Happy Ending Verdict Pidana: Solusi Penerapan Judicial Pardon KUHP Nasional Dalam Mengurangi Cognitive Dissonance

13 August 2025 | Mula Warman Harahap
Mula Warman Harahap

format_quote

Latar Belakang

Judicial pardon secara umum dipahami sebagai kewenangan yang memperkenankan hakim untuk memberikan pengampunan dalam putusan, sekalipun terdakwa secara hukum terbukti bersalah, meskipun kadang dianggap sebagai pengecualian terhadap kepastian hukum, judicial pardon justru dapat memperkuat legitimasi hukum karena memberikan ruang bagi prinsip equity untuk beroperasi dalam situasi di mana penerapan hukum secara kaku berpotensi menimbulkan ketidakadilan, pembentukan KUHP yang baru membawa angin segar dalam wajah hukum pidana Indonesia, khususnya melalui Pasal 54 ayat (2) yang secara eksplisit memberikan dasar normatif bagi hakim untuk menjatuhkan putusan berdasarkan pendekatan yang lebih manusiawi dan berkeadilan. Dalam pasal ini, hukum tidak hanya menyangkut teks dan logika, tetapi juga mengintrodusir nilai-nilai keadilan sosial, empati, dan kemanusiaan dalam proses pemidanaan.[1]

Dalam praktiknya, ruang sidang tidak hanya menjadi arena pembacaan teks hukum, melainkan panggung pertunjukan intelektual dan batiniah yang dialami oleh para hakim,[2] perlu disadari selalu jika hakim bukan semata sebagai penjaga teks undang-undang, tetapi sebagai manusia yang dikelilingi oleh keyakinan moral, motivasi, reputasi, serta loyalitas terhadap hukum itu sendiri, melalui tulisannya, Mikolaj Pietrzyk mengajak kita menyingkap tirai formalitas peradilan,[3] sebuah pendekatan yang mengungkap kenyataan yang jarang diakui, bahkan sering tidak terendus oleh kesadaran hukum, kita harus belajar bersikap jujur dan polos seperti anak kecil, untuk mengakui satu hal penting bahwa dalam bersidang hakim tidak hanya menafsirkan hukum, tetapi juga kerap harus berdamai dengan batinnya sendiri dalam proses menjatuhkan putusan, hakim dalam mengadili perkara sering berusaha mengukur kepantasan tentang apakah terdakwa memang layak dihukum? namun, realitas menunjukkan upaya menakar kepantasan itu hanya angan-angan, sistem saat ini menuntut hakim untuk tunduk pada kekakuan formalisme, ketika bestanddeel berhasil dibuktikan oleh penuntut umum dan hakim meyakini bahwa terdakwa adalah pelakunya maka tidak ada ruang lagi untuk menggali lebih dalam sisi manusiawi dari pelaku.

Dalam kondisi pertentangan batin semacam ini, hakim terjebak dalam kontradiksi internal.[3] Untuk menyelamatkan dirinya dari kegentingan psikologis, hakim mencari solusi yang dapat meredam gejolak moral pada dirinya, solusi itu dengan menyandarkan putusan kepada apa yang tampak benar menurut hukum (formil), hal ini menjadi masalah sehingga perlu dikaji dan dijawab dalam beberapa rumusan permasalahan, pertama, jika solusinya adalah penerapan judicial pardon, bagaimana penerapan judicial pardon yang ideal? kedua, bagaimana judicial pardon dapat menjawab cognitive dissonance pada hakim? pertanyaan ini adalah undangan untuk kita semua guna memahami bahwa hukum selalu ditegakkan oleh manusia, bukan mesin, dalam kemanusiaan itu, tersimpan kejujuran yang mendalam bahwa demi menjaga kewarasan batin dan harmoni sosial, keputusan yang benar menurut hukum formil adalah kompromi terbaik yang bisa dicapai antara teks, hati nurani, dan citra diri. Dalam tulisan ini akan dijawab serta dicari solusi tepat mengenai penerapan dan bagaimana implikasi berlakunya judicial pardon dalam sistem peradilan pidana indonesia.

