Latar Belakang
Dalam perkembangan hukum pidana modern, eksistensi korporasi sebagai subjek hukum merupakan keniscayaan yang tak terbantahkan. Korporasi bukan hanya berperan aktif dalam sektor ekonomi, tetapi juga berpotensi melakukan tindak pidana yang berdampak sistemik dan merugikan masyarakat luas. Oleh sebab itu, kodifikasi hukum pidana Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Nasional) menjadi tonggak penting dalam penguatan rezim pertanggungjawaban pidana korporasi. Dalam KUHP Nasional menegaskan bahwa korporasi dapat dipidana atas tindak kejahatan yang dilakukan oleh pengurus, pihak yang diberi kuasa, maupun individu yang bertindak atas nama atau untuk kepentingan korporasi . Hal ini mencerminkan pergeseran dari sistem pidana individualistis menuju pengakuan terhadap entitas kolektif sebagai pelaku delik.
Namun demikian, tantangan bukan hanya pada pengakuan normatif semata. Dalam praktiknya, pertanggungjawaban pidana korporasi kerap gagal ditegakkan secara optimal. Kendala pembuktian beban kesalahan kolektif, pertanggungjawaban pelaku individu, serta minimnya sanksi pidana terhadap entitas korporasi menunjukkan adanya kesenjangan antara norma dan implementasi. Kondisi ini menempatkan hakim dalam posisi strategis—bukan semata penafsir norma, tetapi juga pelaku utama dalam menegakkan keadilan substantif. Dengan demikian, peran hakim menjadi sentral dalam membumikan semangat pembaruan hukum pidana yang diusung KUHP Nasional .
Bertolak dari uraian tersebut, tulisan ini merumuskan dua permasalahan. Pertama, bagaimana konfigurasi pertanggungjawaban pidana korporasi dalam KUHP Nasional? Kedua, bagaimana peran strategis hakim serta model penalaran hukum yang dapat digunakan untuk menegakkan pertanggungjawaban pidana korporasi secara adil-efektif? Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji konstruksi normatif pertanggungjawaban pidana korporasi dalam KUHP Nasional, serta menganalisis peran sentral hakim melalui penerapan penalaran hukum yang tepat demi tercapainya keadilan substantif dalam perkara tindak pidana korporasi.
Konfigurasi Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam KUHP Nasional
Rekognisi korporasi sebagai subjek hukum pidana dalam sistem hukum Indonesia merupakan suatu lompatan paradigmatis yang mencerminkan adaptasi terhadap realitas kejahatan modern. Dalam sistem hukum sebelumnya, khususnya KUHP (WvS 1915), subjek hukum pidana secara eksplisit hanya mencakup manusia sebagai pelaku individual, sehingga pemidanaan korporasi bergantung pada ketentuan sektoral dan preseden yurisprudensi. Kini, melalui Pasal 45 hingga Pasal 50 KUHP Nasional, korporasi secara tegas dapat dipidana atas perbuatan yang dilakukan untuk dan atas nama entitas hukum oleh individu dengan posisi fungsional di dalamnya.
Pasal 45 ayat (2) KUHP Nasional juga memperluas definisi korporasi secara substansial. Korporasi dimaknai sebagai badan hukum seperti PT, Yayasan, Koperasi, BUMN, BUMD, atau entitas lain yang disamakan dengannya, termasuk badan usaha yang tidak berbadan hukum seperti Firma dan CV. Frasa “atau yang disamakan dengan itu” di dalam pasal tersebut bersifat non-limitatif, ia membuka kemungkinan bagi entitas hukum baru yang diatur dalam undang-undang lain untuk masuk dalam cakupan korporasi. Dengan demikian, ketentuan Pasal 45 bersifat adaptif terhadap dinamika hukum dan entitas usaha di masa depan .
Model pertanggungjawaban pidana korporasi KUHP Nasional telah mengintegrasikan berbagai teori, yakni identification theory dan vicarious liability. Identification theory mengatribusikan perbuatan pengurus senior sebagai perbuatan korporasi. Sedangkan vicarious liability memungkinkan pemidanaan atas tindakan bawahan yang dilakukan demi keuntungan korporasi . Keduanya tampak dalam Pasal 46 KUHP Nasional, yang menyebutkan korporasi dapat dipidana atas tindakan orang yang memiliki hubungan kerja atau hubungan lain dalam lingkup korporasi, sejauh tindakan tersebut dilakukan untuk dan atas nama korporasi, atau demi kepentingan korporasi.
