari penyidikan sampai persidangan[7]. Melalui aplikasi tersebut, saat ini dokumen perkara telah diarsipkan secara elektronik dan menciptakan akses yang mudah terhadap informasi perkara oleh berbagai pihak yang terlibat. Penerapan aplikasi tersebut diharapkan mengurangi kemungkinan human error, meningkatkan keterbukaan, dan memotong waktu yang dibutuhkan dalam proses penanganan perkara[8].
Dengan diluncurkannya beberapa inovasi digital oleh Mahkamah Agung, ternyata tidak secara otomatis meminggirkan peran jabatan kepaniteraan. Peran kepaniteraan justru makin penting dalam pengimplementasian aplikasi tersebut. Sebagai contoh, bahwa dalam penerapan e-berpadu jika ada izin penggeledahan yang diajukan oleh penyidik, maka tugas dari Panitera Muda Pidana untuk melakukan pengecekan di aplikasi e-berpadu, setelah memenuhi syarat maka dapat dilanjutkan dengan proses registrasi dan penetapan izin/persetujuan penggeledahan yang akan ditandatangani secara elektronik oleh Ketua Pengadilan. Dengan kata lain, terjadi pergeseran tugas yang sebelumnya manual berganti menjadi “by sistem”, dimana tugas kepaniteraan adalah memastikan syarat permohonan dalam sistem telah lengkap, untuk kemudian meneruskan kepada Ketua Pengadilan.
Meskipun dewasa ini ada anggapan bahwa tugas administratif dari jabatan kepaniteraan dapat digantikan dengan kecerdasan buatan, namun, pada hakikatnya sebuah sistem tidak akan bekerja tanpa adanya pemegang kendali yaitu manusia, sehingga manusialah juga yang akan memastikan bagaimana sebuah sistem berjalan dengan benar. Saat ini, yang dibutuhkan oleh jabatan kepaniteraan adalah transformasi budaya kerja. Proses kerja administratif yang selama ini dilakukan dengan cara manual dan birokratis harus digantikan dengan sistem yang lebih cepat dan efektif.
Seiring dengan semakin berkembangnya inovasi digital, selain transformasi budaya kerja, jabatan kepaniteraan juga harus lebih sering dilibatkan dalam program latihan dan pengembangan ketrampilan dalam dunia digital. Bahkan, bukan tidak mungkin justru jabatan kepaniteraan di masa depan adalah jabatan yang mampu mengembangkan sendiri inovasi digital terbaru demi memudahkan mereka dalam menjalankan perannya.
Kesimpulan
Jabatan kepaniteraan mempunyai peran penting dalam mendukung tugas pokok Mahkamah Agung dan satuan kerja peradilan yang berada di bawahnya. Dalam era disrupsi, jabatan kepaniteraan menghadapi tantangan dengan banyaknya inovasi digital yang dimaksudkan untuk percepatan administrasi penanganan perkara secara elektronik. Untuk memastikan jabatan kepaniteraan tetap eksis, maka tantangan di era disrupsi harus dijawab dengan transformasi budaya kerja yang mengandalkan teknologi dan meninggalkan cara manual yang lama dan birokratis. Selain itu, pengembangan ketrampilan berbasis teknologi juga wajib dilakukan, sehingga peran jabatan kepaniteraan sebagai “man behind the gun” terhadap aplikasi administrasi digital tetap dipandang perlu.
Referensi
[1] A. Nursobah, “SEJARAH KEPANITERAAN MAHKAMAH AGUNG RI,” Kepaniteraan Mahkamah Agung. Accessed: Nov. 14, 2024. [Online]. Available: https://kepaniteraan.mahkamahagung.go.id/profil-kepaniteraan/sejarah-kepaniteraan
[2] A. N. Ramadhan and M. Muhyadi, “Tuntutan Profesionalisme Bidang Administrasi Perkantoran Di Era Digital,” J. Sekr. Adm. Bisnis, vol. 5, no. 1, p. 29, 2021, doi: 10.31104/jsab.v5i1.187.
[3] B. Suhariyanto, “Quo Vadis: Status Jabatan Dan Sistem Karir Kepaniteraan Peradilan,” J. Huk. dan Peradil., vol. 3, no. 1, p. 11, 2018, doi: 10.25216/jhp.3.1.2014.11-24.
[4] W. Dwi Putro, “Disrupsi Dan Masa Depan Profesi Hukum,” Mimb. Huk. - Fak. Huk. Univ. Gadjah Mada, vol. 32, no. 1, p. 19, 2020, doi: 10.22146/jmh.42928.
[5] A. P. Sudaryanto and S. Hanny, “Manajemen Sumber Daya Manusia Sektor Publik Menghadapi Kemajuan Kecerdasan Buatan (Artificial Intelligence),” Musamus J. Public Adm., vol. 6, no. 1, pp. 513–521, 2023, doi: 10.35724/mjpa.v6i1.5402.
[6] Z. H. Alfi Syahr, “Dinamika Digitalisasi Manajemen Layanan Pengadilan,” Pros. Semin. Nas. Pakar, pp. 1–8, 2020, doi: 10.25105/pakar.v0i0.6825.
[7] Ady Thea DA, “MA Luncurkan e-Prima dan e-Berpadu, begini fungsinya!,” hukumonline.com. Accessed: Nov. 16, 2024. [Online]. Available: https://www.hukumonline.com/berita/a/ma-luncurkan-aplikasi-e-prima-dan-e-berpadu--begini-fungsinya-lt62ff2f9a11fb1/
[8] P. N. R. S. Waruwu and K. S. Zai, “Perkara Di Kantor Pengadilan Negeri GunungSitoli Analysis Of The Implementation Of E-Court And E-Berpadu Applications In Improving Service Operations Management In Handling Cases At The GunungSitoli District Court Office. Jurnal Emba Vol. 11 No. 4 Okto,” J. EMBA, vol. 11, no. 4, pp. 173–176, 2023.