Pendahuluan
KUHP Nasional mensyaratkan adanya pedoman pemidanaan yang wajib dipertimbangkan. Di sisi lain, dalam hal terdapat suatu keadaan yang ternyata ringannya perbuatan Terdakwa, keadaan pribadi perilaku atau keadaan pada waktu dilakukan Tindak Pidana serta terjadi kemudian dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana atau tidak mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan. Lalu bagaimanakah pertanggungjawaban kesalahan Terdakwa? Hal tersebut harus dibedakan pula dengan putusan bebas maupun putusan lepas dari segala tuntutan hukum. Pemaafan Hakim tetaplah menyatakan perbuatan Terdakwa adalah sebuah kesalahan yang melanggar hukum. KUHP Nasional tidak menjelaskan lebih lanjut apa yang dimaksud dengan sifatnya ringan atau ditafsirkan secara sempit yaitu ringannya perbuatan adalah hanya berlaku terhadap tindak pidana ringan. Penulis mencermati ketentuan tersebut tidaklah sebagai ketentuan yang berdiri sendiri, melainkan saling berkaitan dengan ketentuan lainnya yaitu dengan Pasal 70 ayat (1) dan ayat (2) KUHP Nasional mengenai ketentuan yang mensyaratkan pidana penjara sedapat mungkin tidak dijatuhkan atau sebagai upaya terakhir. Implementasi pemaafan Hakim selain memberikan aksesibilitas asas peradilan cepat, namun harus pula diiringi dengan kesederhanaan pemeriksaannya. Penulis menilai ketentuan Pasal 54 ayat 2 KUHP Nasional mengandung adanya syarat dan prasyarat. Syarat yang dimaksud adalah sesuatu yang harus dipenuhi untuk mencapai tujuan, sedangkan prasyarat adalah sesuatu yang harus dipenuhi sebelum memenuhi syarat. Untuk mendapatkan pemaafan Hakim, prasyaratnya ditujukan dan tidak berlaku terhadap tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, Tindak Pidana yang diancam dengan pidana minimum khusus, Tindak Pidana tertentu yang sangat membahayakan atau merugikan masyarakat atau Tindak Pidana yang merugikan keuangan atau perekonomian negara, yang mana prasyarat tersebut bersifat alternatif, dalam hal salah satu saja prasyarat telah terpenuhi maka tidak memenuhi syarat formal. Sedangkan syarat pemaafan Hakim itu sepanjang adanya pertimbangan rasa keadilan dan kemanusiaan karena ringannya perbuatan, keadaan pribadi yang diperluas sepanjang ditemukan keadaan-keadaan sebagaimana Pasal 70 ayat 1 KUHP Nasional.
Permasalahan
Hakim bukanlah petugas stempel penghukuman. Belum adanya ketentuan teknis berkaitan dengan mekanisme pemaafan Hakim, maka kajian ini bersifat futuristik yuridis yang akan menjawab permasalahan yaitu Pertama, bagaimana proses pemeriksaan dengan Putusan Pemaafan Hakim? Kedua, bagaimana efektivitas Pemaafan Hakim dengan Pengulangan Pidana? Ketiga, bagaimana upaya hukum terhadap pemaafan Hakim? Keempat, bagaimana pertimbangan hukum dan amar putusan dalam penjatuhan pemaafan Hakim?
Pembahasan
Sinkronisasi Pedoman Mengadili Perkara Pidana berdasarkan Keadilan Restoratif dengan Putusan Pemaafan Hakim
Telah diaturnya mekanisme keadilan restoratif sebagaimana Pasal 7 ayat 2 PERMA Nomor 1 Tahun 2024 Tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif. Di sisi lain, ada pula regulasi dari aparat hukum lainnya yaitu PERKAP Nomor 8 Tahun 2021 Tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif yang mana dapat menghentikan Penyelidikan atau Penyidikan Tindak Pidana, maupun Kejaksaan [1]. Penulis menilai ketiga instansi tersebut berjalan dalam mekanisme yang berbeda meskipun dengan landasan yang sama berdasarkan keadilan restoratif. Pemaafan Hakim yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dapat dijadikan aturan penengah dari ketentuan dari PERKAP-PERJA & PERMA berkaitan dengan keadilan restorasi. Secara tidak langsung dengan adanya pemaafan Hakim, perkaranya tidak dihentikan namun “diselesaikan”. Penulis menitik beratkan kepada hukum acara yang hendak ditegakkan. Jangan sampai, semangat pemaafan Hakim malah justru membuat proses persidangan tidaklah sederhana dan cepat. Di sinilah perlu ada unifikasi beracara, supaya praktik acara pemaafan Hakim ini seragam dalam pelaksanaannya, tidak ada disparitas yang menyebabkan kesewenang-wenangan Hakim dalam menerapkan pemaafan Hakim ini. Dengan dasar pemikiran bahwa untuk mencapai putusan pemaafan Hakim, maka proses yang dilalui setidaknya seperti mekanisme PERMA Nomor 1 Tahun 2024 Tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif.
