Latar Belakang
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Nasional) membawa perubahan yang prinsipil, terutama dengan memuat asas, prinsip, teori, dan doktrin hukum pidana pada Buku kesatu. Salah satu perubahan mendasar adalah penerapan ide keseimbangan monodualistik, yang memadukan asas legalitas (berorientasi pada perbuatan) dan asas culpabilitas (berorientasi pada kesalahan). KUHP Nasional menganut ajaran dualistis yang secara tegas memisahkan antara tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana. Perubahan ini memperjelas konsep pertanggungjawaban pidana dalam KUHP Nasional. Rumusan Pasal 36 Ayat (1) KUHP Nasional merupakan pengejawantahan dari Asas Geen Straf Zonder Schuld yang dipertegas dalam Penjelasan Pasal tersebut dengan menyebutkan bahwa “Ketentuan ini menegaskan prinsip tiada pidana tanpa kesalahan…”. Terhadap ketentuan pasal tersebut, pembentuk undang-undang memberikan pengertian bahwa seseorang dapat dipertanggungjawabkan secara pidana jika melakukan tindak pidana dengan kesalahan.
Meski KUHP Nasional mengatur ide keseimbangan antara perbuatan dan kesalahan, ketiadaan secara expressive verbis rumusan unsur kesengajaan dalam formulasi tindak pidana (Buku kedua) berpotensi menimbulkan kesulitan dalam implementasi. KUHP Nasional tidak memberikan definisi tentang “kesengajaan” dan tidak dicantumkannya secara expressive verbis unsur ini dalam rumusan tindak pidana di Buku kedua, mengakibatkan pembuktian atas unsur kesengajaan menjadi bias dalam praktik penegakan hukum, termasuk dalam proses penjatuhan putusan oleh Hakim.
Kesenjangan hukum (legal gaps) tersebut memerlukan penelitian lebih lanjut, dimana penelitian ini bertujuan untuk menjawab tiga permasalahan pokok: pertama, apakah unsur kesengajaan perlu diformulasikan dalam rumusan tindak pidana? Kedua, bagaimana membuktikan kesalahan di dalam proses peradilan pidana? Ketiga, bagaimana implikasi asas tiada pidana kesalahan terhadap putusan pengadilan? Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kesalahan sebagai persyaratan dapat dipidananya seseorang, menganalisis proses pembuktian terhadap kesalahan, serta merumuskan konsep asas tiada pidana tanpa kesalahan implikasinya terhadap putusan pengadilan. Tulisan ini memiliki unsur kebaruan (novelty) yang memiliki ide atau gagasan baru yang berbeda dari tulisan sebelumnya, yakni tulisan dari Dr. H. Prayitno Iman Santosa, S.H., M.H., (Hakim Tinggi pada Pengadilan Tinggi Riau), yang berjudul “Implikasi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP Terhadap Pertanggungjawaban Pidana Dalam Putusan Hakim” yang termuat dalam JDIH Mahkamah Agung. Dalam tulisan ini, penulis lebih menekankan pada cara membuktikan kesengajaan pada pemeriksaan persidangan meskipun unsur kesengajaan ini tidak tercantum dalam rumusan pasal, selain itu penulis juga akan memberikan perspektif baru berupa guideline bagi Hakim dalam menjatuhkan putusan bilamana kesalahan dalam bentuk kesengajaan tidak terbukti.
Formulasi unsur Kesengajaan dalam Rumusan Tindak Pidana
Secara normatif, Pasal 36 KUHP Nasional menyatakan bahwa asas tiada pidana tanpa kesalahan sebagai landasan utama pertanggungjawaban pidana. Menurut ketentuan Pasal 36 ayat (1) KUHP Nasional bahwa Kesalahan terdiri dari kesengajaan dan kealpaan, di mana kesengajaan dianggap melekat pada setiap tindak pidana, sedangkan kealpaan hanya diakui jika diatur secara tegas dalam undang-undang sebagaimana diatur dalam penjelasan Pasal 36 Ayat (2) KUHP Nasional. Pada dasarnya, Pertanggungjawaban pidana berbeda secara fundamental dari tindak pidana, karena tindak pidana merujuk pada perbuatan yang dilarang, sementara pertanggungjawaban pidana berfokus pada keadaan pribadi si pembuat yang memerlukan pembuktian adanya unsur kesalahan, adanya kemampuan bertanggungjawab dan tidak adanya alasan pemaaf sebagai syarat pemidanaan. Dengan demikian, pemidanaan tidak hanya bergantung pada fakta bahwa seseorang telah melakukan perbuatan yang diancam pidana, tetapi juga harus dibuktikan adanya kesalahan sebagai unsur dari pertanggungjawaban pidana.
