HAKIKAT JABATAN HAKIM DALAM PERSPEKTIF FILOSOFIS

24 February 2025 | Handry Argatama Ellion
bruce

format_quote
'Hakim bukan sekadar pemutus perkara, melainkan penjaga nilai keadilan yang berpijak pada hukum, etika, dan kebijaksanaan. Dalam perspektif filosofis, jabatan hakim adalah profesi hukum yang mulia, yang hanya dapat dijalankan dengan integritas, intelektualitas, dan kapabilitas demi mewujudkan keadilan substantif dan prosedural yang berlandaskan Pancasila.'

Latar Belakang

Jabatan hakim berdasarkan penelusuran sejarah hukum adalah salah satu jabatan tertua di muka bumi. Jabatan hakim sejak keberadaannya dipercaya sebagai pemutus persoalan atau sengketa hukum yang tidak bisa diselesaikan masyarakat.[1] Jabatan hakim adalah suatu jabatan sentral dalam kekuasaan kehakiman di Indonesia karena pengaturannya ada dalam undang-undang dasar. Selain itu kewenangan dari jabatan hakim di Indonesia juga bersifat atributif karena juga diberikan langsung dalam konstitusi.[2]

Pada perkembangannya keberadaan jabatan hakim di Indonesia berdasarkan tingkat kepercayaan masyarakat selalu mengalami pasang surut. Sebagai contoh pada tahun 2024 di tengah perjuangan para hakim menuntut hak konstitusionalnya telah terjadi dugaan pelanggaran hukum dan etik oleh majelis hakim dalam suatu perkara. Adanya dugaan pelanggaran itu berpotensi menurunkan kepercayaan masyarakat pada pengadilan.[3]

Hakim sebagai suatu jabatan secara teknis memiliki tugas dan fungsi mengadili perkara namun hakikat jabatan hakim terutama yang terkait mengadili harus dipahami secara mendalam agar didapat pemahaman komprehensif. Adanya pemahaman komprehensif sangat penting bagi semua pihak termasuk pada diri hakim sendiri untuk menghindari kesalahan persepsi akan jabatan hakim.

Penulisan ini akan memberikan pemahaman akan hakikat jabatan hakim dalam sudut pandang komprehensif melalui perspektif filosofis. Perspektif filosofis ini akan ditinjau dari segi ontologi, epistemologi, dan aksiologi untuk menemukan substansi hakikat jabatan hakim yang sebenarnya agar semua orang memahami sehingga akan semakin meningkatkan kepercayaan masyarakat pada pengadilan.

Jabatan Hakim Dari Segi Ontologi

Ontologi berasal dari Bahasa Yunani yaitu ontos (keberadaan) dan logos (studi). Ontologi sebagai cabang filsafat adalah studi mengenai hakikat keberadaan. Dalam penulisan ini maka titik fokus pencarian ontologisnya adalah mengenai hakikat keberadaan jabatan hakim.[4][5]

Jabatan hakim di Indonesia seperti telah disebutkan sebelumnya adalah jabatan yang bersifat atributif. Ratio legis pengaturan jabatan hakim ada dalam konstitusi karena para pembentuk konstitusi memahami pentingnya jabatan hakim dalam suatu negara hukum.[6]

Pengaturan lebih lanjut jabatan hakim dan kewenangannya terdapat dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman. Dalam undang-undang itu disebutkan hakim adalah hakim pada Mahkamah Agung dan pada badan peradilan di bawahnya dimana dalam jabatan hakim melekat suatu kewenangan mengadili perkara.[7]

Dalam undang-undang tersebut disebutkan kewenangan hakim dalam mengadili didasari oleh hukum dan hakim wajib memiliki integritas dan kepribadian tidak tercela, jujur, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum sehingga harus tunduk pada Kode Etik dan Pedoman Perilaku. Baik Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman maupun Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim mengisyaratkan jabatan hakim adalah suatu profesi hukum yang mengedepankan hukum dan dilandasi sikap etis dalam mengadili sehingga jabatan hakim termasuk sebagai jabatan profesi hukum yang mulia.[8]

Berdasarkan ketentuan dalam hukum dan etik di atas maka jabatan hakim di Indonesia adalah jabatan profesi hukum yang mulia dalam mengadili perkara. Dengan demikian hakikat jabatan hakim dalam perspektif filosofis dari segi ontologi adalah profesi hukum yang mulia yang dalam mengadili mengedepankan hukum dan etika.

