Latar Belakang
Usaha pembangunan hukum nasional telah berhasil merumuskan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Nasional) untuk menggantikan Wetboek van Strafrecht (KUHP Lama). Salah satu perbedaan kedua legislasi tersebut terdapat pada dasar filosofi tentang pemidanaan. KUHP Lama bersendikan pemikiran absolut bahwa pidana dijatuhkan dengan tujuan sebagai pembalasan karena orang telah melakukan kejahatan, sedangkan KUHP Nasional dilandasi oleh pemikiran relatif yang memandang bahwa pemidanaan merupakan sarana mencapai tujuan yang bermanfaat.
Sistem pemidanaan pada KUHP Lama telah meninggalkan banyak persoalan, salah satunya masalah kelebihan kapasitas lembaga pemasyarakatan (lapas). Total penghuni lapas menurut data Ditjen Pemasyarakatan tanggal 1 Mei 2025 berjumlah 191.214 orang, sedangkan kapasitasnya hanya 99.940 orang. Masalah lainnya adalah disparitas pemidanaan, yaitu perbedaan penjatuhan pidana terhadap kasus yang serupa. Disparitas dimaksud bukanlah disparitas yang dapat dipertanggungjawabkan, melainkan disparitas yang tidak bertanggung jawab, yaitu perbedaan putusan yang mencolok dan tidak didasarkan pada pertimbangan yang memadai dan bisa dipahami.
Sistem pemidanaan pada KUHP Nasional memerlukan penelitian lebih lanjut, antara lain terkait analisis penerapan sistem pemidanaan oleh hakim dalam upaya menanggulangi berbagai persoalan, dimana penelitian ini bertujuan untuk menjawab dua permasalahan pokok, pertama, bagaimana hakim menerapkan KUHP Nasional untuk mengatasi kelebihan kapasitas lapas? Kedua, bagaimana hakim seharusnya menyusun pertimbangan pemidanaan agar tidak terjadi disparitas yang tidak bertanggung jawab?
Pidana Penjara Tidak Selalu menjadi Jawaban
Perkara narkotika menjadi penyumbang terbesar kelebihan kapasitas lapas di Indonesia. Penyebab diantaranya adalah sering dipidananya pengguna narkotika, pendekatan demikian telah gagal mengatasi masalah narkotika dan justru memperparah situasi kelebihan kapasitas lapas. Realitas ini menjadi contoh bahwa pidana penjara tidak selalu menjadi jawaban dalam pemidanaan. Mahkamah Agung sendiri telah menggeser pendekatannya, semula pengguna narkotika diposisikan sebagai pelaku yang harus dihukum, diubah menjadi korban yang membutuhkan rehabilitasi. Hakim patut mempertahankan kebijakan itu setelah ditegaskan kembali di Pasal 105 ayat (1) KUHP Nasional, bahwa tindakan rehabilitasi dikenakan kepada terdakwa yang kecanduan narkotika.
Kelebihan kapasitas lapas telah menciptakan lingkungan lapas menjadi rawan terhadap konflik antar penghuni, menurunnya kondisi fisik dan psikologis penghuni, pemborosan anggaran negara, dan pembinaan yang tidak berjalan sebagaimana mestinya. KUHP Nasional secara umum telah memperbaiki aturan pemidanaan pada KUHP Lama, beberapa diantaranya diharapkan dapat memberi dampak signifikan guna mengatasi persoalan kelebihan kapasitas lapas, antara lain sebagai berikut:
Pertama, meskipun di dalam rumusan tindak pidana pada Buku Kedua KUHP Nasional hanya mencantumkan dua jenis pidana pokok berupa pidana penjara dan denda, tetapi di Pasal 65 terdapat 5 (lima) jenis pidana pokok. Tiga jenis pidana pokok lainnya yang tidak disebutkan dalam rumusan tindak pidana tetap dapat dijatuhkan oleh hakim, yaitu sebagai bentuk pelaksanaan atau hukuman pengganti dari pidana penjara, antara lain pidana tutupan diatur di Pasal 74, pidana pengawasan di Pasal 75-77, dan pidana kerja sosial di Pasal 85.
Pidana tutupan menyerupai pengasingan tetapi diperlakukan secara manusiawi. Tujuannya hanya membatasi pengaruh terpidana kepada masyarakat. Penggunaannya terhadap pihak yang berbeda pandangan dengan pemerintah dalam keadaan bahaya terbukti tepat, karena setelahnya negara tetap membutuhkannya untuk menjalankan pemerintahan. Pidana pengawasan berarti terpidana menjalani hukuman di luar penjara, sehingga tetap berhubungan dengan lingkungan sosialnya. Hal ini membantu terpidana membangun kembali kehidupannya setelah menjalani pidana. Pidana kerja sosial memberikan ruang terpidana untuk berkontribusi melakukan kegiatan sosial yang bermanfaat guna berbenah diri dan meningkatkan kemampuan sosialnya. Terpidana seakan menebus kesalahannya dengan cara yang lebih positif dan produktif dari pada hanya di dalam penjara.
