Latar Belakang
Masifnya perkembangan teknologi informasi telah mengubah banyak aspek kehidupan, termasuk dalam dinamika bentuk kejahatan. Salah satunya adalah kejahatan yang memanfaatkan teknologi informasi yaitu kejahatan siber (cybercrime). Kompleksitas dan kuantitas kejahatan siber mengalami peningkatan sejalan dengan munculnya berbagai inovasi di bidang teknologi informasi. Indonesia sebagai salah satu negara di dunia dalam populasi pengguna internet yakni sebesar 212 juta pengguna1 saat ini sedang menghadapi tantangan serius dalam menanggulangi tindak pidana di bidang teknologi. Transformasi dalam bidang teknologi informasi yang begitu cepat membuat pelaku tindak pidana dapat melakukan kejahatan dimanapun menembus batas wilayah teritorial negara korbannya.
Kejahatan siber, seperti halnya peretasan (hacking) dan penipuan secara daring (online fraud) dapat menyasar korban lintas negara, sedangkan apabila berpedoman pada asas teritorial dimana keberlakuan hukum nasional terbatas pada wilayah yurisdiksi suatu negara merupakan suatu isu penting karena dalam teknologi modern kejahatan siber tidak mengenal batas wilayah teritorial suatu negara maupun lokasi keberadaan korbannya yang dampaknya dapat dialami di negara yang berbeda dari negara pelaku kejahatan melakukan perbuatannya. Menanggapi isu tersebut, KUHP Nasional (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) telah membawa perubahan signifikan dengan melakukan perluasan yurisdiksi yang dituangkan dalam pasal 4 huruf c KUHP Nasional.
Perluasan yurisdiksi dalam KUHP Nasional merupakan upaya untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan kejahatan lintas batas negara, terutama yang berkaitan dengan teknologi informasi atau kejahatan siber. Perluasan yurisdiksi dalam pasal 4 huruf c KUHP Nasional tersebut dapat dimaknai berlakunya hukum pidana nasional terhadap pelaku kejahatan siber atau tindak pidana lainnya yang dilakukan di negara lain namun berdampak atau terjadi di wilayah teritorial Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selanjutnya perluasan yurisdiksi tersebut memerlukan kajian lebih lanjut terutama mengenai langkah lanjutan yaitu penegakan hukum serta implementasi perluasan asas teritorial tersebut dalam sistem hukum pidana nasional sehingga penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan menjawab dua permasalahan pokok yaitu : pertama, Apakah yang melatarbelakangi adanya perluasan yurisdiksi pada pasal 4 huruf c KUHP Nasional? dan kedua, Apakah implikasi dari perluasan yurisdiksi tersebut khususnya dalam penanggulangan kejahatan siber lintas batas negara terhadap sistem peradilan pidana Indonesia?
Asas Teritorial dan Landasan Perluasan Yurisdiksi Dalam Hukum Pidana Indonesia
Asas Teritorial merupakan salah satu prinsip fundamental mengenai keberlakuan hukum pidana menurut tempat2. Prinsip ini memberikan wewenang kepada setiap negara untuk menerapkan hukumnya bagi setiap individu dan atau badan hukum yang berada di dalam wilayah teritorialnya.3 sehingga asas teritorial memberikan landasan bahwa bagi setiap orang/badan hukum yang melakukan tindak pidana dalam wilayah teritorial Indonesia diterapkan hukum pidana Indonesia, namun seiring dinamisnya perkembangan teknologi informasi beriringan juga dengan munculnya berbagai jenis kejahatan baru yang memanfaatkan teknologi informasi dan menembus batas-batas wilayah teritorial negara dimana kejahatan dapat dilakukan dari luar negeri namun korbannya di dalam negeri, atau sebaliknya.