Relevansi Pemaafan Hakim dengan Pengulangan Pidana.
Terdakwa yang dinyatakan telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana (sesuai kualifikasi tindak pidana) sebagaimana dalam dakwaan (bentuk dakwaan Penuntut Umum) haruslah dinilai bukan sebagai residivis. Mengapa demikian? Terdakwa yang dimaafkan oleh Hakim, tidaklah pernah menjalani hukuman (pidana maupun tindakan), dengan konsekuensi lain bahwa statusnya hanya sebagai Terdakwa bukan narapidana [2]. Dalam hal ternyata Terdakwa tersebut mengulangi tindak pidana baik yang sama maupun tindak pidana lainnya, maka hal tersebut sepatutnya dijadikan sebagai keadaan yang memberatkan dalam pedoman pemidanaan.
Upaya hukum pemaafan Hakim adalah hanya Kasasi demi kepentingan hukum.
Melalui pendekatan konseptual, KUHAP terbaru haruslah mengikuti semangat daripada hukum acara pemaafan Hakim. Sekarang, putusan akhir Hakim hanya ada 3 hasil akhir [3] yaitu pemidanaan, putusan bebas, dan putusan lepas dari segala tuntutan hukum. Lalu bagaimana dengan Pemaafan Hakim? Pengaturannya adalah perbuatan Terdakwa tetap terbukti tapi tidak menjatuhkan pidana atau tidak mengenakan tindakan. Ataukah setidak-tidaknya hukuman percobaan? Bukankah hal tersebut pun tetap pemidanaan, meskipun dalam masa percobaan, terlepas dijalani atau tidaknya. Dari hasil akhir itulah, akan menentukan konsekuensi hukum selanjutnya. Jika bebas maupun lepas maka akan kasasi maupun peninjauan kembali, sedangkan dalam hal pemidanaan itu akan melalui upaya hukum banding, kasasi, maupun peninjauan kembali. Penulis berpendapat pemaafan Hakim merupakan kebajikan hukum tertinggi demi kemanfaatan keadilan yang hakiki. Oleh karenanya, seharusnya tidak ada “upaya hukum” sebagai bentuk ketidakpuasan. Kecuali dalam proses pengambilan putusan pemaafan Hakim tersebut terdapat ratio decidendi yang keliru yang tidak memenuhi prasyarat maupun syarat untuk dijatuhkannya pemaafan Hakim. Dengan konsep yang demikian, sebagai bentuk penyeimbang atas kekeliruan tersebut maka upaya hukum atas pemaafan Hakim dikonsepkan hanyalah kasasi demi kepentingan hukum. Adapun ratio legis sebagai pengecualian hukum yang berlaku dalam keadaan tertentu. Pemaafan Hakim adalah sebuah keputusan yang luar biasa, maka Upaya hukumnya pun harus yang luar biasa, yang mana diajukan Jaksa Agung kepada Mahkamah Agung. Adapun alasan pengajuan kasasi demi kepentingan hukum yaitu putusan pengadilan mengandung kesalahan penerapan hukum, putusan pengadilan mengandung pertanyaan hukum yang penting bagi perkembangan hukum, putusan pengadilan tidak menerapkan peraturan hukum tidak sebagaimana mestinya serta putusan pengadilan melanggar wewenang. Hal tersebut sekaligus menjawab tidak adanya subjektivitas Hakim dari kesewenang-wenangan.
