JABATAN HAKIM: INTEGRITAS VS JAMINAN KEAMANAN

24 February 2025 | Ni Ageng Djohar
Ni Ageng Djohar

format_quote
'Integritas hakim hanya dapat terjaga jika negara hadir dalam memberikan jaminan keamanan, sebab keadilan tak boleh lahir dari ketakutan.'

Latar Belakang

Hakikat seorang Hakim merupakan pelaksana kekuasaan kehakiman. Hakim bertugas memeriksa, memutus dan mengadili suatu perkara, sebagaimana Pasal 1 angka KUHAP berbunyi “Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili”. Hakim merupakan ujung tombak dalam sebuah perjalanan perkara. Bagaimana suatu perkara itu berakhir, bergantung pada sebuah putusan Hakim. Putusan Hakim dapat menentukan nasib seorang manusia, bahkan nasib beberapa keluarga sekaligus. Sehingga seorang Hakim harus memiliki perilaku terpuji dalam menjalankan tugas dan fungsinya, salah satunya menjalankan tugas dengan penuh integritas.

Integritas adalah salah satu dari 10 (sepuluh) butir kode etik, yang merupakan penggambaran perilaku Hakim yang paling utama. Hakim sebagai wakil tuhan hendaknya berintegritas tinggi. Berdasarkan Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial RI Nomor: 047/KMA/SKB/IV/2009 “Integritas tinggi pada hakekatnya terwujud pada sikap setia dan tangguh berpegang pada nilai-nilai atau norma-norma yang berlaku dalam melaksanakan tugas”[1]. Layak tidaknya seorang Hakim adalah dari integritasnya. Sehingga Hakim wajib memiliki dan menjaga integritas itu.

Pentingnya suatu integritas ini, hingga membuat banyak aturan dan sistem untuk menjaganya, dimulai dari adanya pengaturan terkait kode etik dan perilaku Hakim, pedoman pelaksanaanya, adanya sistem pengawasan baik internal maupun eksternal hingga penjatuhan sanksi yang berat bagi siapa saja yang melanggarnya.

Namun, yang terlupa, integritas juga perlu dipelihara. Pemeliharaan integritas ini salah satunya adalah dengan tersedianya perlindungan bagi Hakim. Tidak sedikit Hakim yang memutus perkara namun perlindungan terhadap dirinya tidak ada. Seperti halnya kasus 20 (dua puluh) tahun silam yang amat menggemparkan dunia peradilan yakni Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita yang dibunuh oleh Tommy Soeharto yang merupakan salah satu pihak dalam perkara yang ditanganinya [2]. Selain itu, ada juga seorang Hakim diserang menggunakan ikat pinggang tepat sesaat setelah pembacaan putusan, ada pula seorang Hakim yang ditusuk menggunakan senjata tajam, belum lagi adanya ancaman secara verbal, hinaan maupun makian dalam berbagai media. Ini merupakan kenyataan bagaimana Hakim dalam menjalankan tugasnya sangat dekat dengan ancaman juga terkena kekerasan baik fisik maupun verbal.

Hal ini menjadi ironi, bagaimana di satu sisi integritas dalam menjalankan tugas dan peran Hakim penting, hingga segala tindak tanduknya diawasi dan dibatasi, namun disisi lain perlindungan terhadap Hakim sangat rentan. Bukan hanya perlindungan dalam ruang sidang, melainkan perlindungan bagi diri Hakim itu sendiri dan keluarganya. Padahal perlindungan merupakan salah satu faktor yang dapat memelihara integritas. Oleh sebab itu hal tersebut melatarbelakangi Penulis untuk melihat sejauh mana hukum positif melindungi seorang Hakim baik di dalam maupun di luar ruang sidang.

Jaminan Keamanan Hakim dan Keluarganya dalam Hukum Positif

Peradilan merupakan proses terakhir dalam perjalanan suatu perkara, yang seringkali diberi istilah sebagai benteng keadilan terakhir penegakan hukum. Dikenal 2 (dua) Upaya yang dapat menerobos benteng keadilan antara lain: Pertama disebut sebagai kehilangan Integritas Hakim, hal ini didasari baik oleh faktor materi maupun oleh alasan lainnya yang bertentangan dengan prinsip Independence Of The Judiciary , hal mana mengorbankan rasa keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan. Kedua disebut sebagai kehilangan rasa hormat terhadap lembaga peradilan, yang disebabkan kurangnya kesadaran hukum, pola budaya hukum dan lemahnya sistem protokol persidangan dan keamanan[3]. Jaminan keamanan ini menjadi penting karena berpengaruh terhadap kekuatan suatu banteng keadilan terakhir penegakan hukum, yakni Hakim.

