Latar Belakang
Di era reformasi yang ditandai dengan krisis multidimensi di berbagai sektor, termasuk hukum, timbul kekhawatiran di kalangan masyarakat akibat kritik pedas yang menyoroti buruknya penegakan hukum di Indonesia.[1] Salah satu lembaga negara yang menjadi sorotan publik saat ini adalah Mahkamah Agung dimana terdapat pengabaian terhadap kode etik khususnya bagi hakim yang berada di Pengadilan tingkat kesatu sebagai pejabat peradilan negara yang memeriksa perkara pidana diberi otoritas oleh Undang-undang untuk menentukan apakah seorang terdakwa dapat dinyatakan bersalah atau tidak.
Dalam perkara pidana hakim memberikan putusan berdasarkan minimal dua alat bukti yang sah kemudian dengan alat bukti tersebut muncul keyakinan hakim.[2] Keyakinan hakim sebagai aspek non-yuridis terkadang dapat disalahgunakan ketika keyakinan hakim itu sendiri dijadikan alat transaksi agar seorang terdakwa dapat diputus bebas[3], padahal seyogyanya hakim dalam menggunakan keyakinannya harus menggunakan kebijaksanaannya dalam melihat aspek yuridis, sosiologis, dan filosofis disertai dengan kontemplasi mendalam.
Seorang hakim dalam menjalankan profesinya diberikan kode etik serta pedomannya dalam berperilaku sehingga terdapat batasan agar hakim tidak melakukan tindakan penyimpangan dalam menjalankan profesinya. Hal ini sangat penting karena seorang hakim memiliki kedudukan yang mulia dalam Islam, mengingat hakim memegang amanat sebagai penerus perintah Allah SWT dan Rasul-Nya di dunia. Oleh karena itu, keberadaan maqashid syariah menjadi pedoman utama dalam kehidupan, termasuk bagi seorang hakim.
Menjaga integritas merupakan hal yang wajib dilakukan oleh seorang hakim karena apabila adanya distorsi dalam menjalankan integritas seorang hakim, maka profesi hakim hanya sebagai alat pencari mata pencaharian semata yang kering dari moral dan etika dan bertujuan hanya untuk mendapatkan tambahan penghasilan dengan cara yang tidak halal sehingga dapat meruntuhkan keluhuran harkat, martabat dan kehormatan profesi hakim dan turunnya kepercayaan masyarakat khususnya para pencari keadilan. Karenanya, diperlukan pedoman untuk menjaga harta (Hifdzu Maal) agar harta tersebut tidak berasal dari sumber yang haram, serta memastikan jika harta yang didapatkan melalui cara yang dianugerahi oleh Allah dan bukan dengan cara yang batil.[4]
Penjagaan Harta dalam Maqashid Syariah
Istilah maqashid syariah terdiri dari dua kata, yaitu maqashid (tujuan) dan syariah (aturan Allah yang kemudian diturunkan kepada Nabi dan ditujukan kepada umat manusia). Gabungan kedua kata tersebut mengandung makna tujuan-tujuan yang ingin dicapai melalui penetapan hukum.[5] Teori tentang penjagaan harta (Hifdzu Maal) merupakan salah satu dari 5 tujuan pokok tuntunan dalam beragama, yaitu merawat keturunan, merawat agama, merawat jiwa, merawat akal, dan merawat harta. Berkaitan dengan maqashid syariah, terdapat tiga tingkatan yaitu dharuriyyat, hajiyyat, dan tahsiniyyat. Adapun tingkatan yang berkaitan dengan harta benda seseorang adalah tingkatan daruriyyat,[6] Berkaitan dengan kepemilikan harta dalam syariat Islam adalah dengan cara memperoleh rezeki yang sah dan tidak melakukan pengambilan harta milik orang lain dengan cara menyimpang dari agama. Apabila syariat ini kemudian dilanggar, maka hal tersebut dapat mengancam keberadaan harta yang diambil secara menyimpang dan[7] menjadikannya tidak berkah, hina, dan jauh dari ketaqwaan kepada Allah SWT.
Hifdzu Maal adalah prinsip untuk menjaga harta agar tetap terpelihara dengan baik, mendukung nilai-nilai kehidupan, tatanan sosial, dan keseimbangan, sehingga tidak ada pihak yang dirugikan. Islam mewajibkan setiap Muslim untuk memperoleh harta dengan cara yang dianugerahi oleh Allah dan bukan dengan cara yang bathil hal ini tercantum dalam QS. Al- baqarah:188. Dimana maksud ayat tersebut adalah menjadi catatan dan juga ancaman bagi mereka yang melakukan perbuatan zalim kepada orang lain kemudian dengan menguasai atau mengambil harta tersebut secara tidak sah, seperti halnya menerima suap dan gratifikasi.[8]
Implementasi Kode Etik Hakim dalam Maqashid Syariah
Kode Etik hakim adalah sebuah rumusan tentang aturan-aturan etika yang harus dipegang teguh oleh setiap hakim. Pada Konferensi Yudisial Internasional yang diadakan di Bangalore, India, pada tahun 2001, berhasil menyepakati sebuah draf kode etik dan pedoman perilaku hakim internasional yang dikenal dengan The Bangalore Draft. Bahwa draft tersebut berisi 6 ketentuan yang harus dijadikan acuan untuk hakim secara global[9] hal ini kemudian pada tahun 2009 MA RI dan KY RI membuat Keputusan Bersama dengan membuat 10 kode etik hakim.
