Latar Belakang
Sebagai representasi dari lembaga peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman yang merdeka, Hakim diproyeksikan untuk dapat menegakkan hukum dan keadilan. Dalam rutinitas pelayanannya, sosok Hakim secara kedudukan sangat diidentikan sebagai Wakil Tuhan di bumi, yang kepadanya senantiasa dipercaya dapat menyelesaikan segala jenis perkara melalui suatu keputusan.
Dalam konteks hukum acara pidana, kedudukan Hakim sebagai kaki tangan Tuhan ditegaskan melalui wewenangnya untuk menyatakan kesalahan seseorang, yang kemudian menjatuhkan hukuman atas kesalahan tersebut. Eksistensi atas kedudukan Hakim sebagai perwakilan Tuhan semakin tergambar jelas mana kala ia dapat membebaskan seseorang dari pendakwaan, melepaskan seseorang dari suatu penuntutan, hingga mengampuni kesalahan seseorang atas perbuatan yang dilakukannya.
Wewenang yang besar tidak berhenti sampai di situ. Ucapan yang keluar dari mulut Hakim pada hakikatnya adalah mantra yang mengandung kekuatan spiritual, yang berkuasa untuk menghasilkan realitas baru, layaknya seorang penghulu dalam acara perkawinan. Kuasa itu diperoleh secara cuma-cuma oleh Hakim, sejak ia mengakui keilahian Yang Maha Kuasa dalam setiap keputusannya melalui pencantuman irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dengan realitas demikian, Hakim dalam setiap mengambil keputusan seyogianya harus memahami bahwa ia hanya melaksanakan Kehendak Tuhan, bukan kehendak dirinya yang dapat binasa termakan hawa nafsu daging atau egonya semata. Pemahaman tersebut bukanlah isapan jempol belaka, mengingat setiap keputusan yang dijatuhkan oleh Hakim, terlepas benar atau salahnya, akan selalu dianggap sebagai kebenaran (res judicata pro veritate habetur), karena kuasa yang melekat di dalamnya.
Namun demikian, di tengah disrupsi teknologi saat ini kedudukan Hakim sebagai Wakil Tuhan telah banyak diperdebatkan. Mudahnya akses terhadap informasi, tak ayal membuat masyarakat semakin kritis terhadap segala hal, termasuk keputusan Hakim. Dari berbagai keputusan Hakim yang perkaranya menarik perhatian, sering kali masyarakat bertanya-tanya mengenai alasan dari berat ringannya pidana yang dijatuhkan oleh Hakim, bahkan tak sedikit yang melakukan penghujatan akibat dari pidana yang dijatuhkan dirasa tidak mencerminkan keadilan.
Dari sisi praktisi, keadaan tersebut dapat terjadi karena yang menjadi pergumulan pada diri Hakim dalam mengadili perkara pidana kerap kali bukanlah mengenai jenis putusan yang akan dijatuhkan, melainkan tentang berapa hukuman yang pantas untuk dijatuhkan. Dalam keadaan tersebut terlihat jelas bahwa Hakim sang Wakil Tuhan di bumi juga merupakan manusia biasa, yang tak terlepas dari kelemahan. Jadi bagaimana sebenarnya cara menerapkan porsi hukuman yang tepat terhadap perbuatan yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana?
Pergumulan Hakim Dalam Menjatuhkan Hukuman Yang Adil
Asas proporsionalitas dalam hukum pidana menghendaki adanya keseimbangan antara beratnya hukuman dengan tingkat kesalahan terdakwa, serta dampak dari tindak pidana yang dilakukannya. Tidak hanya berfungsi mencegah terjadinya ketidakadilan berupa penghukuman yang terlalu berat bagi terdakwa maupun terlalu ringan menurut korban, asas proporsionalitas juga merupakan jaminan keadilan bagi masyarakat, mana kala hukuman yang dijatuhkan akan dianggap adil apabila sesuai dengan tingkat kejahatan dan dampaknya.
Asas tersebut merupakan salah satu dasar dari penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, yang memberikan kewajiban bagi Hakim untuk memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa, dalam hal ia tengah mempertimbangkan berat ringannya pidana yang akan dijatuhkan. Dengan demikian, Hakim dituntut untuk memastikan bahwa sanksi yang diberikan tidak melebihi batas kewajaran dan sepadan dengan perbuatan yang telah terbukti dilakukan oleh terdakwa.