Penggunaan hukuman pengganti atas pidana penjara sangat bergantung pada peran hakim. Perlu adanya perubahan cara pandang hakim dari konsep pemidanaan sebagai sebuah pembalasan dan berorientasi pada pidana penjara, menuju pembaruan hukum pidana yang rehabilitatif dan humanis sebagaimana diusung KUHP Nasional. Keberadaan hukuman pengganti itu merupakan kritik atas efektivitas dari pidana penjara jangka pendek yang dianggap tidak sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai, sekaligus membuka harapan terwujudnya nilai keadilan dan kemanfaatan yang lebih ideal bagi korban, pelaku, dan masyarakat.
Kedua, diketahui penulisan jenis pidana pokok di Pasal 65 disusun berdasarkan urutan tingkat beratnya pidana, mulai dari yang terberat yaitu pidana penjara. Terdapat prinsip yang harus selalu dipegang hakim dalam menentukan jenis pidana yang akan dijatuhkan, di Pasal 57 telah disebutkan bahwa hakim dituntut untuk menerapkan pidana yang lebih ringan sebagai upaya utama (premium remedium), selaras dengan itu, di Pasal 70 ditegaskan pula bahwa dalam keadaan tertentu hakim harus menerapkan pidana penjara sebagai upaya terakhir (ultimum remedium).
Ketiga, terdapat ruang bagi kebijaksanaan hakim untuk memberikan pengampunan kepada pelaku tindak pidana. Hakim diperkenankan untuk melakukan penilaian, dalam hal menurut hakim terhadap pelaku perlu diberikan kesempatan kedua untuk berubah menjadi lebih baik, berdasarkan Pasal 54 ayat (2) hakim dapat memberi maaf dan tidak menjatuhkan pidana kepada pelaku.
Penerapan aturan-aturan pemidanaan di atas tidak dilakukan atas dasar kebebasan hakim semata, melainkan harus memenuhi syarat dan ketentuan dalam KUHP Nasional serta dilandasi dengan pertimbangan yang memadai dan dapat dipahami semua pihak. Legislasi aturan pemidanaan ke dalam KUHP Nasional telah menguatkan aspek kepastian hukum yang akan menambah keberanian hakim untuk menerapkannya. Kelebihan kapasitas lapas dapat diatasi dengan perubahan cara pandang dan mengaplikasikan aturan-aturan pemidanaan tersebut secara konsisten oleh hakim.
Arti Penting Filosofi Pemidanaan
Berkorelasi dengan pembahasan sebelumnya, pada bagian ini akan diuraikan bagaimana seharusnya hakim menyusun pertimbangan tentang pemilihan jenis pidana (strafsoort) maupun menetapkan derajat atau berat ringannya pidana (strafmaat).
Faktor kebebasan hakim, ditambah besarnya rentang ancaman pidana, serta sifat tiap kasus yang berbeda-beda menjadikan disparitas pemidanaan tidak dapat dihindarkan, namun penting untuk memperkecil rentang perbedaannya. Disparitas pemidanaan merupakan ancaman terhadap penegakan hukum, karena menumbuhkan keraguan apakah pengadilan telah sungguh-sungguh menegakkan hukum dan keadilan. Narapidana yang dihukum lebih berat dari kasus yang serupa akan merasa sebagai korban ketidakadilan yang menimbulkan demoralisasi dan sikap anti-rehabilitasi dalam dirinya. Begitu pula bagi masyarakat, akan timbul sikap skeptis dan apatis terhadap hukum yang mendorong meningkatnya aktivitas kejahatan dan tindakan main hakim sendiri.
Oemar Seno Adji menyebutkan, tidak mungkin mencegah disparitas dengan menjadikan pidana sama, tetapi yang dapat dilakukan adalah menjadikan filosofi pemidanaan serasi. Menurut Muladi dan Barda Nawawi Arif, jika disparitas pemidanaan tidak bisa dihindarkan, maka yang harus dilakukan hakim adalah membuat keseimbangan pemidanaan yang didasarkan pada pertimbangan yang serasi.
Langkah maju KUHP Nasional juga ditunjukkan dengan adanya legislasi tujuan dan pedoman pemidanaan. Tujuan pemidanaan sebagaimana diatur di Pasal 51-52 dan pedoman pemidanaan di Pasal 54 ayat (1), wajib digali di persidangan dan dipertimbangkan dalam putusan. Hakim harus memilih satu atau lebih dari beberapa pilihan yang tersedia, yaitu tujuan pemidanaan sebagai manfaat yang hendak dicapai dengan melakukan penghukuman dan faktor-faktor pedoman pemidanaan sebagai panduan agar hukuman yang dijatuhkan menemukan rasa keadilan yang bisa diterima bagi semua pihak yang terlibat.
