Latar Belakang
Hukum tidak hidup di ruang hampa. Hukum juga bukan hanya sekedar teks yang dingin, ia hidup dalam tutur, adat dan laku rakyat. Prinsip tersebut dihidupkan kembali dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional 2023 melalui gagasan hukum yang hidup (living law). Living law adalah hukum yang senyata-nyatanya dianut dan berlaku dalam masyarakat, terbentuk dari nilai, kebiasaan-kebiasaan dan norma sosial yang diterapkan tanpa tertulis secara resmi. Istilah Living law dipopulerkan oleh Eugen Ehrlich dalam bukunya Fundamental Principles of the Sociology of Law (1913) menyatakan “hukum yang sesungguhnya” bukan apa yang tertulis di undang-undang, melainkan apa yang benar-benar dijalankan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Living law berfungsi menjaga keteraturan sosial masyarakat, memberikan keadilan substantif berbasis kearifan dan nilai lokal, serta menjadi dasar legitimasi sosial dan sumber hukum positif apabila diakui negara.
Dewasa ini, penerapan living law secara nyata dengan menyesuaikan hukum positif dan prosedur beracaranya telah dilakukan oleh beberapa negara contohnya seperti Afrika Selatan, dalam konstitusi 1996 sect. 211, mengakui pentingnya living law menjadi bagian dari sistem hukum nasional serta melakukan perubahan dalam prosedur beracaranya dimana pengadilan adat diakui, prosedur pembuktian dan penyelesaian sengketa adat mengikuti adat yang hidup di komunitas tersebut. Selanjutnya, di Papua Nugini hukum adat diakui sebagai bagian dari hukum yang berlaku berdasarkan Criminal Law (Compensation) Act 1991, Pengadilan dapat mempertimbangkan apakah sudah dilakukan penyelesaian secara adat seperti memberi kompensasi kepada korban atau keluarganya sehingga jika sudah sesuai dengan hukum adat setempat maka Pengadilan dapat menggunakannya sebagai salah satu pertimbangan untuk meringankan vonis yang akan diberikan. Lalu, bagaimana dengan Indonesia?
Sebelum adanya KUHP Nasional 2023, Indonesia menggunakan KUHP peninggalan Kolonial Belanda yang tidak mengakui secara formal living law sebagai sumber hukum pidana tetapi dalam praktiknya Hakim daerah khususnya luar pulau Jawa kadang mempertimbangkan adat istiadat dalam menjatuhkan hukuman karena hukum pidana positif berbasis KUHP Kolonial tersebut lebih menekankan kepastian hukum tertulis sehingga sulit menerima praktik adat, yang kalaupun ada dipertimbangkan dengan sangat terbatas, dengan kata lain living law pada masa ini hidup dari pertimbangan-pertimbangan Hakim yang menggali nilai-nilai lokal tetapi penerapannya tidak mengikat seperti dalam Putusan PN Wamena 2022 dalam perkara komunitas adat, Majelis Hakim mempertimbangkan hukum adat “bayar kepala” sebagai salah satu ketentuan yang meringankan dalam penjatuhan hukuman maupun dari peraturan keadilan restoratif yang sudah berjalan beberapa tahun belakangan seperti dalam Sistem Peradilan Pidana Anak.
Setelah adanya KUHP Nasional 2023 (berlaku penuh mulai tahun 2026), living law secara resmi diakui sebagai sumber hukum pidana. Dalam Pasal 2 KUHP Nasional 2023, berbunyi “Ketentuan pidana dalam peraturan perundang-undangan berlaku juga terhadap setiap orang melakukan perbuatan yang menurut hukum yang hidup dalam masyarakat, harus dipidana, walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan”, yang artinya hukum yang hidup dalam masyarakat dapat menjadi dasar mempidana seseorang meskipun perbuatannya belum diatur dalam KUHP, dan negara memberi ruang penafsiran atau penemuan hukum yang legal bagi peradilan sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip nasional. Dari sini, Penulis berkesimpulan hukum yang hidup dalam masyarakat dapat dipergunakan apabila memenuhi persyaratan tertentu seperti hukum yang dijadikan dasar harus sesuai dengan Pancasila dan Hak Asasi Manusia, hukum tersebut harus sudah hidup dan diakui dalam komunitas tertentu, serta telah ditetapkan melalui Peraturan Daerah (PERDA) demi kepastian hukum.