Perlindungan atau jaminan keamanan pada proses peradilan sering dikaitkan dengan perlindungan terhadap tersangka/terdakwa, juga terhadap saksi dan korban, namun terhadap penegak hukum justru tidak pernah disinggung. Tidak jarang seorang Hakim mendapat ancaman maupun kekerasan saat menjalankan tugasnya, namun sedikit sekali pengaturan terkait perlindungannya, atau bahkan hanya diatur oleh hukum secara umum sehingga pada kenyataanya hal tersebut tidak terimplementasikan dengan baik.

Pada Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman diatur secara eksplisit dalam sebuah bab khusus yakni Bab VIII tentang Jaminan Keamanan dan Kesejahteraan Hakim yakni dalam Pasal 48 ayat (1) menjelaskan bahwa “Negara memberikan jaminan keamanan dan kesejahteraan Hakim dan Hakim konstitusi dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab penyelenggaraan kekuasaan kehakiman” dan Pasal 48 ayat (2) menjelaskan jaminan keamanan tersebut selanjutnya diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ketentuan tersebut bermaksud memberikan jaminan terhadap keamanan dan kesejahteraan Hakim dalam bentuk peraturan perundang-undangan untuk memunculkan kepastian hukum bagi perlindungan Hakim, namun kenyataanya ketentuan tersebut hanya mengamanahkan pembentukan peraturan perundang-undangan lagi untuk pelaksanaanya. Sangat disayangkan hingga saat ini tata cara perlindungan khusus belum diatur dalam peraturan pemerintah sebagaimana perlindungan terhadap Hakim dalam mengadili perkara[4].

Sejalan dengan hal tersebut pada tahun 2012 telah diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2012 tentang Hak Keuangan Dan Fasilitas Hakim Yang Berada Di Bawah Mahkamah Agung. Pada Pasal 2 diatur mengenai Hak keuangan dan fasilitas bagi Hakim dan pada huruf f disebutkan adanya jaminan keamanan. Ketentuan lebih lanjut diatur dalam Pasal 7 ayat (1) yang berbunyi “Hakim diberikan jaminan keamanan dalam pelaksanaan tugas” selanjutnya dalam ayat (2) menjelaskan bentuk jaminan keamananya ialah berupa pengawalan dan perlindungan terhadap keluarga. Selanjutnya dalam ayat (3) dan (4) mengatur jaminan keamanan dilaksanakan dari Kepolisian Negara RI yang mana ketentuan lebih lanjut akan diatur oleh Keputusan Mahkamah Agung RI.

Ketentuan tersebut merupakan landasan bagi Hakim untuk memperoleh jaminan keamanan. Telah diatur secara jelas, namun tidak teraktualisasikan. Terkait pengawalan dalam hal persidangan sudah diterapkan, namun dalam hal perlindungan terhadap keluarga belum ditemukan. Terlebih ketentuan ini mengamanahkan lagi aturan yang lebih teknis yakni berupa Keputusan Mahkamah Agung, yang hingga saat ini belum ada SK KMA yang mengatur secara terperinci terkait jaminan keamanan bagi Hakim dan keluarga.

Selanjutnya, pada tahun 2020 Mahkamah Agung RI mulai menunjukan perhatiannya pada perlindungan bagi Hakim dalam proses persidangan. Lahirnya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2020 (Perma Nomor 5 Tahun 2020) tentang Protokol Persidangan dan Keamanan Dalam Lingkungan Pengadilan sedikit membuat lega para Hakim dalam menjalankan persidangan. Setidaknya ada peraturan pelaksana yang menjadi pedoman untuk menjamin keamanan Hakim, meski hanya terbatas pada saat persidangan.

Perma Nomor 5 Tahun 2020 mengatur setidaknya beberapa protokol penting dalam menjamin keamanan persidangan, antara lain dalam Pasal 4 ayat (16) yang berisi larangan menghina Hakim/Majelis Hakim, Aparatur Pengadilan, para pihak, saksi, dan atau ahli, lalu larangan melakukan perbuatan yang dapat mencederai dan/atau membahayakan keselamatan Hakim/Majelis Hakim, Aparatur Pengadilan, penuntut umum/oditur militer, penasihat hukum/kuasa hukum, Satuan Pengamanan Pengadilan, pihak berpekara, saksi, ahli, dan atau pendamping diatur dalam Pasal 4 ayat (17).