Dalam jiwa seorang manusia terdapat 2 hal yang mengendalikan setiap semua perilaku manusia yaitu fujur dan takwa. Fujur adalah perbuatan jahat dan perilaku yang bertentangan dengan syariat, sementara takwa adalah kebalikan dari fujur, yaitu menjalankan kebenaran dan segala aturan yang ditetapkan oleh Allah SWT. Bahwa setiap manusia yang menggunakan takwa sebagai sumber kendali perilaku kehidupannya maka akan mengantarkannya ke kesuksesan dunia dan akhirat dan apabila menggunakan fujur dalam sumber kendali maka akan nestapa di dunia dan akhirat. Allah SWT menciptakan fujur bukan berarti agar manusia terjebak dalam keburukan namun untuk memunculkan sifat takwa yang ada di dalam jiwa sebagai contoh analoginya bagaimana kita mengetahui pakaian bersih kalau tidak ada kotoran? Kotoran diciptakan agar bisa membedakan pakaian bersih dan pakaian kotor maka harus dibersihkan sebagai pilihannya, jika kotor tidak ada, maka bagaimana pakaian bisa dikatakan bersih. Oleh karena itu, Allah SWT memberikan kebebasan sepenuhnya kepada manusia untuk menentukan pilihan antara yang baik dan yang buruk, sesuai dengan sifat ikhtiyari (kemampuan untuk memilih) yang telah dianugerahkan-Nya kepada umat manusia.
Dengan adanya setan di dunia dan atas seizin Allah setan memiliki tugas untuk menggoda jiwa dari manusia itu sendiri, maka ketika sifat fujur mulai muncul maka seketika itu juga seorang manusia harus cepat mencari lawannya dari sifat taqwa sebagai contoh adanya sifat kebathilan (kesalahan/ketidakbenaran) yang ada di dalam diri seorang hakim maka segera munculkan sifat kebenaran (berintegritas tinggi). Hal demikian memang tidak mudah dan perlu adanya peningkatan resistensi yakni selalu memperbaiki hubungan dengan Tuhan dengan menjadikan ibadah tidak hanya sebagai kewajiban melainkan sebagai kebutuhan, dengan demikian jika hubungan dengan Tuhan selalu diperbaiki maka seorang hakim tidak akan melakukan perbuatan menyimpang karena sudah mengetahui ujung nasibnya akan menjadi hina dan terpuruk bahkan berpikir lebih panjang bahwa jangan sampai wafat dalam keadaan maksiat kepada Tuhan.
Penutup
Dalam menjaga integritas, seorang hakim seyogyanya menggunakan pendekatan transendental dengan selalu memperbaiki hubungan dengan tuhannya. Integritas adalah sifat yang harus dimiliki oleh seorang hakim, karena dengan menjaga integritas, hakim akan memiliki kesatuan pribadi yang bermoral tinggi, yang tercermin dalam kejujuran dan kepribadian yang baik. Dengan demikian tujuan pokok dalam beragama yakni Hifdzu Maal dapat menghasilkan harta yang halal dan mendukung nilai-nilai kehidupan, tatanan sosial dan keseimbangan sehingga tidak ada yang dirugikan.
Referensi
[1] Samud, “KODE ETIK PROFESI HAKIM MENURUT HUKUM ISLAM,” Cirebon, Jan. 2015.
[2] Republic Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Nomor 8 tahun 1981. 1981.
[3] R. S. N. Erwin Rachmi Puspapertiwi, “Kronologi Kasus Ronald Tannur, Suap Hakim demi Bebas dari Pembunuhan,” Kompas.com.
[4] NU Online Jateng, “Maqashidus Syari’ah, pengertian, dan unsur-unsur di dalamnya,” NU Online Jateng.
[5] Hukum Online, “Mengenal Tujuan dan Tingkatan 5 Maqashid Syariah,” Hukum Online.
[6] D. A. Luqman Nurhisam, “Hifdz Al-Maal dalam Regulasi Rahasia Perbankan,” Tawazun: Journal of Sharia Economic Law, vol. 3, no. 2, Sep. 2020.
[7] M. G. M. P. P. Muhammad Irkham Firdaus, “Analisis Teori Hifdz Al-Maal Terhadap Instrumen Hedging (Lindung Nilai),” Syarikat: Jurnal Rumpun Ekonomi Syariah, vol. 6, no. 2, Dec. 2023.
[8] Alwi Jamalulel Ubab, “Tafsir Surat Al-Baqarah ayat 118: Larangan Mengambil Hak Orang Lain Secara Batil,” Nu Online.
[9] dkk Heni Hendrawati, “Aspek Penegakan Kode Etik Hakim dalam Mewujudkan Kekuasaan Kehakiman yang Bermartabat dan Berintegritas,” Varia Justicia, vol. 12, no. 1, Mar. 2016