Pertimbangan hukum dan Amar Putusan Pemaafan Hakim
Pemaafan Hakim harus melalui putusan bukan penetapan, sebagaimana Penjelasan Pasal 54 ayat 2 KUHP Nasional menyatakan pemberian maaf ini dicantumkan dalam putusan hakim dan tetap harus dinyatakan bahwa Terdakwa terbukti melakukan Tindak Pidana yang didakwakan kepadanya. SK KMA RI Nomor 359/KMA/SK/XII/2022 Tentang Template dan Pedoman Penulisan Putusan/Penetapan Pengadilan Tingkat Pertama dan Tingkat Banding pada Empat Lingkungan Peradilan di Bawah Mahkamah Agung belumlah mengakomodir template putusan pemaafan Hakim bahkan termasuk KUHAP pun belumlah mengatur kategori putusan pemaafan Hakim. Meskipun demikian, melalui pendekatan tekstual Penulis berpendapat putusan pemaafan Hakim adalah bukan putusan pemidanaan, bukan putusan bebas maupun putusan lepas dari segala tuntutan hukum. Oleh karenanya, terdapat kekosongan regulasi hukum acara khususnya format putusan. Skema amar putusan pemaafan Hakim yang Penulis maksudkan dapat dengan perincian, Pertama: Menyatakan Terdakwa/Para Terdakwa tersebut di atas, terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana (sesuai kualifikasi tindak pidana) sebagaimana dalam dakwaan (bentuk dakwaan Penuntut Umum) tetapi atas tindak pidana tersebut adanya Pemaafan Hakim, Kedua: Menyatakan Terdakwa/Para Terdakwa tidak dijatuhi pidana maupun tindakan, Ketiga: Memerintahkan Terdakwa/Para Terdakwa dibebaskan dari tahanan seketika setelah putusan ini diucapkan (apabila Terdakwa ditahan), Keempat: Menetapkan barang bukti berupa (sesuai ada/tidaknya barang bukti), Kelima: Membebankan kepada Terdakwa/Para Terdakwa membayar biaya perkara sejumlah (sesuai jumlah yang dibebankan).
Terhadap pertimbangan hukum untuk adanya pemaafan Hakim dengan merujuk pedoman pemidanaan Pasal 54 ayat 2 KUHP Nasional juncto Pasal 70 ayat (1) dan ayat (2) KUHP Nasional [4] yang dinarasikan dalam pertimbangan hukum sebagaimana template putusan format biasa (terbukti) pada paragraf apabila perlu pertimbangan hal-hal yang bersifat khusus dalam penjatuhan pidana [5]. Pemaafan Hakim tidaklah pula dinilai sebagai alasan penghapus pidana baik alasan pemaaf maupun tidak juga sebagai alasan pembenar. Dengan demikian, pertimbangan hukumnya tetaplah merujuk proses pembuktian terhadap ada tidaknya aspek kesalahan yang dapat dipertanggungjawabkan kepada Terdakwa sehingga terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana (sesuai kualifikasi tindak pidana) sebagaimana dalam dakwaan (bentuk dakwaan Penuntut Umum). Namun oleh karena adanya alasan keadilan dan kemanusiaan, dan meskipun terbukti maka Hakim mengadilinya dengan adanya pemaafan Hakim.
Kesimpulan
Hakim bukanlah petugas stempel penghukuman atau “corong undang-undang”. Dengan adanya pemaafan Hakim menjadikannya solusi yang menengahi pengimplementasian keadilan restorasi perspektif POLRI, Kejaksaan termasuk Pengadilan. Prospektif dalam hukum pidana formil akan lebih menguraikan kesederhanaan pemeriksaan suatu perkara dan menjadi putusan tersendiri selain daripada putusan pemidanaan, putusan bebas maupun putusan lepas dari segala tuntutan hukum termasuk upaya hukum yang tersedia hanyalah upaya hukum luar biasa berupa kasasi demi kepentingan hukum, sedangkan terhadap hukum pidana materiil akan dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam pedoman pemidanaan.
Referensi
Peraturan J
aksa Agung
Nomor 15 Tahun 2020 Tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 Tentang Pemasyarakatan
.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
SK KMA RI Nomor 359/KMA/SK/XII/2022 Tentang
Template
dan Pedoman Penulisan Putusan/Penetapan Pengadilan Tingkat Pertama dan Tingkat Banding pada Empat Lingkungan Peradilan di Bawah Mahkamah Agung
.