IUDEX¸ JUDGE: MEMAKNAI KODE ETIK KEMANDIRIAN HAKIM MELALUI SEJARAH DUA TRADISI HUKUM

24 February 2025 | Mula Warman Harahap
Mula Warman Harahap

format_quote
'Kemandirian hakim bukan sekadar prinsip hukum, tetapi warisan sejarah yang lahir dari perjuangan panjang melawan dominasi kekuasaan, menjadikannya pilar utama keadilan yang harus dijaga dengan kebanggaan dan tanggung jawab.'

Latar Belakang

Benarkah “Sang Boni Homines” itu mandiri? sebelum terburu-buru menjawab ada baiknya kita memberi jeda sejenak mencari sandaran argumentasi yang lengkap tentang pertanyaan tersebut, tidaklah cukup jika kita hanya merujuk kepada yuridis-formil (kekuasaan kehakiman bebas atas intervensi) guna menjawab pertanyaan tersebut, dengan tidak semata-mata mengutip peraturan tertulis kita akan terbebas dari apa yang disebut Jean Baudrillard dengan isitilah simulacra, contoh simulacra dalam hukum adalah permainan symbol/text yang merepresentasikan realitas hingga menjadi realitas itu sendiri, “kemandirian” hakim yang dimunculkan pada symbol/text pasal di peraturan perundang-undangan telah dianggap sebagai sesuatu yang benar-benar nyata bagi subject, padahal realitas makna tentang kemandirian hakim tidak berhenti pada representasi text semata namun berlabuh pada lebenswelt (life-world) ala Edmund Husserl yang sangat dinamis, bahkan, text dalam undang-undang mengenai kemandirian hakim juga tidak mampu menyingkap sejarah kemandirian hakim itu sendiri,. Lengkapnya pengetahuan mengenai jatuh-bangkitnya prinsip kemandirian hakim dari masa ke masa dapat memberikan implikasi kepada penghargaan terhadap kode etik kemandirian hakim, dengan mengenal kemandirian hakim secara lebih utuh muncul pula penghormatan yang tidak buta terhadap kode etik kemandirian hakim.

Civil Law

Dari “Iudex Qui Litem Suam Facit Hingga Ke Revision

 

Kemandirian hakim pada tradisi civil menarik untuk diulas ketika seorang penulis bernama John Henry Merryman menulis buku yang berjudul The Civil Law Tradition menantang pembacanya dengan menulis, coba sebutkan siapa hakim (iudex) yang terkenal dalam tradisi hukum civil?[1] Ia kemudian menjelaskan dalam tradisi civil nama yang banyak terdengar adalah pembuat hukum (Justinian, Napoleon) dan ahli hukum (Gaius, Irenius, Savigny,)[1] bukan nama hakim, hal ini terjadi karena dalam sejarah tradisi civil hakim tidak diberikan kemandirian layaknya hakim pada common law yang bahkan putusannya dianggap sebagai hukum yang nyata (bad-man theory). Bandingkan dengan Justinianus yang notabene bukan merupakan seorang hakim berhasil mengembangkan ide hukum corporation, pada saat itu hukum Romawi telah menganggap badan keuangan, rumah sakit dan gereja mampu melakukan perbuatan hukum dan dapat untuk digugat di pengadilan melalui wakilnya,[2] ahli hukum dan pembentuk hukum adalah pusat dari kemajuan hukum dalam akar tradisi civil law.

Lebih jauh, apabila melihat ke Romawi tempat dimana tradisi civil muncul, pada saat itu hakim diisi oleh para hakim awam (pengertian ini berubah pada akhir abad 19, akhir abad 19 hakim adalah Ahli Hukum)[3][4][5] yang ketika memutus tidak mandiri atau terbatas mengadili apa yang telah disusun dalam sebuah formula,[6] formula menyerupai dengan yang sekarang kita kenal sebagai petitum akan tetapi disusun oleh seorang praetor, nantinya, formula akan menentukan batas kewenangan hakim serta sampai mana dapat menjalankan fungsi mengadilinya dalam persidangan. Alih-alih bebas dan mandiri, seluruh jalannya persidangan justru berada dibawah tanggung jawab seorang praetor, bahkan pemeriksaan tidak ditangan seorang hakim semata tetapi terlebih dahulu dihadapan praetor kemudian melahirkan sebuah formula yang bahkan dengan formula tersebut dapat menentukan putusan hakim.[6] Hal ini disebabkan karena hakim-hakim pada zaman ini bukan Ahli hukum, ia hanyalah hakim awam yang diberikan fungsi mengadili dengan formula oleh praetor sebagai panduannya.[1] namun perlu diingat, pada zaman ini, para hakim telah diikat dengan prinsip iudex qui litem suam facit seperti kode etik untuk tidak lalai dalam menjalankan formula dan tugas mengadilinya, yang mana dapat membuat seorang hakim diadili jika lalai atau sengaja menyalahi tugasnya.[3]