Hakim juga diperkenankan untuk menambahkan faktor lainnya terkait keadaan khusus setiap kasus sepanjang relevan berdasarkan karakteristik impersonal dari perbuatan pidana dan karakteristik personal dari pelakunya, sedangkan faktor yang tidak relevan misalnya ras/etnis, gender, agama/kepercayaan, dan orientasi seksual pelaku. Faktor memperberat pidana yang bersifat umum juga terdapat di Pasal 58.
Keberadaan tujuan dan pedoman pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menciptakan pemidanaan yang seragam, tetapi sebagai landasan rasional atas penjatuhan pidana dari hakim dengan memberikan alasan mengapa suatu penghukuman diperlukan. Tujuan dan pedoman pemidanaan harus dipertimbangkan secara menyeluruh agar putusan yang diambil tidak “cacat” secara filosofi. Seluruh hakim harus berkomitmen untuk menyusun pertimbangan yang bertanggung jawab berdasarkan tujuan dan pedoman pemidanaan dalam KUHP Nasional, sehingga seluruh putusan akan memiliki filosofi pemidanaan yang serasi. Keserasian ini akan menjaga konsistensi dan memperkecil rentang perbedaan hukuman pada kasus-kasus yang serupa, baik dalam putusan-putusan yang dibuat oleh hakim yang sama, atau antar hakim pada satu maupun berlainan yusdiksi, dengan demikian tidak ada lagi disparitas pemidanaan yang tidak bertanggung jawab.
Penegakan hukum dan keadilan oleh hakim kenyataannya tidak selalu berjalan lancar, ada kalanya hakim akan menghadapi hambatan-hambatan dalam usaha menyeimbangkan nilai kepastian hukum dan keadilan, untuk menyelesaikan pertentangan kedua nilai itu, KUHP Nasional telah memberikan jalan keluar di Pasal 53, bahwa hakim secara moral dan etis harus mengutamakan nilai keadilan dari pada kepastian hukum.
Penutup
Masalah kelebihan kapasitas lapas dapat diatasi hakim melalui perubahan cara pandang dan penerapan aturan-aturan pemidanaan pada KUHP Nasional secara konsisten, sedangkan disparitas pemidanaan yang tidak bertanggung jawab dapat dihindari para hakim dengan menyusun pertimbangan berdasarkan filosofi pemidanaan yang serasi yaitu tujuan dan pedoman pemidanaan pada KUHP Nasional.
Referensi
[1] Ditjen Pemasyarakatan, “Kondisi Lapas 1 Mei 2025,” https://sdppublik.ditjenpas.go.id/.
[2] U. Hamid, “Peninjauan Kerangka Hukum yang Menyebabkan Kelebihan Kapasitas Lembaga Pemasyarakatan,” https://www.amnesty.id/kabar-terbaru/surat-terbuka/surat-terbuka-peninjauan-kerangka-hukum-yang-menyebabkan-kelebihan-kapasitas-lembaga-pemasyarakatan/01/2025/.
[3] G. Sonbay dkk., “Kebijakan Hukum Pidana dalam Mengatasi Kelebihan Kapasitas Lembaga Pemasyarakatan Guna Mendukung Proses Pembinaan Narapidana,” ArthemisLaw Journal, Mei 2024.
[4] P. Sagala dkk., “Hukuman Pidana Tutupan sebagai Sanksi Pidana untuk Masa Keadaan Bahaya,” 2025.
[5] Afifah Firdaus dan Indra Yugha Koswara, “Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia: Analisis Tentang Pidana Pengawasan dan Asas Keseimbangan,” Lex Renaissance, 2024.
[6] J. I. Rafsanjani dkk., “Eksistensi Pidana Kerja Sosial dalam Perspektif Hukum Progresif,” Jurnal Penelitian Hukum De Jure, 2023.
[7] L. Mulyadi dkk., Urgensi Pedoman Pemidanaan dalam Rangka Mewujudkan Keadilan dan Kepastian Hukum. Jakarta: Prenadamedia Group, 2019.
[8] C. Mustafa dkk., Disparitas Pemidanaan terkait Tindak Pidana Kesusilaan yang Diatur di Dalam Kuhp dan di Luar KUHP. Jakarta: Kencana, 2021.
[9] M. Maharani dkk., Disparitas Pemidanaan Kekerasan Seksual di Indonesia. Indonesia Judicial Research Society, 2024.