IMPLIKASI KONSEPSI PEMAAFAN HAKIM TERKAIT BERLAKUNYA KUHP NASIONAL DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA

11 August 2025 | Fahmiron
Fahmiron

format_quote

Latar Belakang

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang disahkan tanggal 2 Januari 2023 sebagai hukum pidana nasional menandai era baru dalam sistem hukum pidana Indonesia. Jika berbicara mengenai hukum pidana, maka unsur pokoknya adalah mengenai pidana dan pemidanaan dengan filosofi pemidanaan sebagai dasar penjatuhan hukuman bagi terdakwa. Pada KUHP peninggalan kolonial, hukum pidana orientasinya lex talionis (hukum balas dendam), namun dalam KUHP Nasional terjadi perubahan paradigma pemidanaan dari retributif ke Restorative Justice (RJ) . RJ adalah suatu pendekatan atau konsep yang digunakan dalam penyelesaian perkara pidana dengan melibatkan pihak-pihak terkait, seperti korban, pelaku, keluarga, dan masyarakat. Tujuan utamanya adalah menciptakan keadilan dan pemulihan bagi semua pihak melalui proses dialog dan partisipasi bersama.

Sistem pemidanaan kini tidak hanya menitikberatkan pada restorasi dan pemenuhan hak-hak korban yang dirugikan akibat tindak kejahatan, tetapi juga mempertimbangkan aspek keadilan dan nilai kemanusiaan bagi pelaku saat menjatuhkan hukuman. Perkembangan inilah yang kemudian melahirkan gagasan tentang pemaafan oleh hakim (Rechterlijk Pardon) dalam ranah hukum pidana, yang diformulasikan ke dalam Pasal 54 Ayat (2) KUHP Nasional: “Ringannya perbuatan, keadaan pribadi pelaku, atau keadaan pada waktu dilakukan Tindak Pidana serta yang terjadi kemudian dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana atau tidak mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan”.

Walaupun KUHP Nasional telah mengusung paradigma pemidanaan yang bersifat korektif, restoratif, dan rehabilitatif dengan fokus pada pelaku, tetap ada kekhawatiran bahwa konsep pemaafan hakim ini hanya akan menjadi simbol ideal semata atau bahkan sekadar pasal yang tidak dapat diterapkan. Hal ini karena keadilan yang diharapkan dari konsep tersebut sepenuhnya bergantung pada keputusan dan kebijaksanaan hakim . Jika hakim tidak menerapkan konsep ini secara cermat dan bijaksana, maka bukan keadilan yang tercipta, melainkan justru berisiko menimbulkan banyak kasus yang lolos dari hukuman. Jangan sampai keberadaan konsep pemaafan hakim malah membuka peluang bagi seseorang untuk melakukan perbuatan yang dapat dihukum. Berdasarkan latar belakang di atas, maka perlu dianalisis lebih lanjut formulasi kebijakan pemaafan hakim dan tantangannya dalam implementasi KUHP Nasional.

Kebijakan Pemaafan Hakim dan Tantangannya Dalam Implementasi KUHP Nasional

Secara historis, gagasan mengenai pemaafan oleh hakim telah dikenal sejak era Codex Hammurabi. Pada dasarnya, konsepsi pemaafan memberikan wewenang bagi raja untuk memberi ampunan kepada seseorang dalam situasi-situasi tertentu. Tujuan utamanya adalah untuk menjaga keseimbangan antara rasa keadilan dan kepastian hukum . Namun demikian, dalam praktiknya, kewenangan untuk memberikan pengampunan atau pardoning power kerap kali disalahgunakan oleh para raja. Seiring berkembangnya pemikiran tentang pemisahan kekuasaan (separation of power), kewenangan tersebut tidak lagi bersifat mutlak dan perlu diimbangi dengan otoritas dari cabang kekuasaan lain, yakni kekuasaan kehakiman . Dalam perkembangannya, hakim sebagai representasi dari kekuasaan yudisial kemudian diberikan kewenangan untuk memberikan pengampunan kepada pelaku yang bersalah, yang dikenal sebagai judicial pardon . Secara teoritis, judicial pardon merupakan bagian dari kekuasaan diskresi hakim (judicial discretionary power) dengan dua fungsi utama: sebagai alternatif dari hukuman penjara jangka pendek, dan sebagai bentuk koreksi yudisial terhadap prinsip legalitas. Salah satu kasus internasional yang berkontribusi terhadap pemahaman konsep ini adalah kasus Anne Pasquio yang terjadi di Prancis pada 5 Maret 2001. Dalam kasus ini, Anne membunuh anaknya yang mengidap autisme karena kondisi kesehatannya yang semakin parah. Dengan dilandasi rasa kasih sayang, ia memutuskan mendorong anaknya jatuh ke dalam air dari dermaga guna mengakhiri penderitaan si anak . Meskipun motif di balik pembunuhan tersebut adalah rasa kasih, namun secara hukum tidak ditemukan alasan bagi jaksa untuk menghentikan penuntutan, karena tindakan tersebut tergolong sebagai tindak pidana serius dan pelaku belum mencapai usia lanjut yang dapat dijadikan alasan pertimbangan hukum.

Di Indonesia sendiri, praktik judicial pardon (pemaafan hakim) bukan merupakan hal baru. Pengaturannya sudah terdapat dalam Pasal 70 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa "Ringannya perbuatan, keadaan pribadi Anak, atau keadaan pada waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian dapat dijadikan dasar pertimbangan hakim untuk tidak menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan". Ketentuan Pasal 70 UU SPPA hanya berlaku bagi kasus kejahatan yang dilakukan oleh mereka yang berusia di bawah 18 tahun. Selanjutnya, prinsip serupa juga diakomodasi dalam Pasal 54 ayat (2) KUHP Nasional.