Perumusan living law dalam pasal 2 KUHP Nasional 2023 dapat dikatakan upaya besar bangsa Indonesia melakukan dekolonisasi terhadap KUHP Kolonial warisan Belanda. Namun, di tengah semangat dekolonisasi itu, pertanyaaan besar muncul: bagaimana Mahkamah Agung sebagai benteng terakhir penegakan hukum menyesuaikan prosedur beracaranya agar mampu menerjemahkan hukum yang hidup menjadi hukum yang adil dan pasti sekaligus mampu mengakomodasi realitas masyarakat yang terus berubah terutama dimasa globalisasi hukum saat ini? Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis tantangan dan arah integrasi prinsip living law KUHP Nasional 2023 ke dalam prosedur beracara Mahkamah Agung, saat hukum dituntut berpindah dari sekadar teks menjadi konteks.
Tantangan Integrasi Living Law Dalam Prosedur Beracara Mahkamah Agung
Pengakuan secara resmi terhadap living law melalui perumusan living law dalam pasal 2 KUHP Nasional 2023, menjadi titik awal integrasi living law dalam prosedur beracara Mahkamah Agung. Pengintegrasian ini tentu memberikan tantangan tersendiri bagi Mahkamah Agung baik tantangan secara teknis (memasukkan adat ke prosedur formal), ideologis (menjaga keseimbangan antara keadilan adat dan konstitusi) maupun kapasitas (kesiapan hakim dan aparat hukum yang lebih pluralistik). Hal ini disebabkan oleh adanya beberapa perbedaan seperti:1) perbedaan karakter basis hukum antara Mahkamah Agung yang formil, baku, seragam dan mengandalkan alat bukti formil surat, saksi, ahli yang berbanding terbalik dengan living law yang fleksibel karena adanya ratusan komunitas adat di Indonesia yang norma dan cara beracaranya berbeda-beda serta mengandalkan alat bukti pada kesaksian lisan, ikrar adat dan ritual simbolik sehingga menimbulkan tantangan teknis dalam membuat satu prosedur beracara nasional dan penilaian keabsahan bukti adat yang tetap dan pasti tetapi disisi lain tanpa mematikan keragaman hukum adat; 2) perbedaan prinsip dari ratusan norma adat yang hidup dan diakui belum tentu sejalan dengan prinsip HAM Modern misalnya diskriminasi gender dan hukuman fisik sehingga menimbulkan tantangan ideologis dalam membuat standar verifikasi/mekanisme/uji validasi hukum adat untuk menetapkan suatu adat benar hidup dan berlaku kemudian mengadopsinya dalam prosedur beracara dengan memfilter terlebih dahulu nilai dan norma adat yang akan diadopsi tersebut tidak melanggar konstitusi sehingga dapat sah diakui di persidangan dan dapat diterapkan oleh para hakim; 3) Perbedaan kapasitas hakim dan aparat yang tidak seluruhnya memahami hukum adat diwilayah tugasnya akan menimbulkan tantangan terkait kepekaan budaya dan kemampuan mengintegrasikan living law dalam persidangan.