Kewajiban Hakim yang berkaitan dengan penegakkan hukum dan keadilan tersebut dalam praktiknya dipandang belum dapat terlaksana dengan optimal, dikarenakan belum adanya indikator yang jelas mengenai faktor yang dipertimbangkan dalam penjatuhan hukuman. KUHP existing misalnya, sebagai hukum materil yang berlaku saat ini ternyata belum secara jelas mengatur indikator dari penjatuhan hukuman, selain dari alasan pemberat berdasarkan perbarengan ataupun pengulangan.
Meskipun dalam KUHP existing ancaman minimum maupun maximum atas suatu tindak pidana secara materil telah diatur, namun dalam praktik masih menimbulkan pergumulan yang berat bagi batin para Hakim untuk menjatuhkan hukuman atas seseorang. Ketiadaan indikator ini secara tidak langsung mengartikan bahwa perihal penjatuhan hukuman kepada terdakwa, sepenuhnya diserahkan kepada subyektivitas penilaian Hakim yang mengadili perkara.
Namun demikian, bagaikan kenyataan yang tak seindah harapan, adagium hukum: aequitas ni paribus causis paria jura desiderat atau simillia similibus (dalam kasus serupa, berlaku pula hukum yang serupa) sering kali tidak terpenuhi. Tanpa menafikkan kenyataan, kebebasan Hakim dalam menjatuhkan hukuman seturut dengan kehedaknya tersebut dalam praktik akan menimbulkan disparitas pemidanaan.
Fenomena perbedaan hukuman yang signifikan untuk kasus-kasus serupa, maupun tidak serupa namun antar keduanya memiliki karakter yang sama, apabila tanpa justifikasi yang memadai tentulah akan melanggar asas proporsionalitas dalam pemidanaan. Saat perbedaan hukuman tidak dapat dipertanggungjawabkan secara rasional dan objektif, maka hal tersebut berpotensi menimbulkan permasalahan serius.
Pertentangan asas proporsionalitas dalam pemidanaan dengan praktik kebebasan Hakim dalam penjatuhan pidana kerap kali menimbulkan pertanyaan dari para pencari keadilan. Bagaimana keadilan dan kepastian hukum dalam sistem peradilan pidana di Indonesia? Untuk menyiasatinya maka diperlukan pedoman pemidanaan atau ‘sentencing guidelines’ bagi Hakim dalam menjatuhkan pidana.
Pedoman Pemidanaan Sebagai Alat Bantu Bagi Hakim
Pedoman Pemidanaan di berbagai negara sering kali disusun dalam bentuk peraturan atau dalam panduan yang dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang untuk itu. Di Indonesia, setelah menerima beragam kritik dari para pencari keadilan atas praktik pemidanaan dalam perkara tindak pidana korupsi yang dipandang tidak mencerminkan rasa keadilan, Mahkamah Agung RI segera meresponsnya dengan mengeluarkan PERMA Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Pedoman Pemidanaan Pasal 2 Dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Bersesuaian dengan konsiderannya sendiri, alasan utama PERMA tersebut hadir ialah tiada lain untuk menjawab kecemasan yang timbul dalam hati para pencari keadilan, terhadap banyaknya disparitas pemidanaan dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi, khususnya terkait penegakkan pasal 2 dan pasal 3 undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi.
Semangat untuk menghadirkan pedoman pemidanaan tersebut tentu timbul dari insight yang dinilai pasti akan terjadi, yaitu pembiaran terhadap disparitas pemidanaan bukan hanya berdampak buruk bagi kepercayaan publik kepada keadilan di pengadilan, namun dapat berakibat pula pada timbulnya demoralisasi di kalangan terpidana. Hal itu dimaknai demikian karena adanya terpidana yang dijatuhi hukuman pidana lebih berat dibandingkan dengan terpidana lain dalam kasus serupa. Selain itu, terpidana juga menjadi kehilangan kepercayaannya pada penegakan hukum akibat dirinya menjadi korban (the judicial caprice).