Proses Pembuktian Kesalahan dalam Peradilan Pidana
KUHP Nasional tidak mendefinisikan unsur kesengajaan maupun mencantumkannya dalam rumusan tindak pidana di Buku kedua, namun jika mengacu pada Penjelasan Pasal 36 Ayat (2) KUHP Nasional, diwajibkan untuk membuktikan adanya kesengajaan pada setiap tahap pemeriksaa. Untuk membuktikan unsur kesengajaan yang tidak tercantum dalam rumusan pasal tersebut, diperlukan analisis mengenai batas-batas kesengajaan. MvT atau Memorie van Toelichting, telah memberikan batas mengenai kesengajaan yang dikenal dengan istilah “willens en wetens” (menghendaki dan mengetahui). Ketentuan tersebut memunculkan dua teori, yaitu Teori Kehendak yang menitik beratkan pada kehendak (willen) dan Teori pengetahuan yang menekankan pada unsur mengetahui (welen). Menurut ketentuan MvT, untuk membuktikan unsur kesengajaan diperlukan suatu fakta bahwa tindak pidana yang dilakukan tersebut harus dikehendaki dan diketahui oleh si pembuat dan tidak cukup dengan terpenuhinya rumusan pasal tindak pidana. Dengan demikian, meskipun unsur “kesengajaan” tidak tercantum secara expressive verbis dalam rumusan pasal, namun Hakim dalam hal ini tetap wajib membuktikannya melalui proses analisis dengan menggunakan teori kehendak dan teori pengetahuan.
Implikasi Asas Tiada Pidana Kesalahan terhadap Putusan Pengadilan
Proses paling menentukan di dalam sistem peradilan pidana setelah dilakukannya pemeriksaan persidangan adalah putusan pengadilan. Di dalam hukum acara pidana, dikenal 3 (tiga) jenis putusan, yakni putusan pemidanaan, putusan bebas dan putusan lepas. Dalam konteks pertanggungjawaban pidana, kesalahan memiliki peran krusial untuk menentukan dapat dipidananya seseorang terlebih dalam proses penjatuhan putusan. Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa “Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan, karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya” dan Pasal 183 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyatakan “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.” Kedua ketentuan ini menggariskan secara expressive verbis bahwa adanya kesalahan dan adanya kemampuan bertanggungjawab sebagai syarat dapat dipidananya seseorang disamping terpenuhinya minimum pembuktian dan keyakinan hakim. Artinya, tidaklah cukup untuk memidana seseorang atas dasar diperolehnya dua alat bukti yang sah dan keyakinan hakim saja, melainkan harus dibuktikan pula bahwa Terdakwa memiliki kesalahan. Sudarto memberikan beberapa persyaratan agar seseorang dinyatakan bersalah, yaitu adanya kemampuan bertanggungjawab, adanya kesalahan dan tidak adanya alasan pemaaf. Pasal 193 ayat (1) KUHAP menyebutkan “Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana”, artinya kesalahan merupakan syarat utama dijatuhi putusan pemidanaan. Berdasarkan uraian tersebut, Penulis berpandangan untuk menjatuhkan putusan pemidanaan, harus memenuhi setidaknya 3 (tiga) syarat secara kumulatif, yaitu terpenuhinya minimum pembuktian, keyakinan Hakim dan adanya kesalahan dalam diri Terdakwa. Sedangkan Pasal 191 ayat (1) KUHAP menyebutkan “...kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa dakwa diputus bebas.” Ketentuan ini secara expressive verbis menyebutkan frasa “kesalahan” yang dapat dimaknai sebagai bentuk kesengajaan atau kealpaan maupun dimaknai kemampuan bertanggungjawab dan tidak adanya alasan pemaaf. Pada penjelasan Pasal 191 ayat (1) KUHAP tidak memberi penjelasan mengenai kesalahan, melainkan hanya menyebutkan mengenai minimum pembuktian dan keyakinan Hakim saja. Hal serupa juga disampaikan oleh Yahya Harahap yang menekankan bahwa putusan bebas ini dimaknai pada tiga hal, yakni perbuatan terdakwa tidak terbukti sama sekali, tidak memenuhi syarat minimum pembuktian dan tidak adanya keyakinan hakim. Penulis menambahkan, selain daripada tiga hal tersebut, putusan bebas juga dapat dimaknai tidak adanya kesalahan dalam diri Terdakwa. Berbeda dengan putusan lepas yang diatur dalam Pasal 191 ayat (2) KUHAP, yang tidak menyebutkan kesalahan secara expressive verbis dalam formulasinya. Berdasarkan uraian diatas, untuk dapat dijatuhi putusan pemidanaan, selain terpenuhinya minimum pembuktian dan keyakinan Hakim, Terdakwa harus dinyatakan bersalah. Begitu juga jika Terdakwa tidak bersalah, maka putusan yang dapat dijatuhkan adalah putusan bebas.