Terhadap isu mengenai perkembangan kejahatan baru yang memanfaatkan teknologi informasi, negara lain seperti Thailand sebagaimana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidananya telah terlebih dahulu melakukan perluasan yurisdiksi terhadap asas teritorial untuk mengantisipasi kejahatan lintas negara. Dalam Pasal 5 dan 6 pada Criminal Code B.E.2499 (1956) Thailand., menjelaskan lebih rinci mengenai perluasan dari asas teritorial yang menyebutkan bahwa suatu tindak pidana dianggap terjadi di wilayah Thailand apabila sebagian dari unsur-unsur tindak pidana tersebut dilakukan di Thailand dan apabila tindak pidana tersebut menimbulkan dampak di Thailand meskipun tindak pidana tersebut dilakukan di luar Thailand masih termasuk dalam perluasan asas teritorial tersebut.4 Dalam perspektif hukum pidana internasional, konsep perluasan yurisdiksi (extended jurisdiction) atau perluasan asas keberlakuan hukum pidana terhadap kejahatan transnasional seutuhnya berada dalam wilayah kedaulatan negara dan termasuk reserved domain atau yurisdiksi domestik suatu negara dalam batas wilayah internasional sepanjang tidak berbenturan dengan prinsip-prinsip umum yang diakui dalam hukum internasional serta kedaulatan negara lain.5
Konsep perluasan yurisdiksi (extended jurisdiction) tersebut telah diwujudkan dalam pasal 4 huruf c KUHP Nasional telah mengatur secara lebih tegas dengan memperluas asas teritorial untuk berkaitan dengan penegakan hukum atas tindak pidana di bidang teknologi informasi atau tindak pidana lainnya yang perbuatannya dilakukan di luar teritorial Indonesia sejauh dampak dari tindak pidana tersebut dirasakan atau selesai di wilayah hukum Indonesia. Secara teknis, yurisdiksi teritorial tersebut mengalami perluasan yang disebut perluasan teknis obyektif, yaitu suatu negara berwenang memberlakukan hukumnya untuk menuntut dan mengadili pelaku tindak pidana yang beraksi di negara lain, namun berakhir atau berdampak di dalam wilayahnya.6
Perluasan teknis obyektif asas teritorial yang termuat dalam pasal 4 huruf c KUHP Nasional tersebut tidak lepas dari pengaruh asas perlindungan (beschermingsbeginsel). Menurut asas perlindungan berlakunya undang-undang pidana itu bukan tergantung pada tempat di mana perbuatan itu telah dilakukan atau oleh siapa perbuatan tersebut dilakukan, melainkan tergantung pada kepentingan hukum, terhadap kepentingan hukum mana perbuatan yang dapat dihukum itu telah dilakukan.7 Urgensi perluasan teknis obyektif atas asas teritorial tersebut relevan dengan adanya kebutuhan untuk melindungi kepentingan hukum nasional seiring dengan perkembangan teknologi, globalisasi, dan kompleksitas kejahatan modern yaitu kejahatan siber (cyber crime) seperti peretasan (hacking), pencurian data, penyebaran virus malware atau penipuan daring (online fraud) yang sering kali dilakukan oleh pelaku yang berada di luar yurisdiksi negara korban.
Dengan demikian perluasan asas teritorial ini menjadi logis dan mendesak untuk memperluas pemberlakuan hukum pidana nasional agar dapat menjangkau tindak pidana yang berkaitan dengan teknologi karena mayoritas kejahatan siber (cyber crime) tidak mengenal batas geografis.
Implikasi Perluasan Asas Teritorial Dalam Penanganan Kejahatan Siber Lintas Batas Negara terhadap Sistem Peradilan Pidana Indonesia
Setelah berlakunya perluasan asas teritorial dalam pasal 4 huruf c KUHP Nasional, sistem peradilan pidana Indonesia kini telah memiliki dasar untuk mengadili kejahatan siber atau tindak pidana lain yang dilakukan di luar wilayah negara Indonesia namun menimbulkan akibat atau selesai di Indonesia. Hal ini tentu meningkatkan kewenangan aparat penegak hukum namun juga menghadirkan tantangan besar, terutama dalam proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pembuktian hingga penangkapan pelaku untuk disidangkan yang membutuhkan kerja sama lintas sektor dan lintas negara.
Penerapan perluasan asas teritorial terhadap kejahatan siber atau kejahatan lintas batas negara sangat bergantung pada kerja sama internasional dan hubungan diplomatik antar negara. Meskipun dalam hukum internasional terdapat asas resiprositas (timbal balik), namun keberhasilan kerja sama internasional tersebut sulit terealisasi apabila tidak ada perjanjian bilateral ataupun multilateral dalam hal penyerahan pelaku kejahatan, penyidikan, penuntutan hingga pemeriksaan di Pengadilan.8 Dalam perkembangannya Indonesia telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2008 Tentang Pengesahan Treaty On Mutual Legal Assistance In Criminal Matters (Perjanjian Tentang Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana) yang merupakan manifestasi dari asas resiprositas sebagai salah satu upaya untuk merespon isu kompleksitas dan dinamika kejahatan lintas negara. Prinsip hukum internasional memberikan ruang kerjasama dalam penegakan hukum terhadap kejahatan lintas batas salah satunya adalah melalui mekanisme ekstradisi (penyerahan seseorang yang disangka atau dipidana karena melakukan suatu kejahatan oleh satu negara ke negara lain yang meminta untuk mengadilinya). Ekstradisi umumnya didasari oleh perjanjian, namun berdasarkan asas resiprositas, apabila belum terdapat perjanjian, ekstradisi juga dapat dilaksanakan atas dasar hubungan baik.
