Latar Belakang
Pengesahan KUHP nasional menjadi titik penting dalam dinamika perkembangan hukum pidana di Indonesia. Bagian penting yang terdapat dalam KUHP baru adalah adanya pengakuan dalam hukum pidana adat yang merupakan bagian dari sistem hukum nasional. Pengakuan ini menimbulkan berbagai implikasi, terutama terkait dengan asas legalitas dan kepastian hukum. Sehingga penting untuk memahami bagaimana hukum pidana adat berinteraksi dengan KUHP serta dampaknya terhadap sistem hukum pidana Indonesia secara keseluruhan.
Pluralisme hukum dalam sistem hukum pidana Indonesia menjadi perhatian utama dalam berbagai kajian akademik. Kurniawan et al. menyoroti pentingnya kerjasama antara hukum pidana adat dan hukum pidana nasional dalam rangka membangun pluralisme hukum pidana yang seimbang. Pendekatan ini bertujuan untuk mengakomodasi keberagaman norma hukum yang hidup dalam masyarakat tanpa mengabaikan prinsip-prinsip hukum nasional. Implikasi penerapan hukum pidana adat dalam Pasal 2 KUHP terhadap asas legalitas. Meskipun hukum adat diakui dalam KUHP, masih terdapat tantangan dalam memastikan penerapannya tidak bertentangan dengan Prinsip legalitas yang menjadi landasan utama dalam sistem hukum pidana modern.
Permasalahan
Permasalahan utama yang dikaji dalam penelitian ini adalah bagaimana hukum pidana adat dapat diterapkan dalam sistem hukum nasional tanpa bertentangan dengan asas legalitas dan kepastian hukum. Sehingga, penelitian ini diarahkan untuk memahami batasan peran hukum pidana adat dapat diakomodasi dalam sistem hukum nasional serta bagaimana pengaruhnya terhadap Perlindungan hak asasi manusia serta kepastian hukum dalam mekanisme peradilan pidana Indonesia.
Pembahasan
Pasal 2 KUHP mengatur bahwa hukum yang hidup dalam masyarakat dapat dijadikan dasar pemidanaan. Namun, ketentuan ini memicu perdebatan karena bertentangan dengan asas legalitas sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang menyatakan tidak ada perbuatan yang dapat dipidana tanpa adanya dasar hukum dalam peraturan perundang-undangan yang sah. Ketidaksesuaian ini berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum bagi masyarakat. Selain itu, pengakuan terhadap hukum pidana adat juga menimbulkan tantangan dalam aspek harmonisasi dengan sistem hukum nasional. Dalam beberapa kasus, norma hukum adat yang berlaku dalam suatu komunitas berpotensi melanggar prinsip-prinsip hak asasi manusia yang telah dilindungi oleh konstitusi dan peraturan perundang-undangan lainnya. Sehingga diperlukan mekanisme yang jelas untuk menentukan batasan dalam penerapan hukum adat agar tetap selaras dengan prinsip-prinsip hukum nasional.
Analisis lebih mendalam dilakukan oleh Irawan dan Pura yang menyoroti bagaimana ketentuan hukum yang hidup dalam masyarakat diakomodasi dalam KUHP Nasional. Mereka menekankan bahwa penerapan hukum adat harus tetap berada dalam koridor konstitusional tanpa melanggar ketentuan hak asasi manusia. Jika hukum adat diterapkan tanpa kontrol yang ketat, maka berpotensi terjadi pelanggaran terhadap hak-hak individu yang dijamin dalam Pasal 28I UUD 1945 tentang hak asasi manusia.
Dalam praktiknya, penerapan hukum pidana adat telah menimbulkan beberapa kasus yang kontroversial. Misalnya, dalam kasus hukum adat di Aceh, beberapa kebijakan berbasis hukum adat seperti hukuman cambuk terhadap pelanggar norma sosial tertentu telah mendapat kritik dari kelompok pegiat hak asasi manusia. “Amnesty International” menyatakan bahwa praktik ini dapat melanggar hak atas perlakuan yang manusiawi sebagaimana diatur dalam Pasal 7 “International Convenant on Civil and Political Rights” (ICCPR), yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui UU No. 12 Tahun 2005.
