Latar Belakang
Sebagai sebuah profesi di masyarakat, hakim berperan sangat penting dalam menegakkan hukum dan keadilan di masyarakat. Selain itu, hakim juga mempunyai peran dalam menjaga demokrasi dan hak asasi manusia di dalam suatu negara. Namun, tidak semua hakim menyadari perannya seperti itu. Beberapa hakim ada yang merasa tugasnya sudah selesai ketika berhasil menegakkan undang-undang. Padahal, pada hakikatnya hakim bukanlah corong dari undang-undang. Hakim dengan putusannya bisa mendorong terciptanya perubahan sosial yang sangat fundamental. Dalam artikel ini, penulis akan menjelaskan bahwa hakim yang bisa mendorong perubahan sosial bisa dikatakan termasuk dalam klasifikasi intelektual organik sebagaimana yang dijelaskan oleh Antonio Gramsci.
Intelektual Tradisional dan Intelektual Organik
Sebagai salah satu pemikir aliran Marxisme, Antonio Gramsci mempunyai perspektif yang unik tentang peran intelektual dalam suatu masyarakat. Bagi Gramsci, semua orang adalah intelektual yang mampu menggunakan pemikirannya secara rasional namun hanya sedikit yang mau mendorong masyarakat ke arah kemajuan. Gramsci berpandangan bahwa untuk bisa mendorong masyarakat para intelektual tidak boleh hanya sekedar mengajarkan ilmu saja kepada masyarakat namun harus mampu menciptakan hegemoni agar masyarakat terdorong untuk maju. Hegemoni ini yang menurut Gramsci menjadi penyebab kegagalan kaum proletar mengambil alih kepemimpinan kaum borjuis karena kaum proletar tidak mampu melawan hegemoni ide kapitalisme yang merupakan jiwa kaum borjuis.1
Oleh sebab itu, menurut Gramsci jenis intelektual dibagi menjadi dua yaitu intelektual tradisional dan intelektual organik. Intelektual tradisional yaitu intelektual “menara gading” yang terisolasi dari kehidupan sosial di masyarakat. Intelektual jenis ini hanya berkutat pada teori-teori yang tidak mempunyai implikasi terhadap perubahan sosial di masyarakat. Pada umumnya, intelektual seperti ini apatis terhadap situasi sosial yang sedang terjadi. Intelektual tradisional sangat berbeda dengan intelektual organik. Intelektual organik dalam hal ini adalah intelektual yang berkutat dengan hal-hal yang praksis di masyarakat. Intelektual organik berupaya agar pengetahuannya dapat diterapkan di masyarakat dan untuk menghancurkan dogma-dogma yang tertanam di pikiran masyarakat sehingga masyarakat dapat bebas dan berdaya dalam mengekspresikan apa yang dirasakannya. Intelektual organik tidak berada di ruang hampa. Ia senantiasa berada di ruang publik yang dinamis dan dialektis dalam kehidupan sosial masyarakat.2
Putusan Hakim: Produk Intelektual
Dengan menggunakan perspektif Gramscian, penulis melihat bahwa hakim bisa menjadi intelektual organik apabila putusan hakim bisa mendorong perubahan sosial di masyarakat. Menurut penulis, putusan hakim merupakan produk intelektual seorang hakim yang bisa menghegemoni apabila menurut masyarakat putusan tersebut sesuai dengan nilai dan keadilan oleh publik. Di Amerika Serikat contohnya putusan Brown vs Board of Education3 yang menghapuskan segregasi rasial di sekolah publik karena hukum Jim Crow (Jim Crow Law)4. Hapusnya hukum Jim Crow kemudian menginspirasi gerakan sipil di Amerika Serikat dengan lahirnya seorang sosok yaitu Martin Luther King Jr. Di Indonesia sendiri terdapat juga putusan yang menurut penulis progresif. Salah satunya adalah putusan yang berkaitan dengan hukum kewarisan adat. Terdapat beberapa putusan yang secara konsisten menyamakan hak antara pria dan wanita terkait dengan hak untuk mewarisi sesuatu sehingga perempuan berhak memperoleh warisan yang sama dengan pria. Oleh sebab itu, putusan tersebut sudah dijadikan yurisprudensi oleh Mahkamah Agung Nomor 3/Yur/Pdt/2018.