Le Moment Decisif: Strategi Naratif Putusan Dalam Judicial Pardon

Judicial pardon sejatinya dapat menjadi petaka, jika tidak dibarengi dengan strategi yang cukup, terdakwa dalam teori kriminologi sudah mendapat label negatif dalam masyarakat ketika tindakan pro-yustitia dilakukan (labelling theory, Howard Becker), lalu bayangkan pengadilan menyatakan terdakwa dimaafkan kendati terbukti, apakah tidak menjadi berbahaya? hal ini karena tidak semua masyarakat mampu membaca putusan secara komprehensif, terlebih masyarakat layman (masyarakat awam) yang sudah barang tentu hanya mengkonsumsi hasil putusan berdasarkan hasil penuturan atau membaca atau mendengar berita semata, atau kalaupun membaca putusan hampir dipastikan hanya akan membaca amar putusan, maka solusi yang dapat penulis tawarkan adalah dengan membuat format amar putusan yang komunikatif terkhusus dalam putusan judicial pardon, hal ini dapat dilakukan dengan memasukkan le moment decisif (menjelaskan secara singkat momen krusial yang membuat tindakan pidana dilakukan, agar pembaca merasakan dimensi manusiawi dari terdakwa) dalam amar putusan, sebagai contoh, ”menyatakan terdakwa tersebut di atas, terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pencurian sebagaimana dalam dakwaan alternatif kesatu”serta pada bagian tertentu pada amar ditambahkan”namun, dengan mempertimbangkan bahwa perbuatan tersebut dilakukan dalam situasi yang sangat terdesak, yaitu untuk memenuhi kebutuhan hidup istri yang sedang hamil dalam keadaan kelaparan, yang telah memunculkan konflik moral dalam diri terdakwa yang kemudian mendorongnya melakukan perbuatan tersebut, majelis hakim berpendapat memberikan maaf kepada perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa”. Pemberian penjelasan semacam ini akan memberikan kesan putusan yang lebih komunikatif serta sedikit banyak dapat mengikis peluang terjadinya salah paham antara apa yang ingin dihadirkan oleh pengadilan dengan apa yang dipahami oleh masyarakat, dengan menambahkan narasi semacam ini, putusan tidak hanya terlihat tegas secara hukum, tetapi juga jelas dan jernih secara moral. Hal ini memberikan ruang bagi masyarakat untuk memahami bahwa yang dimaafkan bukanlah kejahatan itu an sich, melainkan kondisi manusiawi yang menyertainya. Lebih jauh, narasi yang komunikatif semacam ini dapat mengurangi potensi kemarahan sosial, memperkuat legitimasi putusan,[4] menghilangkan kontradiksi batin pada hakim, serta menjaga wibawa lembaga peradilan di tengah masyarakat yang semakin kritis dan menyorot proses hukum.

