Latar Belakang
Kehadiran Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut dengan KUHP Nasional) merupakan produk hukum yang sangat ditunggu oleh masyarakat hukum mengingat Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut dengan KUHP) yang masih berlaku hingga tulisan ini dibuat adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dari Belanda atau dikenal dengan istilah wetboek van straafrecht[1]. Banyak perubahan dan penyempurnaan KUHP melalui KUHP Nasional, seperti tambahan jenis pidana, hingga adanya perlindungan korban[2]. Hal baru yang diatur dalam KUHP Nasional adalah pengakuan hukum adat dalam sistem hukum pidana. Pentingnya pengakuan hukum adat ini karena berkaitan dengan dualisme hukum yang berlaku di Indonesia yang justru baru dikenal melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA), namun kedudukannya di hukum pidana nasional belum tegas diatur kecuali Pasal 18B Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD ’45) [3].
Sebelum adanya KUHP Nasional, belum ada diatur secara tegas dalam bentuk undang-undang mengenai asas hukum lex specialis derogat lex generalis untuk hukum adat dalam hukum pidana Indonesia[4]. Hal itu menyebabkan permasalahan hukum berupa kekosongan hukum ketika ada konflik aplikasi antara hukum mana yang didahulukan dalam perkara pidana antara hukum adat atau hukum pidana nasional[5]. Giatnya pemerintah dalam mengusung Restorative Justice (selanjutnya disebut RJ) atau Keadilan Restoratif dalam bentuk peraturan masing-masing instansi aparatur penegak hukum juga masih belum mampu menjawab kekosongan hukum tersebut[6].
Atas uraian tersebut, permasalahan yang ada dapat dirumuskan ke dalam beberapa hal, yaitu: (i) bagaimana pengaturan keberlakuan hukum adat dalam KUHP Nasional dan (ii) bagaimana keberlakuan hukum adat dalam KUHP Nasional dapat mendukung penerapan RJ pada sistem hukum nasional.
Pengaturan Keberlakuan Hukum Adat dalam KUHP Nasional
Dalam latar belakang telah dijelaskan bahwa hukum adat dikenal dan diakui pada sistem hukum nasional Indonesia[7]. Berdasarkan interpretasi historis, hukum adat telah ada dan berlaku jauh sebelum negara Indonesia terbentuk. Oleh karena itu, kedudukannya diperkuat melalui Pasal 18B UUD ’45[3]. Akan tetapi, hukum adat yang mengatur banyak hal termasuk perihal pidana dan perdata justru tidak diperjelas kedudukannya dalam peraturan yang lebih rigid, melainkan hanya terbatas pada peraturan perundang-undangan berkaitan dengan perdata seperti UUPA[4].
Dengan disahkannya KUHP Nasional, menarik untuk melihat ketentuan Pasal 2 KUHP Nasional yang 3 (tiga) ayatnya menjelaskan keberlakuan hukum adat dan bagaimana prinsip dasar prioritisasi antara hukum adat dengan hukum pidana nasional [8]. Pasal 2 ayat (1) KUHP Nasional mengatur bahwa perbuatan yang dilarang dalam hukum adat dapat dipidana mengacu pada ketentuan hukum materiel dari KUHP Nasional, khususnya berkaitan dengan jenis pidana.
Pasal 2 ayat (2) KUHP Nasional mengatur bahwa perbuatan yang dilarang secara adat dapat diterapkan ketentuan pidana materiel KUHP Nasional apabila memang diatur demikian pada domisili hukum dimana institusi adat tersebut berada, misalnya menabrak anjing di Desa Sedulun, Kalimantan Utara dapat dipidana sedangkan menabrak anjing di Surakarta belum tentu dapat dipidana.
Pasal 2 ayat (3) KUHP Nasional mengatur bahwa teknis hukum adat akan diperjelas dalam Peraturan Pemerintah lebih lanjut, artinya KUHP Nasional ke depannya harus tetap merujuk pada Peraturan Pemerintah dan baru mempertimbangkan hukum adat yang berlaku apakah dapat atau tidak dapat diterapkan proses pidana materiel berdasarkan KUHP Nasional.
Pasal 2 KUHP Nasional tersebut yang akan menjadi dasar prioritisasi dari hukum adat dan hukum pidana nasional[2]. Artinya, ketika semua syarat dalam Pasal 2 beserta ayat-ayatnya tersebut terpenuhi, maka hukum adat berlaku lebih dulu dibandingkan rumusan perbuatan pidana yang ada pada KUHP Nasional.
Dukungan Penerapan RJ Pada Sistem Hukum Nasional Melalui Keberlakuan Hukum Adat di KUHP Nasional
Keberlakuan hukum adat melalui Pasal 2 KUHP Nasional tidak serta merta mematikan semangat RJ yang telah dituangkan dalam beberapa aturan instansi aparatur penegak hukum, seperti Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif, Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, ataupun Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif (selanjutnya disebut Perma RJ)[6].