Jauh setelahnya, Prancis sebagai negara promotor tradisi civil juga tidak banyak memberikan kemandirian bagi hakim, pasca revolusi, Prancis hanya memisahkan fungsi judicial dengan kedua cabang lainnya serta menempatkan hakim sebagai corong undang-undang semata, tugasnya hanya sebagai pejabat pencocok fakta dengan pasal di undang-undang, hal inilah yang membuat tidak banyak hakim dalam tradisi hukum civil dikenal seperti hakim pada sistem common. Keengganan menonjolkan kemandirian hakim dalam tradisi civil juga dapat dilihat dari dibentuknya statutes commission di Jerman, badan ini berfungsi memberikan hakim masukan ketika ragu memutus suatu perkara, lebih jauh lagi, guna membatasi agar hakim tidak banyak melakukan interpretasi dan mencurahkan kreativitasnya dalam mencari keadilan dibentuklah Prussian code yang berisi 17,000 pasal[1] yang tujuannya adalah mencegah hakim memutus diluar dari undang-undang. Kasasi juga merupakan lanjutan dari hal ini, kasasi pada awalnya bukanlah fungsi lembaga peradilan, lembaga ini pertama disebut aupres de corps de legislatif yang merupakan perpanjangan tangan badan legislatif guna memperbaiki interpretasi hukum dari badan judicial, ruang sidangnya tidak disebut court melainkan tribunal of Cassation,[1] pada akhirnya badan ini berubah menjadi badan peradilan oleh karena banyak melakukan fungsi judicial. Kemandirian hakim baru menemukan titik terang ketika Jerman mengintrodusir konsep revision yang memungkinkan hakim yang lebih tinggi untuk memperbaiki putusan hakim yang lebih rendah, dengan sistem revision pada akhirnya para hakim tingkat bawah sudah mulai dapat berbuat banyak dengan melakukan interpretasi hukum[1] yang nanti ketika ditemukan kesalahan dapat diperbaiki langsung oleh hakim yang lebih tinggi, pada titik inilah para hakim tradisi civil law mulai menonjol peran dan fungsinya dibanding dengan masa-masa sebelumnya.

Common Law

Munculnya Audi Et Alterem Partem Buah Dari Kemandiran Hakim

Mengatakan hakim dalam common law memiliki sejarah kemandirian yang lebih baik dibanding civil tampaknya tidaklah sebuah pernyataaan yang berlebihan, disana hakim adalah jabatan yang diisi oleh orang-orang terkemuka dalam lingkungannya, sebut saja Francis Bacon, Holmes, Posner, Cardozo, Marshall merupakan nama-nama hakim dalam tradisi common law, putusan-putusan hakim selalu dijadikan rujukan dan dibahas (puji/kritik) dalam media masa,[1] hakim pada common law adalah orang yang sangat penting bahkan disebut Sir William Blackstone sebagai the living oracles.[7] Pada sistem common law dikenal pula prinsip yang memerintahkan hakim untuk tidak banyak berbicara pada media yang disebut sebagai Kilmuir rules,[8] walaupun belakangan prinsip ini mulai luntur dan ditinggalkan.[8]

Namun, hakim dalam sistem common law juga pernah berposisi subordinan terhadap kekuasaan layaknya seperti di tradisi civil law masa lalu, setidaknya sampai tahun 1688 fungsi judicial masih merupakan alat mencapai tujuan dari seorang raja,[8] yang apabila tidak berbuat sesuai dengan kemauan raja akan dengan mudah diganti atau dipecat. Perbaikan baru terjadi ketika prinsip quamdiu sebene gesserint[8] di introdusir dalam hukum Inggris sebagai hasil dari revolusi yang membuat hakim tidak mudah untuk dijatuhkan dari jabatannya selama tidak melakukan perbuatan yang tidak terhormat.