Ketentuan mengenai pemaafan hakim dalam Pasal 54 ayat (2) KUHP Nasional berperan sebagai acuan dalam proses pemidanaan di sistem peradilan pidana Indonesia. Pasal ini secara tegas memberikan kewenangan kepada hakim untuk memutus perkara tanpa menjatuhkan hukuman atau tindakan tertentu kepada terdakwa, meskipun ia terbukti melakukan tindak pidana. Keputusan tersebut didasarkan pada pertimbangan lima aspek, yakni: Pertama, tingkat keseriusan dari perbuatan yang dilakukan. Kedua, kondisi pribadi pelaku. Ketiga, situasi saat tindak pidana terjadi. Keempat, perkembangan yang terjadi setelah peristiwa pidana dan kelima, nilai-nilai keadilan serta kemanusiaan . Pasal ini dirancang sebagai respons terhadap keluhan masyarakat mengenai penanganan perkara pidana ringan yang tetap dijatuhi hukuman, padahal semestinya hakim memiliki kesempatan memberikan pengampunan kepada terdakwa kasus tipiring. Meski demikian, sebagai pemegang kekuasaan kehakiman tertinggi, hakim dituntut untuk bersikap bijaksana dan teliti dalam menerapkan ketentuan Pasal 54 ayat (2). Hal ini penting karena unsur-unsur yang tercantum dalam pasal tersebut bersifat alternatif, bukan kumulatif—artinya, terpenuhinya salah satu unsur saja sudah cukup bagi hakim untuk menjatuhkan putusan berupa Rechterlijk Pardon. Oleh karena itu, apabila hakim tidak hati-hati dan arif dalam menggunakan kewenangan ini, maka keadilan yang diharapkan justru bisa tergantikan oleh munculnya banyak perkara yang lolos dari pertanggungjawaban pidana.

Jika ditelaah dari sudut pandang teori keadilan restoratif, formulasi kebijakan mengenai pemaafan hakim dalam KUHP Nasional menimbulkan setidaknya dua implikasi dalam penerapannya. Implikasi pertama berkaitan dengan terdakwa yang secara sah dan meyakinkan terbukti melakukan perbuatan pidana, namun kemudian diberikan pemaafan oleh hakim. Dalam konteks keadilan restoratif, pemaafan tersebut seharusnya didasarkan pada persetujuan atau pemberian maaf dari korban terlebih dahulu, hingga dalam penerapan Pasal 54 ayat (2) KUHP Nasional, idealnya perlu ditambahkan ketentuan yang mensyaratkan adanya persetujuan dari korban dan/atau keluarga korban sebelum hakim dapat memberikan pemaafan. Implikasi kedua, apabila majelis hakim memiliki keyakinan yang kuat bahwa terdakwa layak mendapatkan pemaafan, tetapi korban menolak memberikan persetujuan, maka perlu diatur mekanisme hukum untuk meninjau penerapan keputusan tersebut. Salah satu opsi yang bisa digunakan adalah upaya hukum berupa kasasi. Dasar pertimbangannya adalah bahwa konsekuensi hukum dari putusan pemaafan hakim serupa dengan putusan bebas, karena keduanya sama-sama membebaskan terdakwa. Oleh karena itu, penggunaan upaya hukum kasasi dari pengadilan tingkat pertama (Pengadilan Negeri) langsung ke Mahkamah Agung dianggap wajar dan beralasan, agar dapat dilakukan peninjauan atas penerapan hukum oleh hakim dalam pemberian pemaafan tersebut—apakah sudah tepat atau tidak.

Penutup

Kebijakan pemaafan oleh hakim (rechterlijke pardon) merujuk pada hak yang diberikan kepada hakim untuk mengampuni terdakwa yang terbukti bersalah atas tindakan pidana, sebagaimana diatur dalam Pasal 54 ayat (2) KUHP Nasional sebagai suatu pedoman penjatuhan sanksi yang sebelumnya tidak terdapat pada KUHP (WvS). Dalam perspektif teori keadilan restoratif, regulasi pemaafan hakim menimbulkan dua implikasi: pertama, pemberian pemaafan hakim wajib terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari korban atau keluarganya. Kedua, jika pihak korban tidak menyetujui penerapan pemaafan hakim, maka upaya hukum yang dapat digunakan adalah kasasi.

 

Referensi

[1] Eddy O.S Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana Edisi Penyesuaian KUHP Nasional. Depok: Rajawali Pers, 2024.

[2] Muhammad Rif’an Baihaky and Muridah Isnawati, “Restorative Justice: Pemaknaan, Problematika, dan Penerapan yang Seyogianya,” Unes Journal of Swara Justisia, vol. 8, no. 2, pp. 276–289, Jul. 2024, doi: 10.31933/4mqgaj17.

[3] A. A. Saputro, “KONSEPSI RECHTERLIJK PARDON ATAU PEMAAFAN HAKIM DALAM RANCANGAN KUHP *.”

[4] “BKU : Hukum Sistem dan Peradilan Pidana PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA 2021.”

[5] Mochamad Januar Rizki, “Melihat Ketentuan Pemaafan Hakim dalam KUHP Baru,” pp. 1–2, 2024.

[6] “Peluang dan Tantangan Penerapan Restorative Justice dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia.”

[7] M. I. Nasution, M. Ali, and F. Lubis, “Pembaruan Sistem Pemidanaan di Indonesia: Kajian Literatur atas KUHP Baru,” Judge : Jurnal Hukum, vol. 05, 2024, doi: 10.54209/judge.v5i02.xxx.