Penutup
Unsur kesengajaan seharusnya dirumuskan secara expressive verbis pada bagian pertanggungjawaban pidana, bukan melekat pada tindak pidana itu sendiri. Hal ini sesuai dengan asas “Geen Straf Zonder Schuld” dalam Pasal 36 KUHP Nasional, yang menekankan bahwa pemidanaan memerlukan pembuktian kesalahan, kemampuan bertanggung jawab, dan tidak adanya alasan pemaaf. Pendekatan dualistis yang memisahkan tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana diperlukan untuk menjamin kejelasan dan kepastian hukum dalam penegakan hukum pidana.
Meskipun KUHP Nasional tidak mendefinisikan secara expressive verbis unsur kesengajaan maupun mencantumkannya dalam rumusan tindak pidana di Buku Kedua, Penjelasan Pasal 36 ayat (2) mewajibkan pembuktiannya dalam setiap tahap pemeriksaan. Untuk membuktikan kesengajaan, diperlukan analisis terhadap batas-batasnya, sebagaimana dijelaskan dalam Memorie van Toelichting melalui konsep willens en wetens (menghendaki dan mengetahui). Hal ini melahirkan dua teori, yakni Teori Kehendak dan Teori Pengetahuan, yang masing-masing menekankan pada aspek kehendak dan pengetahuan si pembuat. Oleh karena itu, meskipun tidak tercantum secara expressive verbis dalam rumusan pasal, unsur kesengajaan tetap harus dibuktikan oleh hakim melalui pendekatan kedua teori tersebut.
Dalam sistem peradilan pidana, putusan pengadilan (pemidanaan, bebas, atau lepas) sangat bergantung pada asas tiada pidana tanpa kesalahan. Untuk menjatuhkan putusan pemidanaan, tiga syarat kumulatif harus terpenuhi, yakni minimum pembuktian (dua alat bukti sah), keyakinan hakim, dan terbuktinya kesalahan terdakwa (meliputi kesengajaan atau kealpaan, kemampuan bertanggung jawab, dan tidak adanya alasan pemaaf). Jika kesalahan terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, meskipun minimum pembuktian atau keyakinan hakim terpenuhi, maka putusan yang dijatuhkan adalah putusan bebas. Sementara itu, putusan lepas tidak secara expressive verbis menyebutkan kesalahan. Dengan demikian, kesalahan menjadi elemen krusial dalam menentukan pertanggungjawaban pidana dan jenis putusan yang dijatuhkan.
Referensi
[1] Barda Nawawi Arief, PERKEMBANGAN ASAS-ASAS HUKUM PIDANA INDONESIA (Perspektif Perbandingan Hukum Pidana). Semarang: Universitas Diponegoro, 2018.
[2] Lukman Hakim, ASAS-ASAS HUKUM PIDANA. Sleman: Deepublish, 2020.
[3] Barda Nawawi Arief, PELENGKAP HUKUM PIDANA I, Revisi ke-1. Semarang: Pustaka Magister Semarang, 2012.
[4] Eddy O.S. Hiariej dan Topo Santoso, ANOTASI KUHP NASIONAL. Depok: Rajawali Pers, 2025.
[5] M. Yahya Harahap, PEMBAHASAN DAN PERMASALAHAN KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali), Kedua. Jakarta Timur: Sinar Grafika, 2021.