Selain itu, terdapat juga putusan yang menurut penulis progresif yaitu putusan MA Nomor 1253K/Sip/1973 tanggal 14 Oktober 1976 yang mengubah bunga bank yang diperjanjikan yaitu 20% namun karena dianggap bertentangan dengan kemanusiaan dan keadilan Mahkamah Agung akhirnya mengubah bunga bank yang wajar yaitu sebesar 3%5. Terdapat juga putusan MA Nomor 1022 K/Pdt/2006 yang pertimbangannya Majelis Hakim berpendapat perbuatan tidak menebang pohon mangga termasuk dalam perbuatan melawan hukum karena berpotensi merugikan seseorang apabila pohon tersebut tidak ditebang oleh pemiliknya6. Di dalam putusan ini Mahkamah Agung menganggap perbuatan yang berpotensi merugikan bisa dinyatakan bersalah dan dapat dimintai pertanggungjawaban. Di dalam ranah hukum pidana, putusan progresif juga bisa dilihat di putusan MA Nomor 395 K/PID/1995 yang membebaskan terdakwa Muchtar Pakpahan. Di dalam pertimbangannya Majelis Hakim berpendapat perbuatan Terdakwa yaitu melakukan unjuk rasa pada tanggal 14 April 1994 tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan menghasut. Dalam hal ini, perubahan kehidupan sosial politik pada saat itu mempengaruhi bagaimana Majelis Hakim melakukan penafsiran terhadap kaidah di dalam undang-undang. Majelis Hakim menilai bahwa proses pembangunan demokrasi diperlukan agar kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi lebih berkualitas.
Dari penjelasan di atas, dapat dilihat bahwa putusan hakim merupakan instrumen yang tepat untuk melakukan rekayasa sosial sebagaimana adagium hukum yang dikemukakan oleh Roscoe Pond bahwa hukum merupakan alat rekayasa sosial (law as a tool of social engineering). Dalam hal ini, Pound berpandangan bahwa putusan pengadilan merupakan inti dari hukum yang mana hakim mempunyai peran secara arif dan bijaksana mencari suatu keseimbangan dari peraturan yang dibuat oleh pembentuk undang-undang. Oleh sebab itu, menurut Roscoe Pound seorang hakim berwenang mengubah suatu peraturan apabila diperlukan agar hukum dapat menjadi alat rekayasa sosial.
Refleksi Kritis Posisi Hakim di Indonesia
Sebagaimana yang telah dijelaskan di dalam tulisan ini bahwa hakim pada prinsipnya seharusnya menjadi intelektual organik yang dapat melakukan perubahan sosial dengan putusannya. Putusan hakim yang merupakan produk intelektual seorang hakim menurut Roscoe Pound seharusnya mampu menjadi instrument rekayasa sosial (law as a tool of social engineering) namun refleksi kritisnya apakah hakim di Indonesia saat ini mampu melahirkan putusan yang dapat mendorong perubahan sosial. Kondisi hakim di Indonesia saat ini masih sulit untuk melahirkan putusan yang berkualitas. Hakim di Indonesia masih dibebani tugas-tugas administratif yang tidak ada kaitannya dengan profesi hakim yaitu memeriksa perkara dan menghasilkan putusan. Selain itu, ekosistem di pengadilan lebih mirip dengan “kantor pemerintah” yang lebih sibuk dengan urusan birokrasi dibandingkan dengan diskusi-diskusi progresif membuat hakim di Indonesia lebih terlihat sebagai “petugas pemerintah” daripada seorang intelektual organik. Putusan yang dihasilkan masih sangat “kering” dari pertimbangan-pertimbangan yang dapat mencerahkan dan menggerakan masyarakat.
Dalam kaitannya dengan kode etik, ekosistem pengadilan saat ini menurut penulis tidak mendukung hakim untuk meningkatkan profesionalitasnya. Terjebaknya hakim dengan pekerjaan birokratis non-yudisial membuat hakim lupa dengan hakikatnya yang merupakan intelektual di dalam organisasi pengadilan. Seharusnya hakim harus didorong untuk sering berdiskusi tentang ilmu hukum atau penerapan suatu hukum yang bisa memperkaya khazanah hakim tersebut dalam memutus suatu perkara sehingga putusan hakim tersebut menjadi lebih berkualitas dan dapat dijadikan rujukan oleh NGO, akademisi, atau masyarakat pada umumnya.
E. Siswati, “Anatomi Teori hegemoni Antonio Gramsci,” Translitera: Jurnal Kajian Komunikasi dan Studi Media, vol. 5, no. 1, pp. 11–33, Mar. 2018.
S. Maulana, “Ruang Publik Dan Intelektual organik,” Jurnal ILMU KOMUNIKASI, vol. 12, no. 1, Jun. 2015.
“Brown v. Board of Education,” Encyclopedia Britannica, https://www.britannica.com/event/Brown-v-Board-of-Education-of-Topeka (accessed Nov. 16, 2024).
“Jim Crow law,” Encyclopedia Britannica, https://www.britannica.com/event/Jim-Crow-law (accessed Nov. 16, 2024).
M. Hidayat, “Hukum Perdata Progresif: Perubahan Dan Kesinambungan Penemuan Hukum di Bidang Hukum Perdata,” Jurnal Hukum dan Peradilan, vol. 3, no. 3, p. 269, Nov. 2014. doi:10.25216/jhp.3.3.2014.269-280
D. Lubis, “Penolakan Penebangan Pohon Oleh Pemilik Sebagai perbuatan melawan hukum karena berpotensi Menimbulkan Kerugian Bagi Orang Lain (analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 1022 K/PDT/2006),” Jurnal Ilmiah METADATA, vol. 4, no. 1, pp. 328–341, Jan. 2022. doi:10.47652/metadata v4i1.135