Pendahuluan
Suatu perkara di pengadilan dikatakan sudah selesai apabila hakim sudah membacakan putusannya. Secara prosedural, pembacaan putusan merupakan rangkaian terakhir dari sebuah persidangan sehingga di dalam suatu putusan masyarakat bisa melihat fakta hukum apa saja yang muncul di persidangan dan bagaimana seorang hakim mempertimbangkan fakta hukum tersebut yang kemudian disimpulkan dalam amar putusan seorang hakim. Selain itu, secara filosofis putusan hakim merupakan mahkota hakim[1]. Dianalogikan dengan mahkota karena ia sangat berharga bagi seorang hakim. Secara teoritis, putusan hakim mempunyai 3 kekuatan. Pertama, kekuatan mengikat. Sebagai sebuah produk hukum yang dihasilkan oleh hakim putusan hakim yang sudah berkekuatan hukum tetap mengikat bagi para pihak yang berada di dalamnya. Kedua, kekuatan pembuktian. Putusan hakim yang sudah berkekuatan hukum tetap dapat digunakan oleh pihak sebagai alat bukti di pengadilan. Ketiga, kekuatan eksekusi. Putusan hakim yang sudah berkekuatan hukum tetap dapat dijadikan dasar hukum oleh para pihak untuk melakukan eksekusi sehingga eksekusi yang dilakukan tidak melanggar hukum [2].
Diundangkannya Undang-Undang Nomor 1 tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut dengan UU KUHP) mau tidak mau berdampak terhadap bagaimana para hakim dalam menyusun putusannya. Salah satu yang menjadi aspek penting adalah adanya tujuan dan pedoman pemidanaan di dalam Buku I UU KUHP. Adanya pengaturan mengenai tujuan dan pedoman pemidanaan di dalam UU KUHP mempunyai maksud sebagai petunjuk bagi hakim dalam menjatuhkan pidana sekaligus sebagai sarana kontrol terhadap hakim agar pidana yang dijatuhkan jelas arah dan daya gunanya [3].
Selain itu, dikarenakan di dalam UU KUHP tujuan utama pemidanaan bukan lagi balas dendam namun lebih kepada memulihkan keseimbangan, pembinaan, dan pengayoman antara korban, terdakwa, dan masyarakat. Hal ini dapat dikatakan sebagai upaya untuk mengubah paradigma bahwa tujuan dari sistem pemidanaan bukan menghukum namun sarana untuk mencapai kesejahteraan sosial [4]. Hadirnya perspektif kesejahteraan sosial dalam pemidanaan tidak bisa dilepaskan dari pemikiran hukum responsif. Pada prinsipnya hukum responsif melihat hukum sebagai institusi sosial yang bertujuan untuk melayani kebutuhan sosial masyarakat. Istilah responsif dalam hal ini yaitu hukum bisa menjadi instrumen untuk masyarakat dalam mencapai keadilan substantif [5]. Ahli yang mengemukakan pemikiran hukum responsif yaitu Nonet-Selznick.
Dalam pemikiran hukum responsif yang dikemukakan oleh Nonet-Selznick, terdapat tiga klasifikasi hukum yang ada di masyarakat: (1) Hukum sebagai pelayan kekuasaan represif (hukum represif); (2) Hukum sebagai institusi tersendiri yang mampu menjinakkan represi dan melindungi integritas dirinya (hukum otonom); dan (3) Hukum sebagai fasilitator dari berbagai respon terhadap kebutuhan dan aspirasi sosial (hukum responsif) [6].
Putusan Hakim: Tidak Hanya Menerapkan Norma
Sebelum diberlakukannya UU KUHP, perihal mengenai isi putusan hakim diatur di dalam Pasal 197 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut dengan KUHAP). Namun, apabila ditelaah lebih kritis pengaturan mengenai putusan hakim di dalam KUHAP hanya mencakup aspek formil saja seperti suatu putusan hakim harus terdapat irah-irah Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa, identitas terdakwa, surat dakwaan, fakta hukum dan pertimbangan, dan lain-lain [7]. Oleh sebab itu, menurut penulis tidak cukup seorang hakim apabila membuat putusan hanya mengacu pada KUHAP saja namun juga harus mengacu pada UU KUHP. Tujuan dan Pedoman Pemidanaan yang termaktub di dalam UU KUHP secara tidak langsung dapat memberikan ruh terhadap putusan hakim sehingga isi dari putusan hakim tidak hanya penerapan norma saja namun juga pertimbangan yang mendalam dari seorang hakim dalam menjatuhkan atau tidak menjatuhkan pidana terhadap terdakwa.
Secara eksplisit di dalam Pasal 51 UU KUHP dijelaskan bahwa ada 3 tujuan pemidanaan yaitu: (1) Pencegahan tindak pidana demi tegaknya pelindungan dan pengayoman masyarakat; (2) Pemasyarakatan narapidana melalui pembinaan agar menjadi orang yang baik dan berguna; (3) Penyelesaian konflik dan pemulihan keadaan sehingga menghadirkan rasa aman dan damai dalam masyarakat; (4) Pembebasan rasa bersalah kepada terpidana. Selain itu, di dalam Pasal 52 UU KUHP tujuan pemidanaan bukan untuk dimaksudkan untuk merendahkan martabat manusia [8].