KUHP Nasional juga mengatur sanksi pidana khusus bagi korporasi. Pasal 118 menetapkan pidana pokok berupa pidana denda, serta pidana tambahan seperti pencabutan izin, perampasan keuntungan, hingga pembubaran korporasi. Pendekatan ini tidak ditujukan untuk menghukum “fisik” entitas hukum, melainkan menegakkan tanggung jawab sosial dan mencegah pengulangan delik. Selanjutnya, Pasal 123 mengatur tindakan seperti pengambilalihan, penempatan di bawah pengawasan, dan/atau penempatan korporasi di bawah pengampuan.
Meski demikian, banyak kritik dilontarkan terhadap ambiguitas rumusan dan batasan penafsiran antar teori. Sebagian akademisi menilai KUHP Nasional masih condong pada teori identifikasi yang kerap gagal menjangkau kompleksitas tanggung jawab dalam korporasi modern . Absennya penegasan keberlakuan asas strict liability juga dinilai dapat melemahkan efektivitas penegakan hukum pada sektor seperti lingkungan hidup dan perpajakan, yang pembuktiannya cukup rumit , .
Dengan demikian, meski sudah mencerminkan kemajuan normatif, namun efektivitas implementasi pertanggungjawaban pidana korporasi dalam KUHP Nasional sangat bergantung pada penegak hukum, terutama hakim, dalam menafsirkan norma secara progresif, kontekstual, dan menjunjung keadilan substantif.
Peran Strategis Hakim dan Penalaran Hukum yang Berkeadilan
Perubahan paradigma dalam sistem hukum pidana Indonesia pasca-berlakunya KUHP Nasional menuntut reposisi fungsional aparat penegak hukum. Salah satu aktor kunci dalam mewujudkan sistem pertanggungjawaban pidana korporasi yang adil dan efektif adalah hakim. Dalam kerangka Pasal 45 sampai 50 KUHP Nasional, hakim diberi legitimasi normatif untuk menetapkan korporasi sebagai subjek hukum pidana. Namun, bagaimana norma tersebut dapat diberlakukan sangat bergantung pada keberanian, ketajaman, dan kepekaan nurani hakim dalam mengartikulasikan keadilan substantif di dalam putusan.
Dalam konteks Pasal 46, hakim perlu menilai apakah suatu tindak pidana dilakukan dalam lingkungan kerja korporasi dan demi kepentingannya. Penilaian ini tidak cukup secara formalistik, melainkan harus mempertimbangkan struktur organisasi dan fungsi substantif pelaku. Dengan pendekatan tersebut, hakim dapat membedakan antara tindakan personal dan tindakan institusional.
Putusan Nomor 334/Pid.Sus/2020/PN Jkt.Brt menjadi contoh ketika hakim menilai bahwa tindakan direktur PT Gemilang Sukses Garmindo, yang menggunakan faktur fiktif, dapat diatribusikan langsung kepada korporasi, sehingga korporasi dijatuhi pidana denda . Sebaliknya, dalam Putusan Nomor 35/Pid.Sus/2022/PN Lsm, meskipun korporasi memperoleh keuntungan dari penyalahgunaan faktur, hanya pengurus yang dijatuhi pidana karena dakwaannya (UU KUP) tidak mencakup korporasi sebagai subjek hukum . Perbandingan ini menunjukkan pentingnya dasar hukum yang memadai dan ruang baru bagi hakim dalam KUHP Nasional.
Selain menentukan hubungan tanggung jawab, hakim juga berwenang menjatuhkan pidana yang sesuai karakteristik korporasi. Pasal 118 dan 120 KUHP Nasional mengatur sanksi tambahan seperti pencabutan izin, pembekuan kegiatan, dan pembubaran korporasi. Hakim harus mempertimbangkan efek jera sekaligus fungsi korektif, agar putusannya mendorong reformasi tata kelola dan kepatuhan hukum.
Selanjutnya, hakim juga perlu menggunakan metode penalaran hukum yang berorientasi pada keadilan substantif. Teori seperti functioneel daderschap, sebagaimana dikenal dalam sistem hukum Belanda, dapat mengidentifikasi pertanggungjawaban pidana korporasi berdasarkan peran nyata, bukan semata-mata jabatan formal , , . Demikian pula, doktrin reactive corporate fault (RCF) memberi ruang ekstensif bagi hakim untuk menilai kesalahan korporasi dari kegagalannya mencegah atau menindak pelanggaran hukum. Implementasi semua prinsip ini dikembalikan kepada penilaian hakim untuk dapat digunakan sebagai pertimbangan hukum (ratio decidendi) dalam merumuskan putusan yang bertujuan pada corporate accountability berkelanjutan .