Upaya penyeimbangan antara asas proporsionalitas dalam pemidanaan dengan kebebasan Hakim dalam menjatuhkan pidana, saat ini tak hanya ada dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi. Melalui KUHP Nasional yang akan berlaku pada awal tahun 2026 dan menggantikan KUHP existing, Hakim mendapatkan alat bantu berupa pedoman pemidanan untuk meringankan bebannya dalam menjatuhkan pidana kepada terdakwa yang bersalah.
Dalam KUHP Nasional, terdapat 11 (sebelas) faktor yang wajib dipertimbangkan oleh Hakim dalam hal menjatuhkan pidana, yang sifatnya kumulatif alternatif. Dari seluruh faktor yang ditentukan, Hakim wajib memilih dari faktor yang ada dan dipandang paling relevan untuk dipertimbangkan dalam perkara yang ditanganinya. Faktor-faktor tersebut pada dasarnya juga tidak bersifat limitatif, sehingga Hakim tetap diperbolehkan untuk menambah pertimbangan lain di luar dari faktor yang telah ditentukan.
Layaknya PERMA pedoman pemidanaan dalam penanganan tindak pidana korupsi yang bertujuan untuk memudahkan Hakim dalam menjatuhkan pidana, pedoman pemidanaan dalam KUHP Nasional sejatinya merupakan alat bantu bagi Hakim dalam upaya menjatuhkan hukuman yang adil, ketika ia melaksanakan tugasnya untuk menegakkan hukum dan keadilan.
Penutup
Setiap manusia tidaklah mungkin memiliki perspektif yang sepenuhnya sama dalam menilai satu persoalan, karena pada dasarnya setiap manusia terbentuk berdasarkan perjalanan hidup dan hubungannya masing-masing dengan Tuhan. Selaku makhluk hidup yang diberikan akal budi, cara Hakim untuk menunjukkan eksistensi Tuhan adalah dengan cara menggunakan akal budinya dengan baik, terutama pada saat mengadili sebuah perkara. Untuk itu meskipun sebagai manusia yang lemah dan merujuk pada ketidaksempurnaan, Hakim harus terus berjuang mencari perkenanan Tuhan, sebagai yang diwakilinya, dalam menghasilkan keputusan yang adil untuk menegakkan hukum dan keadilan.
Hadirnya pedoman pemidanaan sebagai alat bantu bagi Hakim merupakan sebuah jawaban yang tidak sama sekali bermaksud untuk mengekang ataupun mengganggu independensinya, melainkan melalui alam bawah sadar berfungsi untuk menstimulasi Hakim sebagai manusia agar lebih kritis dalam menjatuhkan pidana. Karena selain menunjukkan sisi kemanusiaannya, penggunaan alat bantu tersebut juga berperan untuk memberikan keadilan, yang bukan saja bagi terdakwa, korban, masyarakat ataupun negara, akan tetapi juga bagi Hakim itu sendiri.
Dengan adanya pedoman pemidanaan tersebut Hakim diharapkan tidak lagi menyimpan alasan dari berat ringannya pidana yang dijatuhkan sebagai rahasia musyawarah belaka, melainkan ia wajib menjelaskannya juga dengan lengkap di dalam putusan, hingga akhirnya dipertimbangkan sebagai keadaan yang memberatkan atau keadaan yang meringankan.
Referensi
[1] Republik Indonesia, Pasal 197 ayat (1) huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana. Jakarta: Menteri/Sekretaris Negara, 1981.
[2] Republik Indonesia, Penjelasan Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Jakarta: Menteri Hukum dan HAM, 2009.
[3] Mahkamah Agung RI, Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Pedoman Pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Pidana Korupsi. Jakarta: Dirjen Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan HAM, 2020.
[4] H.M. Syarifuddin, Prinsip Keadilan Dalam Mengadili Perkara Tindak Pidana Korupsi - Implementasi PERMA Nomor 1 Tahun 2020. Jakarta: Kencana, 2020.
[5] Republik Indonesia, Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Jakarta: Menteri Sekretaris Negara, 2023.
[6] Eddy O.S. Hiariej dan Topo Santoso, Anotasi KUHP Nasional, Yayat Sri Hayati, Ed. Depok: Rajawali Pers, 2025.