Kemudian, di dalam Pasal 53 UU KUHP diatur mengenai berbagai prinsip yang harus dijadikan pedoman dalam menjatuhkan pidana. Pertama, dalam mengadili suatu perkara pidana, hakim wajib menegakkan hukum dan keadilan. Kedua, jika dalam menegakkan hukum dan keadilan terdapat pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, hakim wajib mengutamakan keadilan. Selain itu, di dalam Pasal 54 UU KUHP [9] dijelaskan bahwa dalam menjatuhkan pidana hakim wajib mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pelaku dan korban. Selanjutnya, di dalam Pasal 54 ayat (2) UU KUHP hakim dibolehkan untuk tidak menjatuhkan pidana atau tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan atau yang disebut dengan Pemaafan Hakim (Judicial Pardon) [10].
Apabila dikaitkan dengan teori hukum responsif, tujuan dan pedoman pemidanaan di dalam UU KUHP secara eksplisit mendorong hakim untuk lebih mempunyai kepekaan sosial terhadap perkara yang ditanganinya bukan hanya mengandalkan logika dan aturan saja (logic and rules) karena sejatinya hukum hadir untuk manusia bukan sebaliknya [11]. Hal ini bisa dilihat di dalam UU KUHP bahwa tujuan pemidanaan bukan saja memberikan efek jera namun juga memulihkan keseimbangan dan melindungi masyarakat. Di dalam pedoman pemidanaan juga sama tidak hanya keadaan pelaku saja yang dipertimbangkan namun juga keadaan korban dan masyarakat harus dipertimbangkan oleh hakim agar pertimbangan hakim di dalam putusan lebih menyeluruh tidak hanya fokus terhadap terdakwa namun juga korban dan masyarakat.
Kesimpulan
Secara normatif, aturan mengenai tujuan dan pedoman pemidanaan di dalam UU KUHP mendorong hakim tidak hanya menerapkan norma semata namun juga memberikan ruh terhadap suatu norma di dalam suatu perkara pidana. Selain itu, secara substansi aturan mengenai tujuan dan pedoman pemidanaan sudah sesuai dengan teori hukum responsif yang dikemukakan oleh Nonet-Selznick. Hal ini dikarenakan tujuan dan pedoman pemidanaan di dalam UU KUHP membuat hakim tidak hanya berpaku pada teks hukum namun juga kebutuhan dan aspirasi sosial antara korban, terdakwa, dan masyarakat.
Referensi:
[1] I. Kartiwan, “Putusan Hakim Adalah Mahkota Hakim: Oleh: Drs.H.Mahjudi, M.H.I. (22/8) - direktorat jenderal Badan Peradilan agama,” Putusan Hakim Adalah Mahkota Hakim | Oleh: Drs.H.Mahjudi, M.H.I. (22/8) - Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, https://badilag.mahkamahagung.go.id/artikel/publikasi/artikel/putusan-hakim-adalah-mahkota-hakim-oleh-drshmahjudi-mhi-228 (accessed May 11, 2025).
[2] M. Sartika, “Kedudukan Putusan Pengadilan Yang sudah berkekuatan Hukum Tetap Dalam Pembatalan Sertifikat Hak Atas Tanah,” Jurnal Sosial Humaniora Sigli, vol. 2, no. 1, pp. 71–78, Jan. 2020. doi:10.47647/jsh.v2i1.138
[3] N. D. Irmawanti and B. N. Arief, “Urgensi Tujuan Dan pedoman pemidanaan Dalam Rangka Pembaharuan Sistem Pemidanaan Hukum Pidana,” Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia, vol. 3, no. 2, pp. 217–227, May 2021. doi:10.14710/jphi.v3i2.217-227
[4] Muhammad Ramadhan and Dwi oktafia ariyanti, “Tujuan Pemidanaan Dalam Kebijakan Pada Pembaharuan Hukum pidana Indonesia,” Jurnal Rechten : Riset Hukum dan Hak Asasi Manusia, vol. 5, no. 1, pp. 1–6, Mar. 2023. doi:10.52005/rechten.v5i1.114
[5] S. Sulaiman and M. Nasir, “Hukum Responsif: Hukum Sebagai institusi sosial melayani kebutuhan sosial dalam masa transisi,” Ius Civile: Refleksi Penegakan Hukum dan Keadilan, vol. 7, no. 1, p. 94, Apr. 2023. doi:10.35308/jic.v7i1.7570
[6] Arianto, Henry. "Hukum Responsif dan Penegakan Hukum di Indonesia." Lex Jurnalica, vol. 7, no. 2, 2010.
[7] Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, UU No. 8 Tahun 1981, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 76
[8] Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, UU No. 1 Tahun 2023, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 1
[9] Beberapa aspek yang perlu dipertimbangkan hakim dalam menjatuhkan putusan yaitu: (a) Bentuk kesalahan pelaku Tindak Pidana; (b) Motif dan tujuan melakukan Tindak Pidana; (c) Sikap batin Pelaku Tindak Pidana; (d) Tindak pidana dilakukan dengan direncanakan atau tidak direncanakan; (e) Cara melakukan Tindak Pidana; (f) Sikap dan tindakan pelaku sesudah melakukan Tindak Pidana; (g) Riwayat hidup, keadaan sosial, dan keadaan ekonomi pelaku Tindak Pidana; (h) Pengaruh pidana terhadap masa depan pelaku Tindak Pidana; (i) Pengaruh Tindak Pidana terhadap korban atau keluarga korban; (j) Pemaafan dari korban dan/atau keluarga korban; dan/atau (k) Nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat.
[10] Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, UU No. 1 Tahun 2023, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 1
[11] M. Z. Aulia, “Hukum Progresif Dari Satjipto rahardjo,” Undang: Jurnal Hukum, vol. 1, no. 1, pp. 159–185, Jun. 2018. doi:10.22437/ujh.1.1.159-185