Dengan demikian, dalam kerangka KUHP Nasional, peran strategis hakim bukan hanya pada kewenangan untuk menetapkan korporasi sebagai pelaku delik, tetapi juga kemampuan memilih dan menggunakan penalaran hukum yang tepat, kontekstual, dan berkeadilan. Hanya dengan pendekatan demikian, pemidanaan korporasi dapat menjadi instrumen bagi hakim untuk mewujudkan keadilan substantif, dan bukan sekadar formalitas penerapan norma belaka.
Penutup
Reformasi hukum pidana nasional melalui KUHP Nasional telah membuka jalan bagi sistem pertanggungjawaban pidana korporasi yang lebih inklusif dan kontekstual. Ketentuan Pasal 45 hingga 50 tidak hanya mengakui korporasi sebagai subjek hukum pidana, tetapi juga membentuk kerangka dasar pemidanaan entitas hukum atas kejahatan yang dilakukan dalam dan untuk kepentingan korporasi.
Namun, efektivitas norma tidak semata bergantung pada formulasi undang-undang, melainkan pada keberanian dan kecakapan hakim dalam menafsirkan serta menerapkannya secara progresif. Peran strategis hakim dalam menilai relasi struktural antara pelaku-entitas, serta memilih model penalaran hukum yang tepat—seperti functioneel daderschap dan reactive corporate fault—menjadi kunci untuk memastikan keadilan tidak hanya ditegakkan secara legal-formal, tetapi juga substansial.
Dengan landasan KUHP Nasional dan penalaran hukum yang berkeadilan, hakim menempati posisi sentral dalam memastikan bahwa pertanggungjawaban pidana korporasi benar-benar berfungsi sebagai instrumen dalam membangun sistem hukum pidana yang adil, efektif, dan adaptif.
Referensi
[1] Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Pemerintah Republik Indonesia: Lembaran Negara RI Tahun 2023 Nomor 2, 2023.
[2] Rodliyah, A. Suryani, dan L. Husni, “Konsep Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (Corporate Crime) Dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia,” Journal Kompilasi Hukum, vol. 5, no. 1, hlm. 191–206, Feb 2021, doi: 10.29303/jkh.v5i1.43.
[3] E. O. S. Hiariej dan T. Santoso, Anotasi KUHP Nasional, 1 ed. Depok: Rajawali Pers, 2025.
[4] A. A. Reza, “Pertanggungjawaban Korporasi dalam Rancangan KUHP,” Jakarta, 2015. [Daring]. Tersedia pada: http://icjr.or.id
[5] A. A. G. Hadi Santoso Duwira, “Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Pencemaran Lingkungan (Suatu Perbandingan UU PPLH Dengan Omnibus Law Kluster Lingkungan Hidup),” vol. 7, no. 1, hlm. 336–344, Feb 2021, [Daring]. Tersedia pada: https://ejournal.undiksha.ac.id/index.php/jkh
[6] D. R. Afdhali dan I. Triadi, “Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Pencemaran Lingkungan Hidup,” Agu 2024. [Daring]. Tersedia pada: https://jurnal.erapublikasi.id/index.php/JEL
[7] S. A. Prabowo dan Hartawiningsih, “Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Sebagai Pelaku Tindak Pidana Perpajakan (Analisa Putusan Nomor: 334/Pid.Sus/2020/PN Jkt.Brt atas nama PT Gemilang Sukses Garmindo),” vol. 4, hlm. 227–240, Mar 2024, doi: 10.38035/jihhp.v4i3.
[8] R. Wahyudi, Jamaluddin, dan Yusrizal, “Analysis of Judges Considerations On Corporate Criminal Liability of Tax Inovice Abuse (Study Decision No. 35/Pid.Sus/2022/PN LSM),” Apr 2024. [Daring]. Tersedia pada: https://data-apbn.kemenkeu.go.id/lang/id/post/9/pendapatan-negara.
[9] A. Susanto, “Perbandingan Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Sebelum Adanya RUU KUHP Pada RUU KUHP dan Sistem Dari Negara Belanda,” 2022.
[10] B. Suhariyanto, “ Corporate Criminal Liability Under the Reactive Corporate Fault to Achieve Good Corporate Governance in Indonesia ,” SHS Web of Conferences, vol. 54, hlm. 07009, 2018, doi: 10.1051/shsconf/20185407009.