Judicial Pardon dan Cognitive Dissonance

Pasal 54 ayat (2) KUHP Nasional menghadirkan kebaharuan dalam sistem pemidanaan Indonesia. Pasal ini membuka ruang bagi hakim untuk tidak menjatuhkan pidana atau tidak mengenakan tindakan, meskipun terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana. Pertimbangannya bukan sekadar pada aspek hukum positif, tetapi berakar pada sisi kemanusiaan dan keadilan substantif. Di sinilah muncul satu titik terang bagi wajah hukum Indonesia, hukum tidak lagi semata-mata tentang benar salah atau hitam putih, melainkan juga tentang layak atau tidaknya seseorang menerima hukuman dalam konteks yang lebih luas dari sekadar teks normatif. Penjelasan pasal ini secara implisit bermakna asas rechterlijke pardon, atau dalam istilah yang lebih populer dikenal sebagai judicial pardon. Ini adalah asas yang memberikan kewenangan kepada hakim untuk "memaafkan" pelaku tindak pidana ringan, dengan tetap menyatakan bahwa terdakwa memang terbukti bersalah. Artinya, pengampunan tersebut tidak menihilkan perbuatan pidana melainkan menjadi manifestasi dari belas kasih hukum terhadap manusia yang hidup dalam kompleksitas sosial dan personal yang tidak selalu bisa dirangkum dalam pasal-pasal hukum yang sumir. Penolakan terhadap reifikasi hukum semacam ini adalah sebuah kemajuan atau lompatan yang baik bagi hakim dalam bertugas sebagai penghasil keadilan. Secara filosofis, judicial pardon dalam Pasal 54 ayat (2) adalah perwujudan dari pemahaman bahwa hukum tidak boleh kehilangan wajah manusianya. Hakim tidak sekadar menjadi (bouch de la loi), tetapi juga penyeimbang antara kepastian dan keadilan. Dalam situasi tertentu, ketika pelaku memiliki kondisi pribadi yang patut dipertimbangkan, ketika tindak pidana terjadi dalam tekanan hidup yang berat, atau ketika akibat dari pemidanaan justru akan merusak lebih banyak ketimbang memperbaiki, hakim diberi ruang untuk menempuh jalan yang bijaksana. Dengan demikian, Pasal 54 ayat (2) bukan hanya sekadar pasal normatif, tetapi sebuah penegasan etis bahwa hukum tidak buta, dan bahwa dalam batas-batas tertentu, hukum dapat memilih untuk mengampuni demi kemanusiaan. Inilah wajah progresif KUHP Nasional yang tidak lagi semata menghukum tetapi juga berani memberi maaf. Sementara itu, Dalam praktik peradilan, hakim sering berada dalam posisi dilematis, di satu sisi ia terikat pada teks hukum, di sisi lain ia dihadapkan pada situasi konkret yang menuntut keadilan. Dalam artikel In Search of a Happy Ending in Legal Interpretation, Mikołaj Pietrzyk menguraikan bahwa konflik semacam ini memicu apa yang disebut sebagai cognitive dissonance,[3] yaitu ketegangan psikologis akibat ketidaksesuaian antara apa yang diyakini, diketahui, dan dilakukan seseorang, yang dalam tulisan ini adalah hakim. Judicial pardon adalah mekanisme hukum yang memungkinkan hakim menyeimbangkan konflik antara teks hukum dan keadilan, misalnya, dalam perkara pidana ringan di mana unsur-unsur delik terpenuhi tetapi terdakwa adalah nenek tua yang mencuri makanan untuk bertahan hidup, putusan bersalah bisa menciptakan disonansi hebat, di sinilah judicial pardon menjadi jalan keluar (exit gate), hakim tetap menyatakan perbuatan itu melawan hukum (menjaga kepatuhan pada teks), tetapi menggunakan kewenangan pengampunan yudisial untuk menihilkan hukuman terdakwa demi rasa keadilan guna mencegah cognitive dissonance dalam dirinya.[5]

Penutup

Judicial pardon bukan sekadar alternatif pemidanaan, melainkan cerminan kematangan hukum yang mengakui kompleksitas manusia dan keterbatasan nalar normatif. Dalam realitas peradilan, hakim tidak hanya menafsir pasal, tetapi juga bergulat dengan konflik batin dan tekanan sosial. Di sinilah judicial pardon berfungsi sebagai jembatan antara legalitas dan moralitas, menghadirkan keadilan substantif yang lebih manusiawi. Dalam kerangka cognitive dissonance, ia menjaga integritas batin hakim, menyatukan teks hukum, nurani, dan tanggung jawab sosial. Pasal 54 ayat (2) KUHP menegaskan jika hukum bukan hanya alat menghukum, tetapi juga sarana memaafkan secara jujur dan bermartabat.

Referensi

[1] J. G. Moore, “Hart, Radbruch and the Necessary Connection Between Law and Morals,” Law Philos., vol. 39, no. 6, pp. 691–704, 2020, doi: 10.1007/s10982-020-09382-7.

[2] N. Johnson, “Legality’s Law’s Empire,” Law Philos., vol. 39, no. 3, pp. 325–349, 2020, doi: 10.1007/s10982-020-09374-7.

[3] M. Pietrzyk, “In Search of a ‘ Happy Ending ’ in Legal Interpretation : Cognitive Dissonance in Judicial Decision ‑ Making,” Int. J. Semiot. Law - Rev. Int. Sémiotique Jurid., no. 0123456789, 2025, doi: 10.1007/s11196-025-10247-2.

[4] C. Ghigheci, “Legality and Equity in Judicial Activity,” Juridical Trib. - Rev. Comp. Int. Law, vol. 14, no. 2, pp. 286–300, 2024, doi: 10.62768/TBJ/2024/14/2/07.

[5] L. Ayoub, “Judicial Activism in the Evolution of a Judicial Function for the International Courts: The Role of Compétence de la Compétence,” Netherlands Int. Law Rev., vol. 69, no. 1, pp. 29–55, 2022, doi: 10.1007/s40802-022-00212-2.