Arah Penyesuaian Prosedur Beracara Mahkamah Agung
Integrasi living law dalam prosedur beracara Mahkamah Agung merupakan langkah strategis untuk membumikan keadilan, menyelaraskan norma yuridis dengan realitas sosial yang dinamis. Oleh karena itu untuk menjawab tantangan yang akan dihadapi dalam integrasi living law dalam prosedur beracara Mahkamah Agung perlu untuk ditetapkan arah penyesuaian yang tepat, adaptif dan kontekstual agar tercipta sistem hukum acara yang lebih responsif terhadap norma adat tanpa mengorbankan kepastian hukum, HAM dan prinsip negara hukum. Penulis berpendapat arah penyesuaian tersebut dapat dibagi dalam beberapa arah sebagai berikut: 1) Arah Normatif melalui pengakuan dan legalitas living law dengan mengafirmasi dalam buku pedoman Mahkamah Agung bahwa hukum acara nasional terbuka untuk mempertimbangkan norma hukum adat; menyusun PERMA yang memberikan dasar hukum teknis bagi hakim yang mengatur syarat, bentuk, dan cara pemanfaatan living law dalam perkara pidana; dan menetapkan pengakuan bersyarat bahwa hanya hukum adat yang masih hidup dan tidak bertentangan dengan Pancasila dan HAM yang dapat diadopsi/diterapkan; 2) Arah Prosedural melalui pemberian fleksibilitas dalam tahapan persidangan seperti mediasi adat atau musyawarah sebelum masuk pokok perkara; pembuktian yang melibatkan saksi adat atau praktik masyarakat sebagai alat bukti yang sah; dan pencatatan berita acara sidang memuat living law dipertimbangkan secara resmi dalam amar putusan; 3) Arah Kelembagaan melalui pembentukan ahli adat untuk memberikan pendapat hukum adat dan mediator berbasis adat; serta kolaborasi Pengadilan Negeri terutama di daerah dengan pluralisme hukum tinggi dengan penghubung adat (cultural liaison officer) sehingga tercipta sinergi antara Pengadilan Negeri dan Institusi Adat Lokal; 4) Arah Evaluatif melalui penyusunan pedoman interpretatif yang menjelaskan batas penggunaan adat agar tidak disalahgunakan/dimanipulasi untuk kepentingan tertentu; membangun basis data putusan pengadilan yang mempertimbangkan hukum adat sebagai bahan ajar dan yurisprudensi dari putusan yang memuat living law secara konsisten; pengembangan peta digital hukum adat oleh Mahkamah Agung dan BPHN yang memuat wilayah hukum adat, norma-norma yang masih berlaku dan preseden yudisial terkait adat dan living law; dan uji coba model integrasi living law didaerah tertentu (misalnya Papua, Kalimantan) dengan monitoring berbasis indikator HAM, akses keadilan dan penyelesaian konflik serta dilakukan evaluasi berkala untuk menghindari penyimpangan atau diskriminasi berbasis adat; 5) Arah Kultural melalui peningkatan pendidikan hukum dan pelatihan hakim bekerjasama dengan lembaga diklat dan universitas agar dapat mengintegrasikan pendidikan pluralisme hukum, etnografi hukum dan living law dalam kurikulum hakim untuk memahami living law, dan menyelenggarakan pelatihan khusus untuk menilai kesahihan norma adat dan keabsahan alat bukti adat serta cara beracara berbasis nilai lokal sehingga para hakim dapat membedakan antara adat yang hidup dan adat yang diberlakukan secara semu (pseudo-custom).
Penutup
Integrasi living law bukan hanya sekadar “menghidupkan adat” dalam hukum nasional tetapi soal menciptakan sistem hukum yang mampu mewujudkan keadilan substantif yang lebih kontekstual sekaligus wujud pengakuan dinamika hukum yang hidup di masyarakat. Jalan Panjang integrasi living law kedalam hukum nasional sudah dimulai melalui KUHP Nasional 2023 yang akan mulai berlaku pada tahun 2026. Kedepannya masih sangat memerlukan komitmen kelembagaan, reformasi regulasi yang inklusif, transparan dan berlandaskan keadilan substantif serta pendekatan hermeneutik yang lebih progresif untuk menjawab tantangan integrasi living law dalam prosedur beracara Mahkamah Agung agar Mahkamah Agung dapat menjadi pelopor harmonisasi antara hukum formal dan nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat.
Referensi
[1] Morudu dan Maimela, “The indigenisation of customary law: Creating an indigenous legal pluralism within the South African dispensation: possible or not?”, De Jure Law Journal, pp. 54-69, 2021.
[2] T.S. Cain, “Convergence or clash? The recognition of customary law and practice in sentencing decisions of the courts of the Pacific Island Region,” Melbourne Journal of International Law, vol.2, 2001.
[3] L. Sulistiawan, “The existence of living law at the new KUHP in the criminal justice system,” International Journal of Business, Economics and Law, vol.29, pp. 97-100, Aug.2023.