Jabatan Hakim Dari Segi Epistemologi

Epistemologi berasal dari Bahasa Yunani yaitu episteme (pengetahuan) dan logos (studi). Epistemologi sebagai cabang filsafat adalah studi mengenai hakikat pengetahuan. Dalam penulisan ini maka titik fokus pencarian epistemologisnya adalah mengenai hakikat pengetahuan dalam kerangka jabatan hakim mengadili.[4][5]

Dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman dan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim telah disebutkan hakim dalam melaksanakan tugas dan fungsi mengadili harus menurut hukum yang dilaksanakan dengan cara prosedural untuk tercapainya keadilan. Kemampuan hakim dalam melaksanakan tugas mengadili harus didasarkan pengetahuan yang berdasarkan hukum karena hakim bertanggungjawab atas penetapan atau putusan yang dibuatnya.

Richard A. Posner berpandangan pengetahuan hakim untuk secara logis dan rasional mencari kebenaran terkait cara atau metode mengadili yang ditentukan oleh kemampuan berpikir hakim.[9] Pandangan ini sesuai dengan pendapat Sunarto yang menyatakan seseorang yang menyandang jabatan hakim harus memiliki integritas (kepribadian yang utuh), intelektualitas (kepandaian kognitif), dan kapabilitas (keterampilan teknis) sehingga produk hukum yang dihasilkan dapat berkeadilan.[10]

Brian Z. Tamanaha memandang hakim harus juga memiliki kemampuan aplikasi solusi praktis yang relevan berupa penemuan hukum yang merupakan terobosan proses yudisial yang melampaui formalisme dan realisme. Kemampuan hakim tersebut berjalan di atas pengetahuan yang benar sesuai dengan aturan hukum yang ada serta keadilan.[11]

Berdasarkan hal itu jabatan hakim di Indonesia adalah jabatan yang dalam mengadili perkara berdasarkan pengetahuan hukum yang benar dengan parameternya adalah kapasitas hakim dari segi integritas, intelektualitas, dan kapabilitas. Dengan demikian hakikat jabatan hakim dalam perspektif filosofis dari segi epistemologi adalah jabatan yang memerlukan integritas, intelektualitas, dan kapabilitas serta pengetahuan mengadili yang benar berdasarkan hukum untuk menemukan keadilan.

Jabatan Hakim Dari Segi Aksiologi

Aksiologi berasal dari Bahasa Yunani yaitu axios (nilai) dan logos (studi). Aksiologi sebagai cabang filsafat adalah studi mengenai hakikat nilai. Dalam penulisan ini maka titik fokus pencarian aksiologisnya adalah mengenai hakikat nilai dari jabatan hakim dalam mengadili secara teleologis (tujuan yang akan dicapai). [4][5]

Dari segi pengaturan yang ada maka hakim dalam mengadili harus mengacu pada hukum. Konteks hukum menghendaki dalam rangka mengadili harus dilandasi nilai yang diakui kebenarannya secara ilmiah untuk terwujudnya keadilan yang lengkap dari sisi substantif dan juga prosedural. Terwujudnya keadilan juga harus berdasarkan nilai yang menjadi sumber segala sumber hukum di Indonesia yaitu Pancasila.[12]

Beberapa pandangan tentang tujuan nilai dalam hukum hampir kesemuanya mengacu pada nilai keadilan. Pandangan H.L.A. Hart, John Rawls dan Michael J. Sandel yang mengemukakan nilai kepantasan hukum dalam masyarakat pada pokoknya memiliki kesamaan yaitu keyakinan akan adanya nilai keadilan yang harus tercapai.[13] [14] [15]

Pandangan itu sudah lama diyakini Gustave Radbruch yang menyatakan hakim dituntut untuk berpegang pada nilai yang sepantasnya dengan melihat pengadilan sebagai tekstur terbuka yang direlasikan dengan tujuan hukum secara aksiologis. Tujuan hukum adalah mencapai nilai dalam cita hukum (die idée des rechts) yang menghendaki adanya nilai berupa cita keadilan ideal yang secara teleologis mendukung adanya kepastian (die gerechtigkeit), kemanfaatan (die zweckmäßigkeit), dan keadilan (die rechtssicherheit).[16]

Berdasarkan hal itu jabatan hakim di Indonesia adalah jabatan untuk mengadili perkara yang memiliki tujuan menegakan nilai keadilan secara lengkap. Dengan demikian hakikat jabatan hakim dalam perspektif filosofis dari segi aksiologi adalah jabatan yang dalam mengadili menghendaki terwujudnya nilai keadilan dari sisi substantif dan juga prosedural berdasarkan nilai yang menjadi sumber segala sumber hukum di Indonesia yaitu Pancasila.

