Latar Belakang
Pidana denda tergolong ringan berdasarkan Pasal 65 ayat (2) KUHP nasional namun bukan tidak mungkin pelaksanaannya mengalami kendala. Meskipun KUHP nasional telah mengantisipasi pidana yang dianggap ringan tersebut tidak dilaksanakan dapat terlaksana dengan bantuan jaksa dengan cara melakukan penyitaan terhadap kekayaan dan pendapatan milik terpidana untuk memenuhi pidana denda yang dijatuhkan oleh hakim sebagaimana hal tersebut tertuang dalam Pasal 81 ayat 3 KUHP nasional. Ketentuan tersebut dapat menjamin terlaksananya putusan pidana denda yang dijatuhkan hakim, namun dalam Pasal 81 ayat 3 KUHP nasional beserta penjelasannya tidak menyebutkan lebih lanjut batasan dan tata cara penyitaan objek kekayaan atau pendapatan terpidana oleh jaksa, hal ini berpotensi menjadi Abuse of Power apabila tidak diatur lebih lanjut melalui hukum acara pidana. Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang hingga kini masih berlaku belum dapat mengakomodir pelaksanaan KUHP nasional terkait batasan dan tata cara objek penyitaan kekayaan atau pendapatan terpidana oleh jaksa tersebut.
Ketiadaan aturan mengenai batasan dan tata cara objek penyitaan oleh jaksa tersebut menjadi hal yang akan dibahas dalam penelitian ini dimana penelitian ini bertujuan untuk menjawab permasalahan utama yaitu bagaimana batasan dan tata cara penyitaan kekayaan atau pendapatan terpidana yang tidak memenuhi putusan pidana denda? Penelitian ini bertujuan untuk menemukan konsep ideal ketentuan mengenai batasan dan tata cara penyitaan kekayaan atau pendapatan milik terpidana yang dapat disita agar dapat memenuhi nilai keadilan dan kepastian hukum.
Bagaimana Batasan Dan Tata Cara Penyitaan Kekayaan Atau Pendapatan Terpidana Yang Tidak Memenuhi Putusan Pidana Denda
Pengaturan pelaksanaan lanjutan Pasal 81 ayat 3 KUHP nasional mengenai batasan dan tata cara penyitaan harta kekayaan atau pendapatan milik terpidana oleh jaksa untuk memenuhi pidana denda dapat merujuk hukum acara perdata khususnya pelaksanaan Sita Eksekusi (Executoriale Beslag) untuk terjaminnya putusan pidana denda.
Jaksa sebagai eksekutor putusan pengadilan nantinya sebagai pihak yang akan melaksanakan penyitaan dapat memiliki batasan dan tata cara melakukan penyitaan untuk memenuhi putusan pidana denda seperti sita eksekusi perdata. Terpidana pun sebagai pihak yang terhukum mendapat kepastian kekayaan dan pendapatan miliknya yang dilakukan penyitaan oleh karena terpidana juga berhak atas perlindungan harta benda dan kekayaannya yang telah dijamin dalam Pasal 28G Undang Undang Dasar Tahun 1945 sehingga menjadi jaminan perlindungan hak asasi manusia (HAM) bagi terpidana terhadap penyitaan harta kekayaan dan pendapatan yang dilakukan oleh jaksa. Pengaturan lanjutan tentang batasan dan tata cara penyitaan tersebut penting bagi hakim dalam membuat amar putusan pidana denda nantinya. Apabila batasan dan tata cara penyitaan untuk memenuhi putusan pidana denda telah diatur dapat melengkapi ketentuan penjelasan dalam Pasal 81 ayat 1 KUHP nasional bahwa dalam amar putusan pidana denda hakim dapat langsung menetapkan secara umum barang-barang yang dapat disita dan tata cara penyitaannya serta pelelangannya. sehingga segala bentuk tindakan penyitaan oleh jaksa dilakukan atas dasar yuridis formal melalui putusan pidana denda sehingga dapat memberikan nilai keadilan dan kepastian hukum.
Penutup
Referensi:
[2] Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, “Draft Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Tahun 2012 poin H,” Badan Pembin. Huk. Nas. Kementeri. Huk. dan Hak Asasi Mns. Republik Indones., pp. 1–539, 2015.
[3] B. Antariksa and H. Ad Hoc Tipikor Pengadilan Tinggi Palembang, “Perbandingan Pidana Denda Dalam Dua Rezim Kuhp Indonesia,” Maret, vol. 03, no. 1, pp. 1–15, 2024.
[4] Sumaidi, “Kajian Terhadap Penyitaan Sebagai Pemaksaan Yang Dihalalkan Oleh Hukum,” Leg. J. Huk., vol. VIII, no. 1, 2016.
[5] Ade Mahmud, “Dinamika Pembayaran Uang Pengganti Dalam Tindak Pidana Korupsi,” J. Huk. Mimb. Justitia, vol. 3, no. 2, pp. 137–156, 2017.
[6] M. Y. Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Kedua. Jakarta: Sinar Grafika, 2006.
[7] Rusman Sumadi, “Praperadilan Sebagai Sarana Kontrol Dalam Melindungi Hak Asasi Manusia (HAM) Tersangka,” J. Huk. Sasana, vol. 7, no. 1, pp. 149–162, 2021.