
2025-04-30
08:00:00 - 12:00:00
Diselenggarakan oleh
DIREKTORAT JENDERAL BADAN PERADILAN UMUM
Klik tombol Dibawah
KUHP Nasional membawa berbagai perubahan fundamental, termasuk konsep
living law, perluasan delik pidana, penghapusan pasal-pasal yang tidak relevan,
serta penguatan prinsip restorative justice. Selain itu, sistem pemidanaan dalam
KUHP Baru juga mengalami perubahan, termasuk adanya pidana alternatif yang
salah satunya adalah Pemaafan Hakim atau Judicial Pardon.
Diatur dalam Pasal 54 Ayat (2) KUHP Nasional yang menjelaskan “Ringannya
perbuatan, keadaan pribadi pelaku, atau keadaan pada waktu dilakukan Tindak
Pidana serta yang terjadi kemudian dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk tidak
menjatuhkan pidana atau tidak mengenakan tindakandengan mempertimbangkan
segi keadilan dan kemanusiaan". Dalam berbagai penelitian sarjana hukum di
Indonesia, rumusan ini dinilai dapat menjadi dasar Hakim di pengadilan kita untuk
menjatuhkan Pemaafan Hakim atau Judicial Pardon. Namun, banyak yang harus
dipertimbangkan Hakim seperti faktor-faktor yang disebutkan dalam Pasal 54 Ayat
(1) KUHP Nasional. Antara lain: bentuk kesalahan pelaku, motif, sikap batin hingga
ada tidaknya pemaafan dari Korban dan/atau keluarganya.
Banyak yang menyambut baik, namun nada kritis terkait konsep Pemaafan
Hakim juga tidak kalah banyak. Kritik-kritik seperti pengaturannya belum jelas
hingga banyaknya celah hukum dalam pengaturannya mulai mewarnai diskusi-
diskusi hukum terkait Pemaafan Hakim di Indonesia. Oleh sebab itu Mahkamah
Agung dalam hal ini Dirjen Badilum yang menjadi induk Pengadilan Negeri sebagai
lembaga pemeriksa dan pemutus perkara pidana, berpendapat sangat penting untuk
membekali hakim-hakim kita dengan materi-materi terkait Pemaafan Hakim.
Belum Ada Pertanyaan Masuk