Penutup

Hakikat jabatan hakim dalam perspektif filosofis dari segi ontologi adalah profesi hukum yang mulia yang dalam mengadili mengedepankan hukum dan etika, dari segi epistemologi adalah jabatan yang memerlukan integritas, intelektualitas, dan kapabilitas serta pengetahuan mengadili yang benar berdasarkan hukum untuk menemukan keadilan, dan dari segi aksiologi adalah jabatan yang dalam mengadili menghendaki terwujudnya nilai keadilan dari sisi substantif dan juga prosedural berdasarkan nilai yang menjadi sumber segala sumber hukum di Indonesia yaitu Pancasila, sehingga jabatan hakim dalam perspektif filosofis di Indonesia adalah suatu profesi yang terhormat bahkan mulia dalam mencari dan menemukan keadilan seutuhnya bagi semua pihak berdasarkan Pancasila.

Dengan adanya perspektif filosofis maka substansi hakikat jabatan hakim adalah profesi hukum mulia yang menekankan keutamaan perilaku hakim dalam mengadili sesuai dengan hukum dan kode etik untuk menemukan keadilan berdasarkan Pancasila. Kemuliaan jabatan hakim yang demikian akan menentukan kualitas mengadili sehingga diharapkan akan sesuai nilai hukum dan rasa keadilan dan terhindar dari kemungkinan adanya pelanggaran mengadili sehingga pada akhirnya akan menumbuhkan kepercayaan masyarakat pada pengadilan.

Dalam akhir tulisan ini disarankan bahwa untuk menjaga kemuliaan jabatan hakim harus dan wajib dimulai dari diri para hakim sendiri dengan selalu menjaga integritas, intelektualitas, dan kapabilitasnya sehingga kepercayaan masyarakat akan kembali meningkat pada pengadilan. Selain itu pemahaman akan jabatan hakim tidak cukup hanya dihayati oleh para hakim tetapi juga oleh seluruh pihak yang berkepentingan karena kemuliaan jabatan hakim adalah tanggung jawab dari semua orang di Indonesia untuk merealisasikan Visi Mahkamah Agung mewujudkan Badan Peradilan Yang Agung.

Referensi

[1] P. Mitchell, Ed., The Law Book: Big Ideas Simply Explained. London: DK Penguin Random House, 2020.

[2] Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

[3] K. Safitri and Ihsanuddin, “3 Hakim PN Surabaya Ditangkap Kejagung karena Terima Suap Vonis Bebas Ronald Tannur,” Harian Kompas, Jakarta, Oct. 23, 2024. [Online]. Available: https://nasional.kompas.com/read/2024/10/23/18102311/3-hakim-pn-surabaya-ditangkap-kejagung-karena-terima-suap-vonis-bebas-ronald

[4] E. Engle, “Ontology, Epistemology, Axiology: Bases For A Comprehensive Theory Of Law,” Appalach. J. Law, 2008.

[5] B. J. Irby, “The Relationship Between and Among Philosophy, Epistemology, Ontology, and Axiology: A Brief Overview,” Educ. Leadersh. Res. Cent. Texas A M Univ., 2020, [Online]. Available: http://elrc.tamu.edu/wp-content/uploads/2021/05/Research_Brief_philosophy_terms.pdf

[6] V. Klappstein and M. Dybowski, Eds., Ratio Legis: Philosophical and Theoretical Perspectives. Cham: Springer, 2018.

[7] Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

[8] Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial RI Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009 dan Nomor 02/SKB/P.KY/IV/2009 tanggal 8 April 2009 Tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.

[9] R. A. Posner, How Judges Think. Cambridge: Harvard Universiy Press, 2008.

[10] Sunarto, Gagasan Tentang Integritas, Intelektualitas, Dan Kapabilitas. Jakarta: Kencana, 2021.

[11] Tamanaha. Brian Z., Beyond The Formalist-Realis Divide: The Role of Politics in Judging. New Jersey: Priceton University, 2013.

[12] Kaelan, The Philosophy Of Pancasila The Way Of LIfe Indonesian Nation. Yogyakarta: Paradigma, 2012.

[13] H. L. . Hart, The Concept Of Law. Oxford: Oxford University Press, 2012.

[14] J. Rawls, A Theory Of Justice. Cambridge: Harvard University Press, 1999.

[15] M. J. Sandel, Justice: What’s The Right Thing To Do? New York: Farrar, Strauss, and Giroux, 2009.

[16] G. Radbruch, Vorschule Der Rechtsphilosophie. Göttingen: Vandenhoeck and Ruprecht, 1965