Selain Aceh, praktik hukum adat yang menimbulkan kontroversi juga terjadi di beberapa daerah lain. Contohnya adalah penerapan sanksi adat dalam beberapa komunitas di Papua dan Kalimantan, di mana pelanggaran norma adat tertentu dapat berujung pada denda dalam bentuk harta benda atau bahkan pengusiran dari komunitas. Sanksi semacam ini sering kali dianggap bertentangan dengan prinsip non-diskriminasi dan hak untuk hidup secara bermartabat sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menjamin kepastian hukum dan perlindungan yang sama di hadapan hukum.
Dari perspektif hukum nasional, Pasal 2 KUHP yang mengakomodasi hukum pidana adat harus diimplementasikan dengan tetap mempertimbangkan prinsip-prinsip hukum yang lebih tinggi, termasuk asas legalitas dan hak asasi manusia. Dalam beberapa kasus, penerapan hukum adat tanpa mekanisme kontrol yang jelas dapat menimbulkan ketidakpastian hukum serta membuka peluang bagi interpretasi subjektif oleh aparat penegak hukum. Sebagai contoh, dalam beberapa kasus di Nusa Tenggara Timur, terdapat praktik "hukum adat pengasingan" di mana individu yang melanggar norma adat tertentu dilarang tinggal di wilayah komunitasnya. Praktik ini berpotensi melanggar hak atas kebebasan bergerak yang dijamin dalam Pasal 27 ICCPR dan Pasal 28E ayat (1) UUD 1945.
Selain aspek legalitas, aspek penegakan hukum juga menjadi tantangan tersendiri. Dalam sistem peradilan pidana, setiap pelanggaran hukum harus ditangani dengan prosedur hukum yang jelas dan tidak boleh didasarkan pada interpretasi subjektif atau tekanan dari kelompok tertentu. Oleh karena itu, perlu adanya mekanisme kontrol melalui peraturan teknis yang lebih rinci terkait penerapan hukum pidana adat, agar tidak terjadi tumpang tindih antara hukum adat dan sistem hukum nasional. Mahkamah Agung dapat berperan dalam menilai sejauh mana penerapan hukum pidana adat dapat diterima tanpa melanggar prinsip dasar hukum nasional.
Dari perspektif kepastian hukum, Bahri menekankan bahwa penerapan hukum pidana adat dalam KUHP Nasional harus memperhatikan asas kepastian hukum agar tidak terjadi perbedaan tafsir dalam penegakan hukum. Penerapan hukum yang berkembang dan berlaku di tengah masyarakat tanpa batasan yang jelas dapat menimbulkan subjektivitas dalam penegakan hukum, yang pada akhirnya dapat mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan pidana. Sebagai contoh, di beberapa daerah, praktik penyelesaian perkara melalui mekanisme adat dapat menghasilkan putusan yang berbeda meskipun kasusnya serupa, sehingga menimbulkan ketidakpastian bagi masyarakat.
Kepastian hukum merupakan prinsip utama yang harus dijaga. Pasal 1 ayat (1) KUHP secara tegas menekankan bahwa hukum pidana hanya dapat diterapkan bila didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang telah diundangkan terlebih dahulu. Dengan demikian, pengakuan terhadap hukum pidana adat dalam Pasal 2 KUHP harus diiringi dengan mekanisme yang jelas agar tidak bertentangan dengan asas legalitas. Penulis berpendapat bahwa implementasi Pasal 2 KUHP memerlukan pengawasan ketat oleh lembaga yudikatif untuk memastikan bahwa norma hukum adat yang diterapkan benar-benar mencerminkan nilai-nilai keadilan yang selaras dengan hukum nasional. Salah satu mekanisme yang dapat diterapkan adalah melalui peran Mahkamah Agung dalam menilai kesesuaian hukum adat dengan peraturan perundang-undangan nasional. Selain itu, perlu adanya pembentukan peraturan teknis yang mengatur batasan hukum adat agar tetap selaras dengan kepastian hukum dan tidak menimbulkan subjektivitas dalam penerapannya.