Pada bab protokol keamanan, dalam Pasal 11 berbunyi “Hakim/Majelis Hakim dan Aparatur Pengadilan yang menangani perkara tertentu seperti terorisme dan perkara lain, serta pelaksanaan eksekusi yang berpotensi menimbulkan ancaman yang membahayakan keselamatan Hakim/Majelis Hakim dan Aparatur Pengadilan, wajib mendapatkan perlindungan, pengamanan dan/atau pengawalan di dalam maupun di luar pengadilan dari kepolisian atau Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang dilakukan secara terus menerus atau dalam jangka waktu tertentu.”.

Selanjutnya ketentuan mengenai langkah antisipasi untuk penyelamatan dari keadaan darurat diatur dalam Pasal 12, terkait standar protokol dan keamanan pengadilan diatur dalam Pasal 14. Selain itu dalam Perma ini dimungkinkan dilakukannya tuntutan pidana apabila perbuatan yang membahayakan keselamatan Hakim/Majelis Hakim dan/atau Aparatur Pengadilan termasuk ke dalam tindak pidana, hal ini diatur dalam Pasal 6 ayat (8). Kemudian di dalam Pasal 7 dipertegas mengenai pelanggaran yang dilakukan dalam Pasal 4 ayat (2) sampai dengan ayat (17) dan Pasal 6 ayat (1) sampai dengan ayat (9) dapat dikualifikasikan sebagai penghinaan terhadap pengadilan.

Berdasarkan uraian tersebut Perma Nomor 5 Tahun 2020 mengatur perlindungan dan keamanan tidak hanya bagi Hakim namun secara umum di lingkungan pengadilan. Pengaturan terhadap perlindungan Hakim hanya berisi perlindungan pada saat persidangan, sedangkan perlindungan itupun terbatas pada perkara tertentu, terutama terorisme. Perma ini tidak memberikan kemungkinan bahwa perkara-perkara yang dianggap biasa pun dapat mengancam keamanan Hakim yang menanganinya. Selain itu, Perma ini tidak memberikan jaminan keamanan langsung terhadap perlindungan Hakim dan keluarganya yang misalnya mengalami cedera atau luka-luka akibat kekerasan fisik yang dialaminya selama persidangan. Meski ada kemungkinan dapat dilakukan tuntutan pidana, namun yang diharapkan disini adalah adanya antisipasi dan jaminan keamanan bahwa Hakim dalam menjalankan tugasnya menangani perkara itu dilindungi dan bukan hanya selama persidangan melainkan di luar pengadilan termasuk jaminan untuk keluarganya. Sehingga apabila tujuannya untuk menjaga dan melindungi martabat pengadilan, Perma ini telah cukup mengakomodir hal tersebut, namun sayangnya untuk menciptakan jaminan keamanan bagi hakim dan keluarganya sangatlah jauh dari harapan.

Kesimpulan

Rasa aman dan integritas merupakan hal penting harus dimiliki seorang Hakim, karena seorang Hakim tidak boleh memutus dalam keadaan takut untuk mengasilkan putusan yang berkualitas. Undang-undang bahkan peraturan pemerintah dan perma yang seyogyanya dilaksanakan untuk menjamin keamanan bagi hakim, nyatanya tidak memberikan perlindungan yang cukup bagi Hakim dan keluarganya. Disatu sisi Hakim dituntut berintegritas, namun disisi lain Negara justru abai terhadap perlindungan terhadap diri seorang Hakim. Maka untuk menjaga integritas, sudah selayaknya ada ketentuan khusus yang mengatur perlindungan atau jaminan keamanan bagi Hakim dan Keluarganya.

Referensi

[1] Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial RI Nomor: 047/KMA/SKB/IV/2009 dan Nomor: 02/SKB/P.KY/IV/2009 Tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, hlm. 13.

[2] Nasional.tempo.co., 26 Juli 2021. 20 Tahun Pembunuhan Hakim Agung Syafiuddin yang Melibatkan Tommy Soeharto. Diakses pada 6 Maret 2023.https://nasional.tempo.co/read/1487431/20-tahun-pembunuhan-hakim-agung-syafiuddin-yang-melibatkan-tommy-soeharto

[3] Sofyan Sitompul, 2021. Menjaga Wibawa dan Martabat Peradilan Melalui Protokol Persidangan dan Keamanan. 11 Januari 2021. https://www.mahkamahagung.go.id/id/artikel/4475/menjaga-wibawa-dan-martabat-peradilan-melalui-protokol-persidangan-dan-keamanan.

[4] Alben C. Lentey. 2015. Perlindungan Terhadap Hakim Dari Ancaman Kekerasan Dalam Mengadili Perkara Korupsi. Jurnal Lex Crimen Vol.IV/No.8/2015. Hlm. 14.