Keberlakuan Pasal 2 KUHP Nasional justru menjadi landasan hukum (lex generali) yang memandu penerapan RJ melalui peraturan instansi aparatur penegak hukum[9]. Dalam praktik sebelum terbitnya KUHP Nasional, banyak aparatur penegak hukum yang tidak menemukan dasar hukum untuk menghentikan proses penyidikan, penuntutan, hingga pengadilan terlepas dari selesainya pelaksanaan sanksi adat. Akibatnya, pelaku pelanggar hukum adat harus menjalani proses pemidanaan dua kali baik secara adat maupun pidana nasional.
Aturan-aturan instansi aparatur penegak hukum sendiri sebenarnya telah mencoba untuk mengakomodasi kepastian hukum, sebagai contoh, Pasal 19 juncto Pasal 12 Perma RJ yang memungkinkan pengadilan untuk mendasarkan kesepakatan perdamaian setelah adanya perdamaian pasca pelaksanaan sanksi adat sebagai dasar untuk meringankan hukum atau menjatuhkan pidana bersyarat/pengawasan. Bahkan, ada yurisprudensi No. 984 K/Pid/1996 tanggal 30 Januari 1996 yang mengatur bahwa jika pelaku (dader) pidana adat telah dijatuhi sanksi adat atau mendapat reaksi adat oleh para pemangku desa adat, dimana hukum adat masih dihormati dan hidup subur, maka tuntutan oleh penuntut umum harus dinyatakan tidak dapat diterima. Akan tetapi, yurisprudensi maupun Perma RJ tidak memberikan kepastian hukum oleh karena kekuatan hukum mengikatnya berbeda layaknya undang-undang.
Dengan adanya ketentuan Pasal 2 KUHP Nasional terlebih KUHP Nasional aktif berlaku diterapkan pada tanggal 2 Januari 2026, diharapkan aparatur penegak hukum tidak ragu untuk memprioritaskan hukum adat dibandingkan hukum pidana nasional, khususnya bagi penyidik untuk menghentikan proses penyidikan, penuntut umum untuk menghentikan proses penuntutan, ataupun hakim untuk menyatakan tuntutan tidak dapat diterima manakala peradilan pidana adat telah terlaksana.
Penutup
Keberlakuan KUHP Nasional diharapkan dapat menjadi acuan utama aparatur penegak hukum dalam memilah aplikasi hukum pidana baik itu hukum adat ataupun hukum pidana nasional. Sebagai saran, aparatur penegak hukum dapat menjunjung KUHP Nasional sembari menunggu pengaturan lebih pasti dari peraturan perundang-undangan Hukum Acara Pidana yang belum diperbarui seiring KUHP Nasional berlaku.
Referensi
[1] N. H. Pakpahan and B. P. Pakpahan, Penegakan Hukum Judi Online di Indonesia. Yogyakarta: Selat media, 2025.
[2] E. O. S. Hiariej and T. Santoso, Anotasi KUHP Nasional. Jakarta: Rajawali Pers, 2025.
[3] M. Azis, M. H. Rumlus, Moh. E. Kusmiadi, and A. Pratiwi, “Kebijakan Penanggulangan Tindak Pidana Pencurian Perspektif Hukum Nasional dan Adat Suku Moi dalam di Mariat Pantai Kabupaten Sorong,” Jurnal al-Taffaquh, vol. 5, no. 1, Jan. 2024.
[4] K. Kurdi, “Kesesuaian Sistem Hukum Asli Dengan Reformasi Pidana,” UNES Law Review, vol. 8, no. 1, Aug. 2024.
[5] T. A. Handayani and A. Prabowo, “Analisis Hukum Pidana Adat dalam Hukum Pidana Nasional,” Jurnal Hukum Ius Publicum, vol. 5, no. 1, Apr. 2024.
[6] N. H. Pakpahan, “Peluang dan Tantangan Penerapan Restorative Justice,” in Restorative Justice dalam Sistem Peradilan Pidana, Yogyakarta: Literasi Bangsa, 2024, ch. 14.
[7] F. Rinaldi, A. S. A. Pakpahan, and A. A. Siregar, “Dinamika Konflik Antara Hukum Adat dan Hukum Positif di Era Globalisasi,” JLEB: Journal of Law Education and Business, vol. 2, no. 2, Oct. 2024.
[8] E. K. Tarigan, E. Darmayanti, D. S. Amaniarsih, and B. D. Simatupang, “Tinjauan Yuridis Perbandingan KUHP Lama Dan KUHP Baru,” Jurnal Darmawangsa, vol. 18, no. 3, Jul. 2024.
[9] EU JULE, Research Study Jury Trials, Plea Bargaining and Restorative Justice International Experience and Recommendations for Viet Nam. Hanoi: UNDP, 2023.