Penerapan hukum pidana adat dalam sistem hukum nasional Indonesia melalui Pasal 2 KUHP merupakan langkah progresif dalam mengakomodasi keberagaman norma hukum yang hidup dalam masyarakat. Namun, pengakuan ini menimbulkan perdebatan terkait asas legalitas, kepastian hukum, dan perlindungan hak asasi manusia. Meskipun hukum adat memiliki nilai-nilai kearifan lokal yang dapat berkontribusi terhadap keadilan restoratif, penerapannya harus tetap berada dalam koridor konstitusional dan tidak bertentangan dengan prinsip dasar hukum nasional.
Sejumlah kasus di berbagai daerah menunjukkan bahwa penerapan hukum pidana adat dapat menimbulkan permasalahan, terutama ketika sanksi yang dijatuhkan bertentangan dengan hak asasi manusia atau membuka peluang bagi subjektivitas dalam penegakan hukum. Misalnya, praktik hukuman cambuk di Aceh dan pengasingan individu di Nusa Tenggara Timur menunjukkan adanya potensi pelanggaran terhadap hak atas perlakuan manusiawi serta kebebasan bergerak yang dijamin oleh konstitusi dan perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia.
Dari perspektif kepastian hukum, penerapan hukum pidana adat memerlukan mekanisme kontrol yang jelas agar tidak menimbulkan ketidakpastian atau dualisme dalam sistem peradilan pidana.
Kesimpulan
Untuk itu, perlu adanya regulasi teknis yang mengatur batasan penerapan hukum adat guna menghindari pertentangan dengan asas legalitas dan hak asasi manusia. Peran Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung menjadi penting dalam memastikan bahwa hukum adat yang diterapkan tetap selaras dengan sistem hukum nasional.
Sehingga, penerapan Pasal 2 KUHP harus diiringi dengan peraturan pelaksana yang jelas serta pengawasan ketat oleh lembaga hukum agar tujuan dari pluralisme hukum dapat tercapai tanpa mengorbankan prinsip dasar dalam hukum pidana nasional.
Referensi:
[1] Kurniawan, K., Fajrin, Y., and Ishwara, A., "The Synergy of Customary Criminal Law and National Criminal Law: Orientation Towards Criminal Law Pluralism," Pena Justisia: Media Komunikasi dan Kajian Hukum, 2024. [Online]. Available: https://doi.org/10.31941/pj.v22i3.3358.
[2] Yogaswara, Y., Surwita, T., and Yustia, D., "Implikasi Penerapan Hukum Pidana Adat dalam Pasal 2 KUHP terhadap Asas Legalitas dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia," El-Mujtama: Jurnal Pengabdian Masyarakat, 2024. [Online]. Available: https://doi.org/10.47467/elmujtama.v4i3.2191.
[3] Irawan, A., and Pura, M., "Analisis Yuridis Ketentuan Hukum yang Hidup dalam Masyarakat pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia," Ajudikasi: Jurnal Ilmu Hukum, 2023. [Online]. Available: https://doi.org/10.30656/ajudikasi.v7i1.6453.
[4] Amnesty International Indonesia, "Akhiri Hukuman Cambuk di Aceh, Tidak Manusiawi," 21 Maret 2023. [Online]. Available: https://www.amnesty.id/kabar-terbaru/siaran-pers/akhiri-hukuman-cambuk-di-aceh-tidak-manusiawi/03/2023/.
[5] Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Laporan Pelanggaran HAM terkait Hukum Adat di Indonesia, Jakarta: Komnas HAM, 2021. [Online]. Available: https://www.komnasham.go.id/hukum-adat-dan-ham-2021.
[6] Bahri, R., "Konsep Penegakan Hukum Pidana Adat di Indonesia Berdasarkan Asas Kepastian Hukum," Law, Development and Justice Review, 2024. [Online]. Available: https://doi.org/10.14710/ldjr.7.2024.61-74.