Kebebasan serta kemandirian hakim pada sistem common law dalam memutus suatu perkara dapat dilihat dari terobosan seorang hakim Bernama Sir Edward Coke, Coke mengadili perkara James Bagg yang tidak terima dipecat dari pekerjaannya sebagai civil servant, Coke kemudian menyatakan bahwa pemecatan tersebut tidak sah oleh karena tidak mendengarkan alasan dari James Bagg mengenai misconduct yang ia lakukan, dalam putusannya Coke kemudian mengutip buku roman tragedy karya Senneca berjudul Medea yang didalamnya mengutip maxim “qui statuit aliquit parte inaudita altera, aequum licet statuerit, haud aequus fuerit (he who decides an issue without hearing one side has not been just, however just the decision)[9] dari sinilah prinsip audi et alterem partem yang mahsyur itu berasal, muncul dari judicial activism hakim pada common law guna mencari keadilan.

Hakim dalam tradisi common law, sama seperti di daratan lainnya (Civil, Islam), juga tumbuh dengan suasana kebatinan relijius yang tidak kalah besarnya, pemakaian sistem jury contohnya, alasan pemakaian sistem jury bukanlah demi pencarian factual-proof dalam persidangan, hakim-hakim di Inggris sangat takut terhadap kesalahan dalam memutus suatu perkara dalam hal menetapkan seorang bersalah atau tidak. Sistem peradilan premodern selain daripada menjalankan fungsi mengadili juga berusaha memberikan moral-comfort kepada para hakim sehingga dibentuklah sistem jury guna membebaskan hakim dari perasaan takut dalam kesalahan memutus suatu perkara, hal ini oleh karena pernyataan Saint Matthew (Matius) judge not, lest ye be judged selalu membayangi hakim-hakim di sistem Common law.[10]

Penutup

Kemandirian hakim sebagai salah satu kode etik yang menuntun hakim dalam bertugas bukanlah prinsip yang tumbuh dari ruang hampa, ada sejarah panjang yang menyertai prinsip tersebut, saat ini kekuasaan kehakiman telah jauh lebih mandiri dibanding masa-masa sebelumnya, sebuah titik yang perlu untuk disyukuri bangsa beradab dimanapun. Kode etik hakim sejatinya telah muncul jauh sebelum kode etik seperti yang kita kenal sekarang muncul, larangan hakim berbicara pada media (Kilmuir rules), perintah kepada hakim untuk berhati-hati dalam menunda sidang (lex iritina) adalah bukti bahwa ketika berbicara jabatan hakim dengan saat yang sama kita berbicara soal kode etik. Kemandirian hakim sudah sepatutnya diarahkan kepada keadilan, diemban atas rasa bangga serta dijaga dengan tanggung jawab.

Referensi:

[1] John Henry Merryman, The civil law Tradition . California: Stanford University press California, 1985.

[2] H. Berman, Law and Revolution: The Formation of Western Legal Tradition. USA: Harvard University Press, 1984.

[3] J. G. Paul Brand, Ed., Judge and Judging: In The History Of Common Law And Civil Law. New York: Cambridge University Press, 2012.

[4] H.Patrick Glenn, Legal Tradition of The World. New York: Oxford University Press, 2000.

[5] James A. Brundage, The medieval origins of the legal profession. Chicago: The University of Chicago Press, 2008.

[6] J. M. Kelly, A Short History Of Western Legal Theory. New York: Oxford University Press, 1992.

[7] William Blackstone, Vol. 1, Commentaries on the Laws of England. Lonang Institute, 1765.

[8] Gary Slapper, How the Law Works: a friendly guide to the legal system. London: Colins, 2007.

[9] Giacinto Della Cananea, Due Process Of Law Beyond The State: Requirements of Administrative Procedure. United Kingdom: Oxford University Press, 2016.

[10] J. Q. Whitman, The Origins Of Reasonable Doubt: Theological Roots of Criminal Trial. London: Yale University Press, 1957.