Meskipun terdapat mekanisme ekstradisi, implementasi perluasan asas teritorial KUHP Nasional tersebut cukup kompleks karena bersinggungan dengan kewajiban setiap negara untuk melindungi warga negaranya dari penerapan hukum negara lain sebagaimana prinsip hukum pidana internasional, termasuk dalam hal warga negara tersebut melakukan tindak pidana di negara lain.9 Contohnya pelaku kejahatan siber warga negara asing menjalankan aksinya di negara lain dan korbannya warga negara Indonesia di Indonesia, walaupun berdasarkan pasal 4 huruf c KUHP Nasional pelaku kejahatan siber tersebut dapat diadili berdasarkan hukum pidana Indonesia namun negara pelaku berdasarkan prinsip hukum internasional tersebut memiliki hak untuk tidak mengabulkan permohonan ektradisi yang diajukan kepadanya. Dengan demikian diperlukan penguatan sistem pada peradilan pidana di Indonesia agar kerja sama antar negara dalam rangka penegakan hukum kejahatan siber lintas negara dapat terwujud sehingga tujuan dari pasal 4 huruf c KUHP Nasional dapat diimplementasikan dengan baik.
Langkah untuk memperkuat sistem peradilan pidana dapat dilakukan melalui harmonisasi regulasi yang sejalan dengan prinsip pidana internasional, peningkatan pemahaman tentang teknologi informasi dan integritas aparat penegak hukum adalah langkah utama membangun kepercayaan dunia internasional terhadap sistem peradilan pidana Indonesia dalam forum, pertemuan tingkat tinggi ataupun konvensi dalam lingkup internasional yang menfasilitasi upaya kerja sama lintas negara dalam proses penegakan hukum yang efektif, efisien dan berkeadilan terhadap kejahatan siber lintas batas.
Penutup
Perluasan asas teritorial melalui pasal 4 huruf c KUHP Nasional merupakan langkah progresif untuk merespon perkembangan teknologi informasi serta kompleksitas kejahatan siber yang sifatnya transnasional dengan memberikan wewenang kepada penegak hukum Indonesia untuk menjerat pelaku kejahatan siber di luar negeri yang dampak dari perbuatannya dirasakan di wilayah Indonesia sebagai reserved domain dari suatu negara sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip hukum internasional. Implikasi perluasan asas teritorial di bidang teknologi informasi mendorong penguatan sistem hukum pidana nasional melalui harmonisasi regulasi dengan prinsip hukum pidana internasional serta yang utama adalah peningkatan kompetensi dan integritas dari aparat penegak hukum merupakan upaya untuk meningkatkan kepercayaan dunia internasional terhadap sistem peradilan pidana Indonesia yang efektif, efisien dan berkeadilan dalam forum ataupun pertemuan internasional yang menfasilitasi upaya kerja sama lintas negara sehingga perluasan asas teritorial dapat diimplementasikan secara efektif sebagai instrumen strategis dalam melindungi masyarakat Indonesia dari ancaman kejahatan siber transnasional.
Referensi
[1] J.Sihombing, “Menkomdigi: Indonesia Pengguna Internet Terbesar di Dunia.” Accessed: Apr. 10, 2025. [Online]. Available: https://www.rri.co.id/nasional/1333395/menkomdigi-indonesia-pengguna-internet-terbesar-di-dunia
[2] E.O.S. Hiariej dan T. Santoso, Anotasi KUHP Nasional, Ke-1. Depok: Rajawali Press, 2025.
[3] Wagiman dan A.S.Mandagi, Terminologi Hukum Internasional, Pertama. Jakarta: Sinar Grafika, 2016.
[4] T.Santoso, Asas Teritorialitas Dalam Hukum Pidana Indonesia: Pengertian Dan Perkembangannya, Jurnal Hukum Pidana & Kriminologi, Vol.1, No.1, pp.17-33, Okt 2020.
[5] A. W. Gunakaya dan M. P. Zenno J, Hukum Pidana Internasional, Pertama. Padang: Takaza Innovatix Labs, 2024.
[6] M.I.Hasan, Kejahatan Transnasional Dan Implementasi Hukum Pidana Indonesia,Lex Crim., Vol.VII, No. 7, pp. 13–20, Sep 2018.
[7] P.A.F.Lamintang and D.Samosir, Hukum Pidana Indonesia, Ketiga. Bandung: Sinar Baru, 1990.
A.C.Kurnia, Penerapan Prinsip Yurisdiksi Universal Terhadap Penegakan Hukum Dalam Tindak Pidana Siber (Cybercrime) Di Indonesia, Universitas Padjajaran, 2018.
[9] L.O.M.Sulihin, Kekuatan Berlakunya Hukum Pidana Nasional Terhadap Warga Negara Indonesia yang Melakukan Tindak Pidana di Negara Lain, Halu Oleo Law Rev., Vol.3, No.2, p. 252, 2019, doi: 10.33561/holrev.v3i2.7105.